Model Pendidikan Anti Korupsi Berjenjang dan Terintegrasi Menuju Indonesia Bersih 2045 - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Kamis, 21 September 2017

Model Pendidikan Anti Korupsi Berjenjang dan Terintegrasi Menuju Indonesia Bersih 2045

Kejatuhan suatu bangsa dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah budaya korupsi yang menggurita. Untuk mencegah hal ini, Indonesia harus mengambil tindakan cepat, tepat, dan terstruktur. Bisa dibayangkan jika budaya korupsi terabaikan untuk dicegah, bagaimanakah rupa bentuk generasi emas yang diharapkan di tahun 2045? Ledakan demografis pemuda Indonesia tidak bisa dicegah lagi. Mereka akan menempati pos-pos penting dalam setiap lingkup kepemimpinan negeri ini di tahun-tahun mendatang. Tentunya kita berharap bukan koruptor yang duduk di kursi itu.

Sebenarnya jika kita telusuri, mereka yang tersandung dalam kasus korupsi tersebut bukanlah orang-orang bodoh secara intelektual. Bahkan mereka telah berhasil meraih ijazah dari berbagai perguruan tinggi ternama, baik dalam maupun luar negeri. Apa faktor sesungguhnya yang mendorong mereka melakukan tindakan keji seperti itu? Tidak lain jawabannya adalah sikap mental dan gaya hidup. Dua hal ini merupakan pola yang tidak datang secara serta merta, tapi secara tidak disadari terbina dalam proses yang panjang, bahkan “ranah pendidikan” kita lah yang turut membidani lahirnya  pola-pola tersebut.

Agar pola-pola ini tidak berlanjut, perlu diterapkan suatu model pendidikan anti korupsi secara berjenjang dan terintegrasi. Keterlibatan seluruh aspek dalam masyarakat sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan tersebut karena tanpa adanya semangat dan visi yang sama, model ini hanya tinggal angan-angan yang ditulis di atas kertas semata.

Secara berjenjang, artinya model pendidikan anti korupsi dimulai dari lapisan-lapisan sistem sosial, yaitu: Pertama, lingkungan keluarga. Keluarga merupakan fondasi awal dalam pembinaan seorang anak, karena di sinilah nilai-nilai dasar mulai ditanamkan. Ibu sebagai orang terdekat bagi anak, harus menanamkan rasa tanggung jawab dan pemahaman luhur sejak dini. Salah satunya, berani tegas kepada anak-anak jika mereka mengambil kepunyaan temannya dengan mengatakan bahwa itu bukan hak kita. Selain itu ibu juga menanamkan penanaman agama yang benar, terutama memberikan contoh secara langsung kepada anak bagaimana berbuat dan bersikap sesuai tuntutan agama. Begitu pun halnya dengan ayah sebagai kepala rumah tangga, ia berkewajiban memimpin keluarganya menuju jalan yang benar. Terutama dalam memberi nafkah kepada anak, tentulah dari rezki yang diperoleh secara halal. Karena sejatinya, makanan yang dimakan akan menjadi asupan nutrisi yang akan beredar di seluruh bagian tubuh si anak, menuju otak dan seluruh pembuluh darah. Bagaimana mungkin mereka akan berpikir baik dan peduli jika aliran darah mereka dari uang yang tidak halal? Selain itu antara ibu, ayah, dan keluarga besar lainnya berkomitmen untuk menerapkan pola hidup sederhana kepada anak.

Kedua, lingkungan sekolah. Pendidikan antikorupsi membimbing peserta didik untuk berfikir terhadap nilai-nilai antikorupsi dalam kerangka koreksi terhadap budaya yang cenderung merusak nilai- nilai tersebut (Hakim, 2012). Seharusnya sekolah mengimplementasikan hal ini, tapi betapa banyak sekolah yang gagal mengambil peran tersebut dikarenakan iklim pendidikan formal yang masih berorientasi pada capaian kognitif. Bahkan sebenarnya perbuatan korupsi juga bisa terbentuk dimulai dari kebiasaan mencontek di sekolah. Mereka sudah mulai menipu gurunya, ingin nilai hasil ujian tinggi tanpa memikirkan proses mendapatkannya. Kebiasaan seperti ini harus dicegah dengan sanksi yang tegas, sehingga anak tidak berani bahkan takut untuk melakukannya. Kurikulum pendidikan kita tidak perlu diubah dalam menerapkan model pendidikan anti korupsi ini, cukup hanya dengan kemampuan guru mengeksplorasi dan mengelaborasi setiap mata pelajaran yang mereka ampu menuju pembentukan karakter anti korupsi. Guru harus mampu menjelaskan bahwa korupsi adalah musuh bersama dan apa efek yang ditimbulkan jika perbuatan itu merajalela.

Ketiga, lingkungan masyarakat. Akhir-akhir ini, sebagian masyarakat kita sudah menganggap lumrah kasus korupsi dan bahkan ada yang mengatakan, “kalau ngga korupsi ngga bisa makan”. Pelemahan nilai seperti ini tentunya menggerus semangat untuk menjadikan korupsi sebagai momok yang menakutkan. Ditegaskan oleh Waluyo (2017), “Sikap dan mental masyarakat terhadap praktik KKN dalam penyelenggaraan negara juga sangat menentukan upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN. Selama ini tata nilai masyarakat hanya menghargai seseorang dari aspek materi semata, sehingga sikap masyarakat banyak mentolerir perilaku koruptif”. Tokoh-tokoh masyarakat harus kembali bangkit, ikut menjadi agen kontrol sosial, dan aktif mendorong penegakan hukum di masyarakat. Mereka harus menjelaskan bahaya laten korupsi bagi peradaban, sehingga setiap upaya yang berujung pada korupsi mereka cegah untuk terjadi di lingkungan mereka. Sebagai contoh politik uang yang digalakkan oleh politisi pada saat kampanye bisa dicegah jika tokoh masyarakat sepakat menolak hal tersebut.

Model pendidikan anti korupsi terintegrasi maksudnya bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan aktif dan kerja sama semua pihak dalam setiap lapisan sosial (keluarga, sekolah, dan masyarakat). Ada dua hal yang menjadi sorotan utama dalam pemberantasan korupsi terintegrasi: Pertama, penguatan penanaman nilai. Upaya ini meliputi semua usaha pendidikan yang dilakukan secara optimal, sehingga anak merasa bertanggung jawab untuk ambil bagian dari pencegahan korupsi. Mereka terlatih untuk peduli dan berbagi kepada sesama demi memupuk rasa cinta dan kasih sayang. Masing-masing saling menguatkan dan mengontrol setiap prilaku yang bisa mengarah pada prilaku korupsi. Selain itu, hal yang paling penting adalah keterbukaan. Sebenarnya kecanggihan teknologi informasi akhir-akhir ini merupakan kesempatan emas dalam melakukan transparansi. Berani untuk jujur dan bertanggung jawab atas perbuatan yang mereka lakukan adalah modal dasar pembangunan karakter yang sesungguhnya.

Kedua, penegakan hukuman sebagai efek jera. Ini sebenarnya domain pemerintah, tetapi tidak bisa dipisahkan dari pendidikan. Sejatinya penegakan hukum yang tegas pada koruptor merupakan bagian dari pembelajaran kepada orang lain agar tidak melakukannya di kemudian hari. Kita sedih ketika koruptor masih leluasa untuk berkegiatan, senyam-senyum di depan kamera televisi, padahal sudah dinyatakan tersangka oleh KPK. Adapun di penjara, mereka disediakan layanan prima dengan pemotongan hukuman setiap 17 Agustus. Tentu bukan ini yang kita inginkan. Kita ingin korupsi itu hangus di 2045 dengan cara tegas menghukum koruptor, sehingga menimbulkan efek jera, demi menyelamatkan generasi mendatang. Hukum Islam contohnya, bisa diadopsi untuk hal pidana seperti ini, “mencuri, potong tangan”. Bahkan di beberapa negara yang tidak kenal agama sekali pun mereka berani menerapkan hukuman mati kepada para koruptor, karena mereka sadar bahwa korupsi adalah bencana kemanusiaan terbesar. Mengapa kita tidak bisa?

Referensi
Hakim, L. (2012). Model Integrasi Pendidikan Anti Korupsi dalam Kurikulum Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Ta’lim Volume, 10.

Waluyo, B. (2017). Optimalisasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Yuridis, 1(2), 169-162.


Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar