Hari ini saya berkunjung ke negaranya Sultan Hasanal Bolkiah, Brunei Darussalam. Dalam hidup saya, ini merupakan negara ke-3 yang saya kunjungi setelah Malaysia (2012) dan Korea Selatan (2013). Kunjugan ini hanya berlangsung dalam durasi yang singkat (28, 29, dan 30 September 2017), untuk menyingkap rasa penasaran saya pada negara kecil yang kaya raya di bawah hukum Allah ini.
Sejak pagi saya sudah bangun, shalat, subuh, dan mandi. Saya lanjutkan dengan memasukkan beberapa helai pakaian dalam satu tas sandang yang diberikan oleh Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) sejak awal masuk dulu. Itulah yang saya bawa melenggang beserta sebuah tas kecil untuk letak power bank. Saya turun dari rumah setelah merasa semuanya beres, terutama passport dan handphone, karena saya simpan tiket dalam screen shot handphone.
Setibanya di stasiun, motor saya parkir di parkiran khusus kendaraan roda dua yang disediakan di sana. Setelah dikunci dan membelitnya dengan rantai kunci serta meninggalkan helm, saya meluncur ke konter tiket. Saya lihat jam menunjukkan pukul 7.15 am dan saya tanya petugasnya kapan KTM ke KL Sentral jalan, dia mengatakan jam 7.45 am. Saya minta tolong sekalian untuk dicek berapa saldo saya tinggal di kartu KTM pelajar saya, ternyata hanya RM 4, dan tidak cukup untuk perjalanan ke KL sepertinya. Lalu saya minta diisi RM 20 lagi, sekalian untuk ongkos pulang nanti rencana. Setelah selesai, saya masuk dengan menggesek kartunya, dan menunggu di bangku tunggu untuk kommuter yang akan membawa saya dari Stasiun Tanjung Malim ke Stasiun KL Sentral.
Selang beberapa waktu menunggu, akhirnya commuter line itu datang. Saya dan penumpang lainnya naik. Pagi ini di dalam tidak kelihatan begitu ramai karena masih banyak tempat duduk yang masih kosong. Kereta api pun meliuk dengan lincah dan sesekali berhenti di stasiun-stasiun yang dilewati untuk menaik dan menurunkan penumpang. Setelah kira-kira 2 jam kemudian, kereta berhenti di KL Sentral.
Saya segera turun dan langsung menuju ke lantai bawah bangunan NU KL Sentral karena di sana bus ke KLIA menunggu dan tempat beli tiketnya juga ada di sana. Saya sampai ke kaunter tiket dan menanyakan harga tiket ke bandara. Harganya RM 12 dan saya langsung merogoh dompet untuk membayar tunai. Setelahnya saya langsung naik dalam bus yang telah ditentukan.
Perjalanan dari KL sentral ke KLIA2 sekitar satu jam lebih dan saya menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit Malaysia serta aktivitas masyarakat di pagi hari. Ketika bus berhenti di bandara, saya menuju toilet terlebih dahulu. Selepas membuang hajat, saya mencari roti untuk sarapan pagi di gerai penjualan bandara, sekaligus membeli lebih untuk kondisi terdesak nanti.
Setelah menyelesaikan sarapan, saya mulai naik ke atas, level 2 bandara untuk bersiap melakukan proses check in. Sesampai di sana saya hanya menunjukkan tiket yang terdapat di HP dan petugas airline membantu memprintkan boarding pass. Seterusnya melewati alur pemeriksaan sistem keamanan bandara dan imigrasi. Inilah salah satu alasan saya mengapa hanya membawa satu tas sandang, karena tidak ingin berlama-lama dalam pengurusan bagasi. Semuanya berjalan lancar, dan saya langsung menuju ruang tunggu.
Saya lagi duduk di kursi tunggu sebelah ruang pemberangkatan akhir, tiba-tiba ada seorang pemuda yang meminjam power bank pada bapak di sebelah saya duduk. Mereka komunikasi dalam bahasa Jawa, dan saya yakin mereka dari Indonesia. Setelah pemuda itu pergi ke kursi lain, saya meyapa bapak tadi sekedar basa-basi sambil minta tolong jagain tas karena saya mau ke toilet.
Selesai urusan di toilet, saya kembali ke kursi tunggu, tempat tas saya dijagain bapak tadi. Kami berkenalan satu sama lain. Nama beliau bapak seno (mas seno) dan berasal dari Solo. Beliau habis pulang kampung, mengunjungi anak istrinya. Sekarang beliau dalam perjalanan menuju Brunei dan transit di Klia. Beliau nanya saya, ada kegiatan apa di Brunei dan ke tempat siapa.
Saya ceritakan bahwa saya ke brunei tidak ada kegiatan apa-apa, selain melancong tiga hari. Untuk menginap di mana, saya belum ada bayangan. Beliau kaget dan nanyain saya, kok nekat ke Brunei tanpa kenalan di sana. Saya hanya nyengir. Beliau menawarkan saya untuk menginap di tempat saudara beliau. Karena penginapan di Brunei sangat mahal untuk ukuran kita. Beliau sudah tinggal dan bekerja di salah satu syarikat di Brunei sejak 2005. Sedikit banyaknya beliau paham dengan kondisi negara tersebut.
Mendapat tawaran itu tentunya saya sangat berterima kasih dan tidak saya tolak. Cuma awalnya saya khawatir apakah saudaranya mas seno itu bersedia menampung saya. Beliau meyakinkan bahwa saudaranya tersebut orang baik. Kami terus mengobrol hingga pintu ruang tunggu terakhir, yaitu pintu L9, untuk keberangkatan dibuka dan penumpang satu per satu mulai memasuki ruangan tersebut.
Penerbangan kali ini termasuk yang terburuk bagi saya, sepanjang sejarah saya menaiki pesawat dalam bepergian. Belum genap rasanya 20 menit mengudara, pesawat mengalami kegoncangan di udara. Para penumpang beristighfar, bagi yang muslim, anak-anak menangis, bahkan tas kecil berisi passport dan HP di pangkuan saya juga turut terjatuh ke bawah. Menurut informasi pilotnya hal ini terjadi karena faktor cuaca yang kurang bersahabat. Untungnya guncangan tersebut tidak lama, cuaca kembali normal, dan penumpang pun bisa menghirup udara segar.
Kami sampai di rumah saudara angkatnya bg seno. Seorang bapak dan dua anak buahnya sedang mengupas tempe menyambut kami. Bapak itu namanya Zainal, beliau sangat ramah dan langsung menawarkan saya menginap di rumah mereka. Pak Zainal menanyakan kegiatan saya apa dan saya jawab bahwa saya masih belajar di UPSI Malaysia. Beliau langsung mengungkapkan kekagumannya karena sering menjumpai orang Minang yang menuntut ilmu di perantauan.
Saya diajak oleh Pk Zainal dan anggota rumah lainnya ikut mereka ke pengajian yasinan rutin mereka. Acara ini diadakan oleh komunitas Jawa di perantauan, setiap dua minggu sekali. Otomatis saya menyambut seruan tersebut karena mendengar langsung cerita-cerita orang kita di negara ini merupakan kesenangan tersendiri bagi saya. Maka berangkatlah kami malam itu menumpangi mobil Pak Zainal ke acara yasinan tersebut.
Setibanya kami di sana orang sudah ramai, didominasi oleh bapak-bapak, sedangkan beberapa ibu dan anak-anak ada di dalam rumah, sambil menyiapkan hidangan. Saya langsung merasakan nuansa Indonesia di sini sebab selain berbicara bahasa daerah, mereka juga menyajikan makanan khas Jawa, seperti gorengan, mendoan, dan gulai kampung, kerupuk, dilengkapi dengan lalapan juga tidak ketinggalan. Saya memperkenalkan diri dengan orang-orang yang duduk berdekatan, dan mereka menyambut saya dengan suka cita, serta menyuguhkan makanan yang ada untuk dicicipi.
Acara dibuka oleh moderator, kemudian microphone diserahkan pada pemandu yasinan. Maka mulailah bacaan yasin bergema dikeheningan malam Brunei Darussalam. Benar, di sini setelah shalat isya jalanan umumnya sudah sepi, beranda rumah penduduk tidak berpenghuni, dan warga menghabiskan waktu malam di dalam rumah bersama keluarga.
Setelah bacaan yasin selesai, seorang ustad dipersilahkan memberikan tausiah, sekaligus menyampaikan beberapa informasi kepada jamaah. Sesekali jamaah bertanya atau bertukar cerita. Semua disampaikan dalam bahasa Jawa, dan saya hanya bisa mengangguk dan tersenyum, sok paham. Sesekali saya tanya arti kata yang sering diulang oleh pembicara kepada orang di samping saya, dan beliau menjelaskan dengan sabar. Betapa ruginya diri ini, meski sudah pernah satu tahun menetap di Yogyakarta, tetapi amat buta dengan bahasa daerahnya.
Usai tausiah, semua jemaah dipersilahkan menikmati makanan yang dihidangkan prasmanan, barisan panjang pun terbentuk untuk mengambil porsi masing-masing. Saya ambil makanan dan lauk dan duduk bersama jamaah lainnya. Sembari makan saya bertanya satu dua hal mengenai profesi atau pekerjaan mereka di Brunei. Mereka ternyata sebagian besar bekerja sebagai tukang bangunan, pekerja di lahan perkebunan, pabrik-pabrik, dan usaha jualan.
Bayangan kita bahwa hidup sejahtera jika bekerja di Brunei, tidak sepenuhnya bisa diterima. Memang mata uang di sini jauh lebih tinggi kursnya dari pada rupiah, tapi gaji rendah dan biaya hidup tinggi juga menjadi suatu hal yang sangat memprihatinkan. Apalagi jika memboyong keluarga di sini, merupakan tantangan hidup yang menguji nyali.
Dari cerita seorang bapak, banyak orang kita yang datang ke Brunei awalnya diimingi oleh agen dengan gaji besar dan tempat tinggal yang layak, namun nihil adanya. Padahal waktu di Indonesia mereka sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan sampai di Brunei nasib mereka tidak diperhatikan. Sebagian besar bertahan karena memang harus, tidak ada pilihan lain, pulang pun malu, karena pendapatan jauh dari ekspektasi orang kampung.
Keberadaan organisasi paguyuban seperti ini banyak sedikitnya menjadi obat tersendiri bagi mereka. Hidup di perantauan akan diketahui oleh sesama perantau. Mereka akan saling membantu dan terus menjalin silaturrahim. Terkadang sahabat menunjukkan jalan mendapat pekerjaan yang layak, sungguh kebersamaan membawa berkah. Bingkai ukhuwah terjalin dengan indah karena Quran sebagai tali pengikatnya. Bahkan meski dengan gaji yang tidak menentu seperti itu, dari ceramah ustad tadi saya tahu, bahwa mereka telah berhasil menggalang sumbangan untuk membangun pesantren di pelosok Jawa sana.
Selesai makan kami dan jemaah lainnya mulai pamit menuju ke kediaman masing-masing. Malam ini berbagai pemikiran berkecamuk dalam benak saya ketika masuk mobil Pak Zainal dari tempat pengajian menuju rumah beliau. Ada rasa syukur, kecewa, dan sedih melihat nasib saudara sebangsaku di negeri orang. Sementara nun di gedung-gedung megah perkantoran pemerintah sana, pemimpin kami bersorak, berjoget ria menikmati uang rakyat dengan cara yang menjijikkan. Semoga koruptor itu sadar dan melihat sisi miris buruh migran di luar negeri.
(Bersambung)
Gambar 1: Bandara di Brunei Darussalam
Gambar 1.1:
Gambar 1.2:
Gambar 1.3:
Gambar 1.4:
Gambar 1.5:
Gambar 1.6:
Gambar 1.7:
Gambar 2: Program Yasinan diadakan oleh orang Jawa di Brunei
Gambar 2.1:
Gambar 2.2:
Gambar 3: Bisnis keluarga Pak Zainal
Gambar 3.1:
Gambar 4: Rumah Pak Zainal, tempat saya numpang menginap
Gambar 5: Suasana pagi di hospital RIPAS
Setibanya di stasiun, motor saya parkir di parkiran khusus kendaraan roda dua yang disediakan di sana. Setelah dikunci dan membelitnya dengan rantai kunci serta meninggalkan helm, saya meluncur ke konter tiket. Saya lihat jam menunjukkan pukul 7.15 am dan saya tanya petugasnya kapan KTM ke KL Sentral jalan, dia mengatakan jam 7.45 am. Saya minta tolong sekalian untuk dicek berapa saldo saya tinggal di kartu KTM pelajar saya, ternyata hanya RM 4, dan tidak cukup untuk perjalanan ke KL sepertinya. Lalu saya minta diisi RM 20 lagi, sekalian untuk ongkos pulang nanti rencana. Setelah selesai, saya masuk dengan menggesek kartunya, dan menunggu di bangku tunggu untuk kommuter yang akan membawa saya dari Stasiun Tanjung Malim ke Stasiun KL Sentral.
Selang beberapa waktu menunggu, akhirnya commuter line itu datang. Saya dan penumpang lainnya naik. Pagi ini di dalam tidak kelihatan begitu ramai karena masih banyak tempat duduk yang masih kosong. Kereta api pun meliuk dengan lincah dan sesekali berhenti di stasiun-stasiun yang dilewati untuk menaik dan menurunkan penumpang. Setelah kira-kira 2 jam kemudian, kereta berhenti di KL Sentral.
Saya segera turun dan langsung menuju ke lantai bawah bangunan NU KL Sentral karena di sana bus ke KLIA menunggu dan tempat beli tiketnya juga ada di sana. Saya sampai ke kaunter tiket dan menanyakan harga tiket ke bandara. Harganya RM 12 dan saya langsung merogoh dompet untuk membayar tunai. Setelahnya saya langsung naik dalam bus yang telah ditentukan.
Perjalanan dari KL sentral ke KLIA2 sekitar satu jam lebih dan saya menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit Malaysia serta aktivitas masyarakat di pagi hari. Ketika bus berhenti di bandara, saya menuju toilet terlebih dahulu. Selepas membuang hajat, saya mencari roti untuk sarapan pagi di gerai penjualan bandara, sekaligus membeli lebih untuk kondisi terdesak nanti.
Setelah menyelesaikan sarapan, saya mulai naik ke atas, level 2 bandara untuk bersiap melakukan proses check in. Sesampai di sana saya hanya menunjukkan tiket yang terdapat di HP dan petugas airline membantu memprintkan boarding pass. Seterusnya melewati alur pemeriksaan sistem keamanan bandara dan imigrasi. Inilah salah satu alasan saya mengapa hanya membawa satu tas sandang, karena tidak ingin berlama-lama dalam pengurusan bagasi. Semuanya berjalan lancar, dan saya langsung menuju ruang tunggu.
Saya lagi duduk di kursi tunggu sebelah ruang pemberangkatan akhir, tiba-tiba ada seorang pemuda yang meminjam power bank pada bapak di sebelah saya duduk. Mereka komunikasi dalam bahasa Jawa, dan saya yakin mereka dari Indonesia. Setelah pemuda itu pergi ke kursi lain, saya meyapa bapak tadi sekedar basa-basi sambil minta tolong jagain tas karena saya mau ke toilet.
Selesai urusan di toilet, saya kembali ke kursi tunggu, tempat tas saya dijagain bapak tadi. Kami berkenalan satu sama lain. Nama beliau bapak seno (mas seno) dan berasal dari Solo. Beliau habis pulang kampung, mengunjungi anak istrinya. Sekarang beliau dalam perjalanan menuju Brunei dan transit di Klia. Beliau nanya saya, ada kegiatan apa di Brunei dan ke tempat siapa.
Saya ceritakan bahwa saya ke brunei tidak ada kegiatan apa-apa, selain melancong tiga hari. Untuk menginap di mana, saya belum ada bayangan. Beliau kaget dan nanyain saya, kok nekat ke Brunei tanpa kenalan di sana. Saya hanya nyengir. Beliau menawarkan saya untuk menginap di tempat saudara beliau. Karena penginapan di Brunei sangat mahal untuk ukuran kita. Beliau sudah tinggal dan bekerja di salah satu syarikat di Brunei sejak 2005. Sedikit banyaknya beliau paham dengan kondisi negara tersebut.
Mendapat tawaran itu tentunya saya sangat berterima kasih dan tidak saya tolak. Cuma awalnya saya khawatir apakah saudaranya mas seno itu bersedia menampung saya. Beliau meyakinkan bahwa saudaranya tersebut orang baik. Kami terus mengobrol hingga pintu ruang tunggu terakhir, yaitu pintu L9, untuk keberangkatan dibuka dan penumpang satu per satu mulai memasuki ruangan tersebut.
Penerbangan kali ini termasuk yang terburuk bagi saya, sepanjang sejarah saya menaiki pesawat dalam bepergian. Belum genap rasanya 20 menit mengudara, pesawat mengalami kegoncangan di udara. Para penumpang beristighfar, bagi yang muslim, anak-anak menangis, bahkan tas kecil berisi passport dan HP di pangkuan saya juga turut terjatuh ke bawah. Menurut informasi pilotnya hal ini terjadi karena faktor cuaca yang kurang bersahabat. Untungnya guncangan tersebut tidak lama, cuaca kembali normal, dan penumpang pun bisa menghirup udara segar.
Kami sampai di rumah saudara angkatnya bg seno. Seorang bapak dan dua anak buahnya sedang mengupas tempe menyambut kami. Bapak itu namanya Zainal, beliau sangat ramah dan langsung menawarkan saya menginap di rumah mereka. Pak Zainal menanyakan kegiatan saya apa dan saya jawab bahwa saya masih belajar di UPSI Malaysia. Beliau langsung mengungkapkan kekagumannya karena sering menjumpai orang Minang yang menuntut ilmu di perantauan.
Saya diajak oleh Pk Zainal dan anggota rumah lainnya ikut mereka ke pengajian yasinan rutin mereka. Acara ini diadakan oleh komunitas Jawa di perantauan, setiap dua minggu sekali. Otomatis saya menyambut seruan tersebut karena mendengar langsung cerita-cerita orang kita di negara ini merupakan kesenangan tersendiri bagi saya. Maka berangkatlah kami malam itu menumpangi mobil Pak Zainal ke acara yasinan tersebut.
Setibanya kami di sana orang sudah ramai, didominasi oleh bapak-bapak, sedangkan beberapa ibu dan anak-anak ada di dalam rumah, sambil menyiapkan hidangan. Saya langsung merasakan nuansa Indonesia di sini sebab selain berbicara bahasa daerah, mereka juga menyajikan makanan khas Jawa, seperti gorengan, mendoan, dan gulai kampung, kerupuk, dilengkapi dengan lalapan juga tidak ketinggalan. Saya memperkenalkan diri dengan orang-orang yang duduk berdekatan, dan mereka menyambut saya dengan suka cita, serta menyuguhkan makanan yang ada untuk dicicipi.
Acara dibuka oleh moderator, kemudian microphone diserahkan pada pemandu yasinan. Maka mulailah bacaan yasin bergema dikeheningan malam Brunei Darussalam. Benar, di sini setelah shalat isya jalanan umumnya sudah sepi, beranda rumah penduduk tidak berpenghuni, dan warga menghabiskan waktu malam di dalam rumah bersama keluarga.
Setelah bacaan yasin selesai, seorang ustad dipersilahkan memberikan tausiah, sekaligus menyampaikan beberapa informasi kepada jamaah. Sesekali jamaah bertanya atau bertukar cerita. Semua disampaikan dalam bahasa Jawa, dan saya hanya bisa mengangguk dan tersenyum, sok paham. Sesekali saya tanya arti kata yang sering diulang oleh pembicara kepada orang di samping saya, dan beliau menjelaskan dengan sabar. Betapa ruginya diri ini, meski sudah pernah satu tahun menetap di Yogyakarta, tetapi amat buta dengan bahasa daerahnya.
Usai tausiah, semua jemaah dipersilahkan menikmati makanan yang dihidangkan prasmanan, barisan panjang pun terbentuk untuk mengambil porsi masing-masing. Saya ambil makanan dan lauk dan duduk bersama jamaah lainnya. Sembari makan saya bertanya satu dua hal mengenai profesi atau pekerjaan mereka di Brunei. Mereka ternyata sebagian besar bekerja sebagai tukang bangunan, pekerja di lahan perkebunan, pabrik-pabrik, dan usaha jualan.
Bayangan kita bahwa hidup sejahtera jika bekerja di Brunei, tidak sepenuhnya bisa diterima. Memang mata uang di sini jauh lebih tinggi kursnya dari pada rupiah, tapi gaji rendah dan biaya hidup tinggi juga menjadi suatu hal yang sangat memprihatinkan. Apalagi jika memboyong keluarga di sini, merupakan tantangan hidup yang menguji nyali.
Dari cerita seorang bapak, banyak orang kita yang datang ke Brunei awalnya diimingi oleh agen dengan gaji besar dan tempat tinggal yang layak, namun nihil adanya. Padahal waktu di Indonesia mereka sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan sampai di Brunei nasib mereka tidak diperhatikan. Sebagian besar bertahan karena memang harus, tidak ada pilihan lain, pulang pun malu, karena pendapatan jauh dari ekspektasi orang kampung.
Keberadaan organisasi paguyuban seperti ini banyak sedikitnya menjadi obat tersendiri bagi mereka. Hidup di perantauan akan diketahui oleh sesama perantau. Mereka akan saling membantu dan terus menjalin silaturrahim. Terkadang sahabat menunjukkan jalan mendapat pekerjaan yang layak, sungguh kebersamaan membawa berkah. Bingkai ukhuwah terjalin dengan indah karena Quran sebagai tali pengikatnya. Bahkan meski dengan gaji yang tidak menentu seperti itu, dari ceramah ustad tadi saya tahu, bahwa mereka telah berhasil menggalang sumbangan untuk membangun pesantren di pelosok Jawa sana.
Selesai makan kami dan jemaah lainnya mulai pamit menuju ke kediaman masing-masing. Malam ini berbagai pemikiran berkecamuk dalam benak saya ketika masuk mobil Pak Zainal dari tempat pengajian menuju rumah beliau. Ada rasa syukur, kecewa, dan sedih melihat nasib saudara sebangsaku di negeri orang. Sementara nun di gedung-gedung megah perkantoran pemerintah sana, pemimpin kami bersorak, berjoget ria menikmati uang rakyat dengan cara yang menjijikkan. Semoga koruptor itu sadar dan melihat sisi miris buruh migran di luar negeri.
(Bersambung)
Gambar 1.1:
Gambar 1.2:
Gambar 1.3:
Gambar 1.4:
Gambar 1.5:
Gambar 1.6:
Gambar 1.7:
Gambar 2: Program Yasinan diadakan oleh orang Jawa di Brunei
Gambar 2.1:
Gambar 2.2:
Gambar 3: Bisnis keluarga Pak Zainal
Gambar 3.1:
Gambar 4: Rumah Pak Zainal, tempat saya numpang menginap
Gambar 5: Suasana pagi di hospital RIPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar