Cerita dari Brunei Darussalam (2) - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Senin, 02 Oktober 2017

Cerita dari Brunei Darussalam (2)

Matahari jumat pagi bersinar dengan lembut masuk ke celah-celah dinding rumah penduduk. Ini merupakan hari pertama saya menghirup udara pagi di Brunei. Sejak pagi saya bangun, shalat, dan menengok aktivitas pagi di rumah Pak Zainal. Tampak pekerja beliau dua orang yang telah sibuk di dapur sejak sebelum subuh. Mereka cekatan sekali memasak, membuat kue dan makanan paket lainnya, untuk diantar ke kantin-kantin langganan. Saya tidak bisa membantu apa-apa karena memang tidak diizinkan untuk ikut, malah dibuatkan teh di meja dapur dan mengobrol ringan di sela-sela kesibukan mereka.

Ternyata ini salah satu bisnis Pak Zainal, membuat kue-kue untuk diantar ke kantin rumah sakit dan tempat lainnya. Makanan yang dibuat seperti mie, nasi goreng, gorengan, dan kerupuk. Semua dipaketkan dalam kotak-kotak plastik kecil dan harga rata-rata dijual 1 dollar Brunei. Beliau punya karyawan dalam bisnis ini tiga orang, namun yang satunya lagi sakit karena tersiram minyak panas beberapa hari yang lalu, jadilah Pak Zainal yang terjun langsung ikut di dapur. Selain itu bisnis beliau adalah mesin jahit, ada karyawan satu orang, dan lagi pulang kampung. Di sinilah saya tidur, di ruangan yang biasa digunakan untuk menjahit pakaian pesanan warga.


Saya diajak untuk ikut mobil Mas Urfi. Kami mengantar makanan yang telah dibungkus habis subuh tadi ke Hospital RIPAS. RIPAS adalah singkatan dari Raja Isteri Pengiran Anak Saleha, gelar istri Sultan Hasanal Bolkiah. Jalanan pagi sangat tertib dan udara segar.

Hari ini jumat merupakan hari cuti di Brunei. Saya menikmati pemandangan di kiri kanan jalan menuju rumah sakit. Ternyata meski negara kecil, penduduknya tidak padat karena di sepanjang jalan masih ditemukan lahan kosong yang ditumbuhi rerumputan liar, seperti tidak terurus. Setelah beberapa menit, sampailah kami di tujuan. Mas Urfi menurunkan barang-barang yang kami bawa dan menjinjingnya ke kantin rumah sakit. Saya dan mas seno menunggu di luar, menatap kesibukan rumah sakit di pagi hari.

Kami dalam perjalanan menuju Masjid Omar Ali Saifuddin, setelah meninggalkan makanan jualan yang dibawa dari rumah tadi di kantin. Ini perjalanan yang sangat saya dambakan sejak di Malaysia yaitu melihat secara langsung masjid dengan kubah emas dan termegah di Brunei. Setelah sampai dan memarkir kendaraan, kami memasuki pelataran halaman masjid.

Kubah kuning emas menjulang tinggi yang sudah kelihatan dari jauh, semakin cemerlang dari jarak terdekat. Suasana masjid tampak sepi, karena kami datang sekitar jam 7 pagi, di saat orang lain sibuk dengan kegiatan rumah mereka. Mas seno menjepret beberapa gambar saya dan mas urfi di beberapa spot. Saya pun tidak kalah, sambil mengagumi keindahan bangunan ini, saya mengabadikan objek-objek yang menarik. Di sisi selatan masjid, ada bangunan seperti kapal, yang terdapat di danau buatan. Ada jembatan kecil penghubungnya dengan bangunan utama.

Masjid di sini tidak bertumpu pada infak jemaah, melainkan didanai langsung oleh kas kerajaan, berikut dengan gaji imam dan guru mengaji lainnya. Bangunan masjid menjulang megah tanpa menghadapi sebarang keterbangkalaian. Jika kita bandingkan dengan Indonesia dan Malaysia, harus diakui Negara Brunei memang sudah jauh melangkah ke depan. Di negara kita untuk membangun masjid perlu mengumpulkan uang dari jamaah, terkadang meminta di pinggir jalan, bahkan sampai rumah ke rumah. Hal itu tidak akan dijumpai di sini. Inilah bentuk real jika suatu negeri berdiri di bawah syariat agama Islam. Pemimpin sangat tinggi perhatiannya untuk memperkokoh aspek keagamaan, baik dari segi  fisik maupun psikis.

Dari masjid Omar, kami lanjutkan tour pagi menuju Masjid Jame' Ashr Hassanil Bolkiah. Tidak lama berkendara, kami pun sampai di lokasi. Wah, saya terkagum seraya memuji kebesaran Allah, ternyata masjid ini tidak kalah indahnya dengan Masjid Sultan. Taman yang dipenuhi warna-warni bunga, arsitektur bangunan masjid yang ditata dengan apik, dan anak-anak yang berdatangan untuk belajar Quran di dalam masjid, menambah getar iman di dada.

Para orang tua mengantar anak-anak mereka dengan mobil mewah untuk menimba ilmu agama. Mereka adalah tunas muda Darussalam yang akan menjadi penerus generasi di kerajaan ini. Lihatlah wajah mereka yang bening dengan sapuan cahaya pagi. Laki-laki memakai pakaian putih dengan kopiah hitam dan songket merah jambu. Sementara anak perempuan menghulurkan jilbab merah jambunya sampai ke dada, rok panjang longgar yang berwarna sama dengan jilbab, dan baju putih yang mencerminkan kesucian.

Saya perhatikan hingga ke dalam masjid, ternyata metode belajarnya dengan cara membentuk halaqah. Artinya satu kelompok dengan jenis kelamin yang sama, terdiri dari lebih kurang 10 orang, dan ada ustad/ustadzah yang membimbing satu orang pada setiap kelompok. Mereka duduk mengelompok beralaskan permadani kecil milik kelompoknya. Saya perhatikan sangat efektif belajar mengajinya karena guru tidak mengawasi anak dalam jumlah yang banyak dan masing-masing anak bisa fokus dengan kelompoknya sendiri tanpa mengganggu kelompok lainnya.

Ada sebuah bus pariwisata yang berhenti di depan gerbang masjid jamek. Penumpangnya langsung turun dan ternyata rombongan jemaah ibu-ibu. Mereka langsung foto-foto di depan gerbang, sesekali kami diminta jadi "fotografer". Saya tanya ke salah satu anggotanya, ternyata ibu-ibu yang jumlahnya puluhan tersebut berasal dari provinsi riau. Akhirnya jumpa orang Indonesia lagi.

Tidak terlalu lama kami menghabiskan waktu di Masjid Jame` karena kami harus balik pulang segera karena Mas Urfi mau menyiapkan bahan untuk jualan esok hari. Sebelum pulang ke rumah, kami mencari sarapan pagi terlebih dahulu. Suasana kedai yang kami datangi cukup ramai pagi ini, bahkan sudah ada beberapa kedai yang mau tutup karena dagangan mereka sudah habis terjual. Ada beberapa kedai yang penjualnya orang Indonesia juga dan Mas Seno sempat menyapa mereka, bertanya kabar, dan sebagainya. Kami pesan makanan dan minuman, terus kami makan di kursi yang tersedia untuk pengunjung di sana. Makan di sini satu porsinya 2 dollar Brunei, pakai atau tidak pakai lauk. Sementara air minum, mereka letakkan dengan harga 1 dollar. Tentunya hal ini tidak terlalu mahal, karena sesuai dengan standar daya beli konsumen yang datang ke sini.

Usai sarapan kami naik mobil menuju rumah. Di jalan mobil berhenti karena Mas Urfi mau membeli bahan makanan untuk dimasak pagi ini. Kami membeli di toko kelontong milik orang Jawa juga. Ibu-ibu dengan suaminya yang berjualan dan ada karyawan satu dua. Betapa mereka saling membantu untuk menunjang kebangkitan ekonomi di tanah orang dengan belanja pada kedai orang kampung kita. Kami membeli sayur-sayuran, pisang satu sikat, dan bahan-bahan masakan lainnya. Tidak lama kemudian kami pun selesai dan balik ke rumah.

Akhirnya acara jalan-jalan kami berakhir untuk pagi ini. Saya mengambil handuk untuk mandi, agar tubuh kembali segar, karena terakhir mandi waktu di Perak. Mas Seno langsung memasak bahan makanan yang dibeli tadi. Kata Mas Urfi, urusan masak-memasak Mas Seno jagoannya. Saya cuma bisa nyengir, mengingat kemampuan saya di dapur hanya memasak mie dan menggoreng telur dadar.

Menjelang waktu jumat, kami kembali makan, menikmati masakan yang dibuat oleh Mas Seno. Beliau masak gulai dan rasanya memang enak, tidak terasa saya pun menambah nasi.

Habis makan saya diajak oleh Mas Seno mengunjungi Mas Mukhlis, yang bekerja tidak jauh dari rumah Pak Zainal. Kami datang beliau sedang mengukur kayu, lengkap dengan beberapa alat yang menemani beliau. Dari cerita  beliau, beliau sudah puluhan tahun bekerja dengan tuan rumah yang sedang beliau kerjakan ini. Istilahnya, sebagai tukang tetap di sana. Bosnya orang Brunei ini, sudah seperti keluarga. Beliau juga punya kamar sendiri di sini. Sementara anak dan isteri beliau di Kalimantan. Setelah cerita panjang lebar, kami bubar, siap-siap untuk shalat jumat.

Kami berempat naik mobil yang disopiri oleh Mas Mukhlis menuju masjid terdekat untuk jumatan. Saya perhatikan dalam perjalanan ke masjid tidak ada aktivitas lain masyarakat selain langkah kaki yang sama menuju rumah Allah. Kedai-kedai lengang, dan tidak ditemukan satu pun pria bercanda tawa di jalanan dengan rokok terselip di bibir mereka. Kata teman saya,  di sini semua kegiatan terhenti dari jam 12.00-14.00 pm pada hari jumat.

Sesampai di parkiran masjid puluhan kendaraan telah berjejer, bahkan sampai ke jalan-jalan. Kendaraan orang Brunei umumnya mobil2 mewah dan saat ini saya tidak menemukan satu pun sepeda motor yang diparkir. Bapak-bapak turun dari kendaraan mereka dengan memakai gamis. Di sini memakai gamis merupakan suatu hal yang sangat lumrah. Bahkan yang tidak pakai gamis malah kelihatan aneh.

Kotak infak tidak ada yang berjalan semasa jumatan, karena masjidnya tidak kekurangan dana sama sekali. Masjid mereka sudah dibangun secara sempurna, tidak ada lagi seng bocor yang musti ditambal. Jemaah khusyuk mendengarkan khutbah yang disampaikan khatib. Topik khotbah kali ini mengenai kesyukuran terhadap Allah atas berkuasanya Sultan Hasanal Bolkiah selama 50 tahun. Beberapa hari lagi seluruh negeri memperingatinya dengan suka cita. Khatib menginstruksikan pada tanggal yang ditentukan semua masjid membaca Quran dari Maghrib sampai isya dalam rangka menyambut ulang tahun emas tersebut.

Sebagaimana negara kerajaan, khatib-khatib jumat mereka selalu mendoakan raja dalam setiap prosesi khutbah. Ada perbedaan di sini dengan Negeri Perak Malaysia. Di sini khatib menyebut nama sultan saja, sedangkan di Perak, selain nama sultan, khatib juga menyebutkan nama istri sultan.

Kata teman saya lagi, ternyata di sini teks khutbah jumat adalah sama di setiap masjid, yang disusun oleh jabatan agama Islam kerajaan. Ini merupakan salah satu cara pemerintah untuk meredam gejolak dari penyampaian khatib yang bisa jadi berunsur provokasi pada masyarakat. Menurut saya wajar saja, karena mereka menganut sistem monarki, akan aneh jika kita katakan Indonesia lebih baik. Indonesia pakai sistem demokrasi, pemerintah tidak berhak melarang atau mendikte khatib karena mereka tidak makan gaji dari pemerintah. Selain itu, Indonesia tidak menegakkan syariat Islam dalam tata kelola pemerintahannya, makanya jika ada intervensi terhadap khatib kita adalah konyol.

Tadi khatib juga membaca qunut nazilah untuk saudara Muslim rohingya di rakaat kedua setelah rukuk. Duka Rohingya adalah duka umat Islam. Tidak wajar rasanya kita menutup mata dengan tragedi tersebut, dimana pun negeri kita. Syahadat kita sama dengan mereka, bahkan mereka manusia, tapi tidak diperlakukan sebagaimana layaknya manusia oleh Budha radikal dan tentara Myanmar. Kekuatan doa kaum muslimin akan menggoncang langit, semoga Allah menurunkan mukjizatnya, di samping kita juga membantu mereka dengan segala daya upaya yang kita punya.

Kami berempat kembali ke rumah usai menunaikan shalat jumat. Matahari tidak terlalu terik tapi memancing kantuk untuk menggulingkan badan sejenak dalam tidur siang. Saya kembali membuka catatan-catatan sebelum istirahat, sembari mengucap syukur karena Allah memberi saya saudara-saudara baru di negeri yang baru.

Sore hari, saya diajak oleh Mas Urfi belanja sambil jalan-jalan ke Pasar Tani. Saya selalu menikmati jalanan Brunei yang anti macet dan tidak bising. Kami ke pasar membeli keperluan bahan makanan untuk jualan esok pagi. Di pasar sore itu banyak sekali penjual yang membentangkan barang dagangan mereka tetapi pembeli agak sepi.

Selain ke pasar, kami juga ke beberapa toko kelontong untuk melengkapi list belanjaan. Mas Urfi bercerita bahwa menjadi pekerja yang bukan warga Brunei, nasibnya sungguh memprihatinkan. Orang Brunei mempekerjakan orang asing bisa dikatakan suka-suka. Maksudnya jam kerja tidak menentu dan gaji yang sangat rendah.

Salah satu contoh, kami singgah di salah satu toko kelontong. Di sana ada orang Indonesia yang bekerja sebagai tukang angkat barang, jam kerjanya dari jam 7 pagi sampai jam 3 pagi. Sembari berbisik Mas Urfi menunjuk orangnya. Saya perhatikan dia berusia sekitar 30-an, wajahnya kuyu karena kurang tidur dan kelelahan, dan rambut depannya banyak yang rontok. Sungguh saya merasa miris. Mas Urfi menambahkan, banyak orang menganggap senang kerja di Brunei tapi sebenarnya mereka tidak tahu betapa buruknya sisi lain menjadi buruh di sini.

Mas Urfi juga menambahkan, bahwa tidak semua warga Brunei sejahtera dan kami langsung bertemu dengan contoh real. Kami bertemu dekat toko klontong itu dengan seorang bapak. Beliau minta izin menumpang di mobilnya Mas Urfi ke suatu jalan. Mas Urfi mempersilahkan dan mengantar beliau dengan sukarela.

Di jalan, saya membuka percakapan dengan menanyakan beliau warga mana dan hal-hal lainnya. Beliau mulai bercerita bahwa beliau adalah asli warga Brunei, tidak lagi bekerja, tapi memiliki tanggungan anak sebanyak 5 orang. Menurut beliau yang kaya itu ya sultannya, kalau rakyat ya masih banyak hidup susah. Memang ada bantuan yang diberikan oleh kerajaan sebanyak 500 dollar Brunei tapi maksimal hanya 3 tahun. Saya sanggah, bukannya lahan kosong di sini sangat banyak? Mengapa hanya dibiarkan? Beliau mengatakan bahwa sebagian besar penduduk Brunei sangat malu untuk bekerja di bawah terik matahari, gengsi, semuanya mau bekerja di ruang ber-ac, dan menyerahkan tanah dikelola pekerja asing, itu pun perlu modal.

Itulah sekelumit cerita yang saya peroleh dari warga Brunei dan saya tidak melebihkan atau mengurangi. Setelah sampai di rumah pamannya yang menjadi tujuan bapak itu, beliau turun, mengucapkan terima kasih, dan kami pun berbelok pulang menuju rumah Pak Zainal.
(Bersambung)

Gambar 1: Masjid Sultan

Gambar 1.1:

Gambar 1.2:

Gambar 1.3:

Gambar 1.4:

Gambar 1.5:

Gambar 1.6:

Gambar 1.7:

Gambar 1.8:

Gambar 1.9:

Gambar 1.10:

Gambar 1.11:

Gambar 1.12:

Gambar 1.13:

Gambar 1.14:

Gambar 1.15:

Gambar 1.16:

Gambar 1.17:

Gambar 1.18:

Gambar 1.19:

Gambar 1.20:

Gambar 1.21:

Gambar 1.22:

Gambar 1.23:

Gambar 1.24:

Gambar 1.25:

Gambar 1.26:

Gambar 1.27:

Gambar 1.28:

Gambar 1.29:

Gambar 1.30:

Gambar 1.31:

Gambar 1.32:

Gambar 1.33:

Gambar 1.34:

Gambar 1.35:


Gambar 1.3

Gambar 1.3



Gambar 2: Masjid Jamek 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar