Kejatuhan suatu bangsa dilatarbelakangi
oleh berbagai faktor, salah satunya adalah budaya korupsi yang menggurita. Untuk
mencegah hal ini, Indonesia harus mengambil tindakan cepat, tepat, dan terstruktur.
Bisa dibayangkan jika budaya korupsi terabaikan untuk dicegah, bagaimanakah
rupa bentuk generasi emas yang diharapkan di tahun 2045? Ledakan demografis
pemuda Indonesia tidak bisa dicegah lagi. Mereka akan menempati pos-pos penting
dalam setiap lingkup kepemimpinan negeri ini di tahun-tahun mendatang. Tentunya
kita berharap bukan koruptor yang duduk di kursi itu.
Sebenarnya jika kita telusuri, mereka
yang tersandung dalam kasus korupsi tersebut bukanlah orang-orang bodoh secara
intelektual. Bahkan mereka telah berhasil meraih ijazah dari berbagai perguruan
tinggi ternama, baik dalam maupun luar negeri. Apa faktor sesungguhnya yang
mendorong mereka melakukan tindakan keji seperti itu? Tidak lain jawabannya
adalah sikap mental dan gaya hidup. Dua hal ini merupakan pola yang tidak
datang secara serta merta, tapi secara tidak disadari terbina dalam proses yang
panjang, bahkan “ranah pendidikan” kita lah yang turut membidani lahirnya pola-pola tersebut.
Agar pola-pola ini tidak berlanjut,
perlu diterapkan suatu model pendidikan anti korupsi secara berjenjang dan
terintegrasi. Keterlibatan seluruh aspek dalam masyarakat sangat dibutuhkan
dalam mencapai tujuan tersebut karena tanpa adanya semangat dan visi yang sama,
model ini hanya tinggal angan-angan yang ditulis di atas kertas semata.
Secara berjenjang, artinya model
pendidikan anti korupsi dimulai dari lapisan-lapisan sistem sosial, yaitu: Pertama, lingkungan keluarga. Keluarga
merupakan fondasi awal dalam pembinaan seorang anak, karena di sinilah
nilai-nilai dasar mulai ditanamkan. Ibu sebagai orang terdekat bagi anak, harus
menanamkan rasa tanggung jawab dan pemahaman luhur sejak dini. Salah satunya,
berani tegas kepada anak-anak jika mereka mengambil kepunyaan temannya dengan
mengatakan bahwa itu bukan hak kita. Selain itu ibu juga menanamkan penanaman
agama yang benar, terutama memberikan contoh secara langsung kepada anak
bagaimana berbuat dan bersikap sesuai tuntutan agama. Begitu pun halnya dengan
ayah sebagai kepala rumah tangga, ia berkewajiban memimpin keluarganya menuju
jalan yang benar. Terutama dalam memberi nafkah kepada anak, tentulah dari
rezki yang diperoleh secara halal. Karena sejatinya, makanan yang dimakan akan
menjadi asupan nutrisi yang akan beredar di seluruh bagian tubuh si anak,
menuju otak dan seluruh pembuluh darah. Bagaimana mungkin mereka akan berpikir
baik dan peduli jika aliran darah mereka dari uang yang tidak halal? Selain itu
antara ibu, ayah, dan keluarga besar lainnya berkomitmen untuk menerapkan pola
hidup sederhana kepada anak.
Kedua, lingkungan sekolah.
Pendidikan antikorupsi membimbing peserta didik untuk berfikir terhadap
nilai-nilai antikorupsi dalam kerangka koreksi terhadap budaya yang cenderung
merusak nilai- nilai tersebut (Hakim, 2012). Seharusnya sekolah mengimplementasikan
hal ini, tapi betapa banyak sekolah yang gagal mengambil peran tersebut
dikarenakan iklim pendidikan formal yang masih berorientasi pada capaian
kognitif. Bahkan sebenarnya perbuatan korupsi juga bisa terbentuk dimulai dari
kebiasaan mencontek di sekolah. Mereka sudah mulai menipu gurunya, ingin nilai
hasil ujian tinggi tanpa memikirkan proses mendapatkannya. Kebiasaan seperti
ini harus dicegah dengan sanksi yang tegas, sehingga anak tidak berani bahkan
takut untuk melakukannya. Kurikulum pendidikan kita tidak perlu diubah dalam
menerapkan model pendidikan anti korupsi ini, cukup hanya dengan kemampuan guru
mengeksplorasi dan mengelaborasi setiap mata pelajaran yang mereka ampu menuju
pembentukan karakter anti korupsi. Guru harus mampu menjelaskan bahwa korupsi
adalah musuh bersama dan apa efek yang ditimbulkan jika perbuatan itu merajalela.
Ketiga, lingkungan masyarakat.
Akhir-akhir ini, sebagian masyarakat kita sudah menganggap lumrah kasus korupsi
dan bahkan ada yang mengatakan, “kalau ngga
korupsi ngga bisa makan”. Pelemahan
nilai seperti ini tentunya menggerus semangat untuk menjadikan korupsi sebagai
momok yang menakutkan. Ditegaskan oleh Waluyo (2017), “Sikap dan mental
masyarakat terhadap praktik KKN dalam penyelenggaraan negara juga sangat
menentukan upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan
bebas KKN. Selama ini tata nilai masyarakat hanya menghargai seseorang dari
aspek materi semata, sehingga sikap masyarakat banyak mentolerir perilaku
koruptif”. Tokoh-tokoh masyarakat harus kembali bangkit, ikut menjadi agen
kontrol sosial, dan aktif mendorong penegakan hukum di masyarakat. Mereka harus
menjelaskan bahaya laten korupsi bagi peradaban, sehingga setiap upaya yang
berujung pada korupsi mereka cegah untuk terjadi di lingkungan mereka. Sebagai
contoh politik uang yang digalakkan oleh politisi pada saat kampanye bisa dicegah
jika tokoh masyarakat sepakat menolak hal tersebut.
Model pendidikan anti korupsi
terintegrasi maksudnya bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak bisa dipisahkan
dari keterlibatan aktif dan kerja sama semua pihak dalam setiap lapisan sosial
(keluarga, sekolah, dan masyarakat). Ada dua hal yang menjadi sorotan utama
dalam pemberantasan korupsi terintegrasi: Pertama,
penguatan penanaman nilai. Upaya ini meliputi semua usaha pendidikan yang
dilakukan secara optimal, sehingga anak merasa bertanggung jawab untuk ambil
bagian dari pencegahan korupsi. Mereka terlatih untuk peduli dan berbagi kepada
sesama demi memupuk rasa cinta dan kasih sayang. Masing-masing saling
menguatkan dan mengontrol setiap prilaku yang bisa mengarah pada prilaku
korupsi. Selain itu, hal yang paling penting adalah keterbukaan. Sebenarnya
kecanggihan teknologi informasi akhir-akhir ini merupakan kesempatan emas dalam
melakukan transparansi. Berani untuk jujur dan bertanggung jawab atas perbuatan
yang mereka lakukan adalah modal dasar pembangunan karakter yang sesungguhnya.
Kedua, penegakan
hukuman sebagai efek jera. Ini sebenarnya domain pemerintah, tetapi tidak bisa
dipisahkan dari pendidikan. Sejatinya penegakan hukum yang tegas pada koruptor merupakan
bagian dari pembelajaran kepada orang lain agar tidak melakukannya di kemudian
hari. Kita sedih ketika koruptor masih leluasa untuk berkegiatan, senyam-senyum
di depan kamera televisi, padahal sudah dinyatakan tersangka oleh KPK. Adapun
di penjara, mereka disediakan layanan prima dengan pemotongan hukuman setiap 17
Agustus. Tentu bukan ini yang kita inginkan. Kita ingin korupsi itu hangus di
2045 dengan cara tegas menghukum koruptor, sehingga menimbulkan efek jera, demi
menyelamatkan generasi mendatang. Hukum Islam contohnya, bisa diadopsi untuk
hal pidana seperti ini, “mencuri, potong tangan”. Bahkan di beberapa negara
yang tidak kenal agama sekali pun mereka berani menerapkan hukuman mati kepada
para koruptor, karena mereka sadar bahwa korupsi adalah bencana kemanusiaan
terbesar. Mengapa kita tidak bisa?
Referensi
Hakim, L. (2012). Model Integrasi Pendidikan
Anti Korupsi dalam Kurikulum Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam
Ta’lim Volume, 10.
Waluyo, B. (2017). Optimalisasi Pemberantasan
Korupsi di Indonesia. Jurnal
Yuridis, 1(2),
169-162.
Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia.
Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar