Internalisasi Filosofis Pendidikan “Alam Takambang Jadi Guru” dalam Menghadapi Permasalahan Pendidikan Kontemporer - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Senin, 13 April 2015

Internalisasi Filosofis Pendidikan “Alam Takambang Jadi Guru” dalam Menghadapi Permasalahan Pendidikan Kontemporer

Pendahuluan
Pewarisan nilai sebagai identitas suatu komunitas sosial merupakan fungsi penting dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Hal ini juga ditunjang dengan tujuan inti dari pendidikan antara lain membentuk manusia yang seutuhnya, mampu menerapkan nilai-nilai luhur kehidupan, dan mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal untuk menjaga kelestarian lingkungan alam dalam mengaplikasian fungsi penting dirinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Berdasarkan hal tersebut tidak bisa dipungkiri lingkungan alam berperan penting dalam menentukan identitas dan pola prilaku manusia sebagai insan pendidikan.

Nilai-nilai pendidikan digali dari filsafat kehidupan manusia yang telah dianut jauh sebelum era teknologi modern hadir. Manusia lahir, tumbuh, berkembang, dan berinteraksi dengan alam, yang diciptakan oleh Tuhan sebagai sumber belajar dalam kehidupannya. Alam merupakan ayat kauniyah yang tidak tertulis tetapi memiliki makna yang dapat dijadikan pelajaran oleh manusia. Ekspansi dan ekspedisi yang dilakukan manusia dalam menjelajah alam dan menundukkan alam telah melahirkan corak budaya yang variatif dan merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya filsafat pendidikan yang bermuara pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Salah satu budaya yang menjadi fokus sorotan pada makalah ini adalah budaya dan adat di Minangkabau. Secara historis suku bangsa Minangkabau telah terbukti banyak melahirkan falsafah hidup yang menjadi pegangan hidup masyarakatnya, bahkan mampu diterapkan pada masyarakat yang lebih luas. Tidak hanya pada masa lalu, bahkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat dewasa ini.

Hakimy (1994:116) mengatakan “adat Minangkabau itu mengandung filsafat hidup yang dituangkan di dalam kalimat-kalimat yang pada umumnya mengandung arti kiasan, yakni mengandung arti yang tersurat dan arti yang tersirat”. Hal ini dapat kita analisis dari banyak pepatah petitih adat Minangkabau yang sarat dengan makna kehidupan. Tata cara dan kebiasaan sosial orang Minangkabau telah terrefleksi dari pituah berupa sindiran halus dengan pemaknaan yang dalam sehingga menimbulkan suatu bentuk kehalusan budi bagi masyarakat Minangkabau.

Sementara itu Hamka (1984:74) dalam bukunya tentang “Islam dan Adat Minangkabau”, menyatakan bahwa adat Minangkabau mempunyai undang, hukum dan adat. Mempunyai cupak dan gantang, mempunyai dasar filsafat yang dapat dikorek dan diselidiki secara ilmiah.

Jelaslah oleh kita bahwa adat Minangkabau tidak hanya berupa seremonial belaka yang hanya dapat difungsikan pada saat upacara perkawinan atau pun upacara kematian. Namun lebih dari itu adat Minangkabau telah mengembangkan suatu bentuk dasar filsafat. Filsafat yang turut membidani lahirnya ilmu pengetahuan modern. Petunjuk dan tata laksana masyarakat yang termaktub dalam undang-undang adat dapat diuji kebenarannya dengan metodologi penelitian ilmiah. Lebih jauh kita pahami bahwa adat Minangkabau tidak bersifat taklid buta yang menuntut kepatuhan semata dan menghalang orang untuk menyelidiki kebenarannya. Adat minangkabau menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan bersifat fleksibel dengan ciri mendukung setiap temuan ilmiah demi kemajuan kehidupan umat manusia.

Inti sari lain dari falsafah adat Minangkabau adalah keyakinan yang mendalam bahwa sebelum ajal berpantang mati. Makna tersirat dari ungkapan dimaksud adalah keteguhan prinsip di dalam mempertahankan keyakinan yang hak (Abidin, 2004). Keteguhan prinsip merupakan ciri khas tersendiri bagi orang Minangkabau dikarenakan hal tersebut dipandang sebagai identitas. Orang minangkabau akan kehilangan identitas jika mereka tidak mampu menjaga prinsip hidupnya. Prinsip hidup yang didasarkan pada nilai kebenaran yang bersumber dari ajaran Ilahi dengan ungkapan “adat basandi syarak, syarak bsandi kitabullah” merupakan harga mati. Siap untuk dipertahankan dalam berbagai situasi dan kondisi apa pun.

Berdasarkan paparan dan uraian di atas dapat dilihat benang merah berupa korelasi positif antara adat minangkabau dengan pendidikan. Falsafah adat dan pepatah petitih Minangkabau sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Masyarakat Minangkabau dikenal dengan bangsa yang suka berpetualang. Dalam berpetualang yang dikenal dengan istilah “merantau”, orang Minangkabau tidak hanya bertujuan untuk urusan perut semata. Namun lebih dari itu adalah untuk menuntut ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam menghadapi kehidupan.

Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Dr. Mochtar Naim dalam disertasinya yang berjudul “Merantau: Minangkabau Voluntary Migration”, menyatakan bahwa sampai sekarang adat Minangkabau tidak menjadi penghalang bagi kemajuan pendidikan, malah sebalikya. Sebenarnya sebagian konsep dari merantau itu sendiri adalah mencari ilmu dan pengalaman untuk mempersiapkan diri untuk dapat hidup berguna di kampung nanti sesudah kembali dari rantau (Naim, 1984:257).

Masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dan memiliki kemauan keras untuk menuntut ilmu tanpa mengenal batas teritorial sekali pun. Salah satu motivasi besar yang ditanamkan oleh orang Minangkabau dalam menuntut ilmu adalah mencari bekal yang banyak untuk membangun kampung halaman. Artinya mereka akan berusaha keras untuk memperbaiki keadaan masyarakatnya dengan memberikan kontribusi terbaik kepada daerah tempat mereka berasal. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan tokoh-tokoh seperti Hamka, Natsir, Hatta, dan Agus Salim, serta banyak tokoh Minang lainnnya melanglang buana ke luar negeri untuk mengasah intelektual mereka demi kontribusi dalam perbaikan negerinya ke depan.

Mereka para pencari ilmu tersebut merupakan tokoh-tokoh Minangkabau yang paham betul tentang filsafat kehidupan adat dan budayanya. Sebab hal itu menjadi identitas dan jati diri yang bisa mereka banggakan sebagai bagian dari suku bangsa Minangkabau. Tentunya bukan hanya sekedar kebanggaan yang berorientasi pada arogansi etnis semata, namun lebih dari itu dapat dianalisis sikap demikian merupakan pemahaman mereka yang komprehensif tentang falasafat pendidikan orang Minangkabau, yaitu “alam takambang jadi guru”.

Alam Takambang Jadi Guru Sebagai Filosofis Pendidikan

Jika kita berkunjung ke Universitas Negeri Padang (UNP), pada gerbang utama akan terlihat tulisan yang berbunyi “alam takambang jadi guru”.Tentunya hal tersebut bukan hanya sekedar seperangkat huruf yang disusun menjadi kata kemudian dirangkai menjadi sebuah kalimat, namun ketika dicermati lebih jauh kalimat tersebut mengandung makna yang dalam sehingga bisa dikatakan sebagai sebuah filsafat dalam menemukan kebenaran. Alam takambang jadi guru tidak diketahui sejak kapan pastinya dijadikan sebagai filsafat pendidikan, namun pepatah ini sering didengungkan dewasa ini terutama dalam hal mensosialisasikan pendidikan berkarakter di Indonesia.

Merujuk dari segi dasar etimologi “alam takambang jadi guru” diambil dari bahasa Minang yang kalau diindonesiakan menjadi alam terkembang menjadi guru. Sebagaimana kita ketahui bersama bahasa Minang merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh suku bangsa Minangkabau yang mendiami salah satu propinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Barat.Alam berarti tempat kita hidup, sesuatu yang berada di sekitar, tempat lahir dan berkembang yang dijadikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Takambang memiliki makna bahwa alam yang diciptakan tuhan itu bukanlah alam yang sempit, namun memiliki keluasan cakupan, tempat terjadinya aneka peristiwa dan dinamika kehidupan. Sedangkan jadi guru diartikan bahwa alam tersebut dapat dijadikan sebagai sumber belajar, tempat terjadinya proses pendidikan yang maha luas, banyak hikmah yang dapat diambil pelajaran sebagai pedoman hidup manusia dalam mengalami kehidupannya.

Hal ini berarti bahwa bahwa alam sekitar yang dijadikan sumber belajar bermakna jauh lebih luas dan lebih bervariasi jika dibandingan  “guru” di sekolah sebagai sumber belajar. Dengan hal yang seperti itu semua orang akan mendapat peluang untuk belajar sepanjang hayat, karena didukung dengan ketersediaan sumber belajar dimana-mana (http://jalius12.wordpress.com). Mengandung makna bahwa seorang guru yang mengajar mengambil bahan pelajaran juga berasal dari Alam Takambang ini. Belajar dengan Alam Takambang akan selalu serasi dan selaras dengan perkembangan, karena belajar dengan Alam Takambang tidak akan ada dijumpai apa yang disebut dengan keterikatan, keterbelakangan, keterbatasan, kadaluarsa dan lain sebagainya. Alam Takambang dijadikan guru tidak jadi soal jauh atau dekat karena dengan bantuan teknologi banyak hal menjadi sangat mudah.

Falsafah alam Minangkabau meletakkan manusia sebagai salah satu unsur yang statusnya sama dengan unsur lainnya, seperti tanah, rumah suku, dan nagari. Persamaan status itu mereka lihat dari keperluan budi daya manusia itu sendiri. Setiap manusia, secara bersama atau pun sendiri-sendiri memerlukan tanah, rumah, suku, dan nagari sebagaimana mereka memerlukan orang lain bagi kepentingan lahir dan batinnya (Navis, 1986:60).

Pendapat di atas membuktikan eksistensi manusia tergantung dengan keberadaan dan kemampuannya mempertahankan diri di alam.Selain itu pemanfaatan alam sebagai sumber pemenuhan kebutuhan manusia mutlak harus dijaga dan dipelihara karena menyangkut keberlangsungan hidup mereka sekarang atau pun untuk anak keturunan mereka di kemudian hari.

Orang Minangkabau berpikir dan menarik pembelajaran dari ketentuan alam. Sehingga tidak jarang pepatah dan petitih yang menjadi panduan adat mereka bersumber dari peristiwa yang terjadi di alam. Ketentuan dari alam yang kita maksudkan umpamanya daratan, lautan, gunung, bukit, lurah, batu, air, api, besi, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, langit, bumi, bintang, matahari, bulan, warna-warna, bunyi dan sebagainya yang mempunyai ketentuan-ketentuannya sendiri-sendiri. Seumpama ketentuan lautan berombak, gunung berkabut, lurah berair, air menyuburkan, api membakar, batu dan besi keras, kelapa bermata, buluh berbuku, pokok bertunas, ayam berkokok, murai berkicau, elang berkulit, merah, putih, hitam, dan sebagainya (Hakimy, 2001:3).

Sementara itu nilai-nilai kemanusiaan seperti: penghargaan pada sesama, toleransi, tolong menolong, dan lain sebagainya digali untuk dijadikan dasar berprilaku dalam interaksi sosial masyarakat. Pembelajaran seperti ini merupakan manifestasi dari keyakinan mereka bahwa agar menjadi pribadi yang utuh manusia haruslah memiliki pandangan yang bijak dalam memahami alam sebagai guru kehidupan. Sebagai guru alam sudah seharusnya melaksanakan proses pendidikan yang sebenarnya.

Pendidikan yang dimaksud tentulah pendidikan yang bersifat menyeluruh, padu yang tak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri. Itulah, pendidikan yang tak hanya terkait dengan ilmu sebagai sekedar pengetahuan, tetapi “ilmu yang hidup” berjalin-berkelindan menjadi amal perbuatan dalam samudera kehidupan. Pendidikan yang hasil akhirnya bukanlah hanya ijazah atau pun gelar, atau yang sejenis dengan itu (Abidin, 2004:9).

Nilai pendidikan akan dangkal jika dipatok harganya dengan selembar ijazah. Sedemikian mulianya nilai pendidikan bagi orang Minangkabau menganggap ilmu itu sesuatu yang hidup, mendampingi manusia dalam mencapai kebahagiaan hakiki dalam hidup dan kehidupannya. Eksistensi ilmu turut membangun dinamika kehidupan yang lebih bermartabat, karena pada dasarnya ilmu itu diperoleh dari proses pendidikan yang tidak pernah berhenti dalam usaha mewujudkan manusia yang sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan.

Permasalahan Pendidikan Kontemporer

Proses pendidikan mengalami perkembangan selaras dengan proses tumbuh berkembangnya suatu masyarakat, suku dan bangsa. Setiap masyarakat, suku atau bangsa mempunyai cara-cara tersendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan pemahaman, pengertian dan tujuan dari hidup dan kehidupan yang mereka hayati, yakini dan yang mereka pelihara dan hormati bersama (http://auliarezabastian.blogspot.com).

Kita tidak bisa menampik tentang kompleksitas permasalahan pendidikan dewasa ini yang merupakan konsekuensi logis dari dinamika sosial yang tidak lagi terkontrol. Sejak lama pendidikan telah dilaksanakan dengan mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan yang berorientasi pada pemahaman manusia secara komprehensif tentang dirinya sebagai pribadi yang istimewa. Manusia sebagai pribadi yang istimewa dapat ditafsirkan sebagai pemimpin, yang bertugas untuk melaksanakan fungsi manajemen kehidupan sebagai wakil Tuhan di muka bumi untuk menyelamatkan alam sebagai lingkungan hidup.

Namun fungsi ini telah tergerus, hal ini dianalisis diakibatkan oleh proses pendidikan belum berjalan dengan semestinya. Pendidikan layaknya menjadikan manusia yang memiliki moral, berakhlak, dan berkarakter kuat, sehingga mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik pada lingkungannya. Adapun permasalahan pendidikan kotemporer dalam makalah ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Ketimpangan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan karakter
Kenakalan remaja terus terjadi dan bahkan semakin meningkat dengan kasus-kasus yang menyalahi etika kehidupan. Ada apa dengan intelektualitas kita sebenarnya? Pertanyaan ini tentu menjadi dasar bagi kita untuk menelusuri lebih jauh mengenai ketimpangan yang terjadi di bidang karakter. Bangsa ini setiap tahun menamatkan para ilmuan dalam jumlah yang tidak sedikit. Mereka para akademisi dan aktivis organisasi, namun sangat disayangkan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan semakin melonjak dari hari ke hari.

Secara sederhana dapat disimpulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin progresif dari hari ke hari tidak akan memiliki nilai sama sekali jika tidak diimbangi dengan karakter yang positif. Karakter dalam hal ini dimaksudkan dengan pancaran kesadaran yang lahir dari pemahaman mendalam tentang posisinya sebagai individu yang diciptakan tuhan. Sebagai makhluk dia meyakini ada tugas yang harus diembannya berupa tanggung jawab untuk menyelamatkan dirinya dengan menyelamatkan orang lain. Manusia yang berkarakter meyakini setiap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus diimbangi dengan karakter, karena dengan karakterlah segala sesuatu menjadi berharga dan menempatkan manusia pada posisi yang layak sebagai ilmuan dan teknokrat sejati.

2. Rasa kepedulian yang rendah
Kepedulian terhadap sesama menjadi suatu hal yang sulit ditemukan dewasa ini. Manusia berlomba untuk memuaskan nafsu keserakahannya dan cenderung mengabaikan kondisi lingkungan mereka. Hal ini bisa kita cermati dari perbedaan kelas sosial masyarakat yang kelihatannya sangat signifikan. Struktur sosial masyarakat menjadi renggang dan goyah karena tidak adanya hubungan take and give yang terpelihara dengan baik. Sehingga tidak jarang terjadi kecemburuan sosial yang berimplikasi pada kriminalitas dan kekerasan.

Sementara itu di tataran mahasiswa kita sorot kepedulian mereka tentang fenomena yang terjadi dewasa ini. Rusaknya moralitas bangsa dengan ditandai prilaku pejabat yang tidak amanah, bahkan mewabah ke kalangan kampus dalam melakukan korupsi dan unsur manipulatif lainnya. Mahasiswa dituntut idealismenya dalam melakukkan fungsi kontrol sosial terhadap fenomena tersebut. Namun hasilnya banyak yang tidak peduli dengan mengatakan itu bukan urusan kita, dengan santai mengatakan “yang dirugikan bukan kita toh”.

3. Kejujuran sudah sulit ditemukan
Terkadang anak yang berusaha untuk jujur pun mendapat cercaan dari masyarakat. Terungkap dari kasus ujian nasional yang berlangsung tahun lalu, seorang anak SD yang tidak mau memberikan contekan pada temannya ketika ujian dikucilkan oleh guru mereka. Dia dikatakan tidak memiliki rasa kebersamaan dan ingin lulus sendiri. Institusi pendidikan pun sebenarnya turut bertanggung jawab membentuk generasi muda yang tidak jujur.

4. Motivasi rendah karena kehilangan konsep diri
Rendahnya motivasi merupakan masalah pendidikan yang cukup memprihatinkan di negara kita. Motivasi timbul tidak terlepas dari pemahaman yang mendasar seorang anak tentang konsep dirinya yang menunjukkan eksistensinya sebagai manusia. Akibat dari hal ini dapat kita amati dengan lemahnya semangat untuk meraih kesuksesan. Sikap pesimis menjangkiti sebagian besar generasi muda kita, yang mengakibatkan mereka semakin tenggelam dengan kemalasan. Tentunya kita tidak bisa membiarkan hal demikian terus berlanjut, dan kita tidak dapat membayangkan mau jadi apa bangsa ini ke depan jika calon intelektualnya kehilangan identitas dan semangat untuk berkompetisi.

Internalisasi Filosofis Alam Takambang Jadi Guru Sebagai Suatu Solusi Penting

Internalisasi berarti penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yg diwujudkan dalam sikap dan perilaku (www.artikata.com). Berdasarkan defenisi tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa internalisasi filosofis alam takambang jadi guru adalah suatu upaya yang dilakukan dalam memberikan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai yang terkandung di alam untuk dijadikan pegangan hidup dan dapat diaplikasikan berupa aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini mencerminkan bahwa dalam falsafah alam takambang jadi guru banyak sekali mengandung nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam merancang sistem pendidikan sekarang dan untuk masa depan. Keterpurukan dunia pendidikan dewasa ini tidak terlepas dari sejauh mana usaha yang dilakukan oleh seluruh komponen pendidik dalam menanamkan nilai tersebut. Proses pendidikan seakan telah memisahkan anak didik dengan alam tempat mereka selama ini tumbuh dan dibesarkan. Lingkungan akademik yang berorientasi pada penguasaan konsep dengan indeks prestasi yang tinggi tanpa mempedulikan aplikasi mereka terhadap lingkungan sekitar.

Diuraikan lebih jauh falsafah hidup alam takambang jadi guru mengandung pengertian bahwa setiap orang ataupun kelompok kedudukannya sama, dimana tidak ada yang lebih tinggi satu dari yang lain, baik sebagai individu, kelompok ataupun golongan. Secara historis pandangan hidup semacam itu memberikan sprit tersendiri bagi individu untuk mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, oleh karenanya mereka saling berkompetisi meningkatkan harga diri dan martabat mereka masing-masing. Sistem masyarakat yang komunal dan kolektif tersebut senantiasa menentang eksistensi personal yang dengan sendirinya bisa melahirkan generasi yang sensitif akan kehidupan masyarakat ke depan. Karena disatu sisi alam takambang jadi guru mengajarkan bahwa suatu keniscayaan bagi seseorang untuk menjunjung dan menempatkan harga diri pada posisi yang wajar dan terhormat agar tidak terjadi kesenjangan sosial ditengah masyarakat (http://makdis.multiply.com).

Tujuan akhir dari falsafah ini adalah kesuksesan bersama dengan memberdayakan potensi individu sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Dalam falsafah alam takambang jadi guru tidak ada manusia yang tidak “terpakai”.Memang kita tidak menampik kelebihan kecerdasan antara orang yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda tetapi perbedaan tersebut bukanlah suatu halangan bahkan sebenarnya dapat dijadikan sarana untuk saling melengkapi dalam mencapai tujuan.

Fungsi dan peran yang berbeda namun membentuk suatu kesatuan untuk melengkapi dapat kita temukan dalam mamangan berikut: Nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuaik pambao baban, nan binguang disuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang (yang buta penghembus lesung, yang tuli pelepas bedil, yang lumpuh penghuni rumah, yang kuat pemikul beban, yang bodoh di suruh-suruh, yang pintar lawan berunding). Secara sederhana pengertiannya adalah setiap orang membutuhkan orang lain dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Seorang petani akan kesulitan jika tidak ada pedagang yang akan menjualkan hasil panennya, begitu pun sebaliknya. Guru tidak akan disebut sebagai guru jika tidak ada murid yang akan dididiknya, seseorang tidak akan dikatakan pintar jika tidak ada orang yang memilki intelegensi di bawah rata-rata.

Sementara itu dalam menghadapi permasalahan pendidikan kontemporer yang telah kita jelaskan di atas, ada beberapa nilai filosofis alam takambang jadi guru yang bias kita kembangkan, yaitu:
1. Nilai kepribadian dan etika
Orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai kepribadian dan etika sejak dahulunya. Hal ini tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari yang dipandu dengan keyakinan dan Agama Islam yang mereka anut selama ini. Kalau hanya sekedar pintar secara intelektual itu belum dikatakan pemuda Minang yang sesungguhnya. Demi untuk mengasah kecerdasan lainnya maka dalam waktu yang lama orang Minang telah mengajarkan kepada anak mereka untuk berguru dan menginap di surau di bawah bimbingan guru mengaji.

Kebiasaan ke surau mengandung pembelajaran yang sarat dengan pembentukan karakter, kepribadian, dan etika pemuda Minang. Mereka akan berinteraksi dengan teman sebaya di bawah bimbingan cahaya keimanan yang menjadi pondasi dalam bertindak dan bertingkah laku dalam keseharian. Salah satu nilai karakter yang diajarkan adalah memiliki rasa malu dalam berbuat suatu kesalahan. Rasa malu ini menjadi penting untuk menjaga eksistensi kita sebagai manusia. Seseorang yang tidak lagi memiliki rasa malu berarti kpribadiannya patut dipertanyakan. Hal ini ditegaskan dalam pepatah yang berbunyi:
Rarak kalikih dek binalu
Tumbuah sarumpun jo kayu kalek
Kok abih raso jo malu
Bak kayu lungga pangabek

Roboh kelikis karena benalu
Tumbuh serumpun dengan kayu pahit
Kalau habis rasa dan malu
Ibarat kayu longgar ikatannya

Rasa malu menjadi tolak ukur untuk menentukan sejauh mana harga diri suatu komunitas sosial. Individu yang tidak memiliki rasa malu akan dikucilkan dan dianggap orang yang tidak berakal. Malu dalam hal ini bisa kita bawa pada realita sekarang, betapa orang tidak lagi malu untuk melakukan korupsi, seorang pendidik tidak lagi malu untuk terlambat dalam melaksanakan tugasnya, birokrasi pendidikan yang tidak lagi malu dengan semakin buruk pelayananyng diberikan.

Penanaman kepribadian bagi anak didik sudah sewajarnya dikaji ulang tetang kesalahannya selama ini dan ditingkatkan dengan memberikan contoh dimulai dari pendidik itu sendiri. Kesadaran penuh bahwa pendidikan tidak hanya sekedar kata-kata verbal tetapi menuntut ketauladanan yang diberikan dalam keseharian. Nilai-nilai tersebut dapat diinternalisasikan dengan memulai dari diri sendiri dengan melakukan fungsi kontrol secara bersama terhadap institusi pendidikan yang ada dalam mewujudkan pribadi yang intelek dan berkarkter yang bisa digugu dan ditiru.

2. Nilai kebersamaan dan solidaritas sosial
Kebersamaan dan solidaritas merupakan kebutuhan setiap individu yang hidup di lingkungan masyarakat. Melalui rasa kebersamaan timbul rasa memiliki yang berlanjut pada rasa empati, dalam artian merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Ketika kita merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain muncul kepedulian dengan rasa senasib sepenanggungan. Kepedulian sosial perlu ditanamkan sejak dini kepada anak sebagai peserta didik, agar ia mengetahui bahwa masing-masing individu berbeda, dengan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini sengaja diciptakan Tuhan sebagai peluang untuk memupuk rasa persatuan dengan saling bantu-membantu antara satu dengan yang lainnya.

Filosofis alam takambang jadi guru memberikan turunan nilai dalam hal kebersamaan dan solidaritas sosial sebagai berikut:
Kaluak paku kacang balimbiang
Timpuruang lenggang-lenggangkan
Bao manurun ka saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang raso jo pareso 

Kelok paku kacang belimbing
Tempurung dilenggangkan
Bawa menurun ke saruasa
Anak dipangku kemenakan dibimbing
Orang kampung diperjuangkan
Perjuangkan rasa dan periksa

Makna yang dapat kita tangkap dalam ungkapan ini adalah seorang individu tidaklah cukup dengan memperjuangkan nasib diri dan keluarganya saja. Namun dia juga dituntut untuk memberikan kontribusi positif pada masyarakatnya dalam cakupan yang lebih luas. Tujuan dari hal ini adalah tercapainya tatanan kehidupan sosial masyarakat yang solid dan dinamis, mampu bangkit dari ketertinggalan, dan optimis menatap hari esok dengan semangat kebersamaan.

3. Nilai kejujuran dalam berprilaku
Sikap jujur dan prilaku santun diasah sejak dalam pendidikan pertama dan utama dalam keluarga. Sehingga bisa menjadi prinsip kehidupan yang kuat terpatri dalam hati nurani masing-masing individu. Lembaga pendidikan berkewajiban mengembangkan sikap jujur ini, karena pendidikan tidak akan berarti apa-apa jika belum mampu menciptakan intelektual yang memiliki pribadi jujur. Kelemahan dan kemerosotan bangsa ini karena dipimpin oleh pribadi-pribadi yang tidak jujur, suka menipu, korupsi, menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan tertinggi.

Padahal kalau direnungkan lebih dalam sebenarnya sikap jujur merupakan kunci kewibawaan dan harga diri individu. Orang Minangkabu dalam filsafat alamnya mengutamakan nilai-nilai kejujuran dalam mengukur kualitas manusia, sebagaimana dikatakan:
Nan kuriak kundi
Nan merah sago
Nan baiak budi
Nan indah baso

Yang kurik kundi
Yang merah saga
Yang baik budi
Yang indah bahasa

Berdasarkan mamangan di atas dapat kita simpulkan internalisasi nilai kejujuran dalam diri sesorang akan mengangkat kualitasnya sebagai manusia. Orang akan senang bergaul dengan dirinya, karena dia tidak merugikan atau pun mengganggu lingkungan sekitar. Tutur bahasanya bias dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jika ia menjadi seorang pendidik, ia akan menjadi icon kejujuran dalam pendidikan dengan tauladan yang diberikan dalam proses pembelajaran.

4. Nilai kesadaran atas potensi diri
Upaya maksimal mutlak harus dilakukan oleh setiap pribadi dalam meraih kesuksesan di masa depan. Tuhan pun telah menganugrahkan potensi yang luar biasa kepada kita untuk dikembangkan. Namun sayangnya potensi tersebut mati suri karena rendahnya motivasi dan kesadaran penuh dari kita bahwa kita punya bekal seperti ragi. Ragi yang tercipta dari proses fermentasi untuk berkembang menuju kesempurnaan bentuk dan ukuran. Falsafah alam takambang jadi guru mendukung hal ini dengan sebuah ungkapan yang fenomenal, yaitu:
Nak kayo kuek mancari
Nak mulie naiakkan budi

Ingin kaya kuat berusaha
Ingin mulia naikkan budi

Artinya seseorang yang ingin sukses harus diimbangi dengan usaha yang dilakukan dalam hidupnya. Karena mustahil kesuksesan dapat diraih dengan hanya duduk, diam, dan bermalas-malasan. Seluruh kemampuan, daya, upaya, usaha, dan do`a harus dipadukan dalam mencapai cita-cita. Sehingga hasil dari itu lah yang disebut dengan takdir. Mengacu pada ungkapan di atas, orang Minangkabau tidak percaya dengan takdir buta, yang mengatakan diri sudah digariskan untuk sengsara sejak dahulunya.

Selanjutnya segala kesuksesan yang diraih tidak akan bernilai jika tidak diiringi dengan kehalusan budi pekerti. Kesuksesan tersebut harus berkorelasi postif dengan keadaan lingkungan kita bertempat tinggal. Sehingga memang berdampak pada akselerasi perwujudan individu yang berkontribusi kepada masyarakat dan alam sekitarnya. Dengan demikian harga diri kita akan naik karena telah mampu membuktikan eksistensinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa.

Daftar Rujukan
Abidin, Mas`oed. 2004. Adat dan Syarak di Minangkabau. Padang: PPIM Sumbar.

Abidin, Mas`oed. 2004. Surau Kito. Padang. PPIM Sumbar.

Hakimi, Idrus. 1994. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minagkabau. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Hamka. 1984. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta. PT Mata Print.

Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Navis, A,A. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press.

Web-Site
http://artikata.com/arti-330927-internalisasi.html(diakses tanggal 2 Oktober 2012)
http://auliarezabastian.blogspot.com/2010/03/persoalan-persoalan pendidikan.html (diakses tanggal 20 September 2012)

http://jalius12.wordpress.com/2012/03/17/tut-wuri-handayani-dan-alam takambang-jadiguru-2/ (diakses tanggal 20 September 2012)

http://makdis.multiply.com/journal/item/3/Filosofi-Alam-Takambang-Jadi Guru?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem(diakses tanggal 2 Oktober 2012)

http://sawali.info/2011/05/23/alam-takambang-jadi-guru-dan-kecerdasan-%E2%80%9Cparipurna%E2%80%9D/ (diakses tanggal 20 September 2012)

Notes: Disampaikan dalam acara seminar antar bangsa mahasiswa silang budaya di USIM Malaysia, 4 Oktober 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar