Budaya Jalan Cepat dan Prinsip Orang Korea Menghargai Waktu - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Minggu, 12 April 2015

Budaya Jalan Cepat dan Prinsip Orang Korea Menghargai Waktu

Ada kebiasaan menarik menurut saya yang perlu kita cermati ketika melihat cara berjalannya orang Korea. Mereka berjalan sangat cepat seolah-olah ada sesuatu yang sangat mendesak untuk ditunaikan sesegera mungkin. Laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak di pinggir jalanan Seoul larut dengan berjalan cepat. Tidak jarang ketika lampu untuk pejalan kaki menyeberang menyala, banyak di antara mereka yang berlarian dan berdesakan. Teriakan 빨리 빨리 (pal-li pal-li) yang arti harfiahnya “ayo lekas lekas”, sering terdengar dimana-mana.

Asumsi saya, penghargaan mereka terhadap waktu sangat tinggi. Masyarakat dunia memiliki paradigma tersendiri tentang cara menghargai waktu, yang tercermin dalam prinsip hidup mereka sehari-hari. Orang Eropa mengatakan “time is money” (waktu adalah uang), Orang Arab mengatakan “al waqtu kassaif” (waktu adalah pedang). Sedangkan filosofis waktu orang Indonesia mengatakan “biar lambat asal selamat”. Saya kira ada korelasi penerapan prinsip ini di kalangan masyarakat yang berada di negara maju, negara berkembang, dan negara terbelakang sekali pun. Penerapannya tidak hanya pada ketepatan dalam memulai dan mengakhiri suatu pertemuan atau bisnis. Tapi juga terrefleksi pada cara berjalan mereka sehari-hari.

Prinsip menghargai waktu inilah agaknya yang mempengaruhi cara berjalan orang Korea. Terkadang, jika kita perhatikan lebih seksama lagi, mereka berjalan cepat tidak hanya di jalanan biasa. Di tempat wisata pun mereka hanya berhenti jika menunggu temannnya, melihat-lihat pemandangan juga sambil jalan, dan bahkan di pasar-pasar dapat kita lihat mereka juga berjalan dengan cepat. Mereka tidak suka dengan keterlambatan, hal ini tergambar dari raut wajah mereka yang kesal ketika kita sedikit terlambat. Jika faktor keterlambatan berasal dari mereka, mereka sangat menyesalinya dan bahkan diiringi dengan mata yang berkaca, karena saking menyesalnya. Mereka menganggap dengan terlambat berarti mereka merasa tidak profesional, dan itu sama dengan mereka telah merendahkan diri mereka sendiri.

Hal ini berbanding terbalik dengan cara berjalan kita orang Indonesia. Saya tidak menjelekkan warga negara sendiri, sekali lagi ini hasil pengamatan, dan yang saya rasakan selama saya berada di Negeri Ginseng ini. Kita berjalan cukup lambat yang disebut dengan serba lelet, memperhatikan sesuatu sangat lama, sehingga tidak jarang kita membuat kesal orang Korea yang berada di belakang kita. Kita sudah biasa di negeri sendiri serba menunggu, tidak akan menyelesaikan pekerjaan kalau tidak diburu waktu.

Sikap mental seperti ini hendaknya bisa diubah oleh pemuda yang diberi kesempatan untuk datang ke Korea. Terapkan yang baik dalam kehidupan sehari-hari, setelah itu sebarkan. Ada 60 (enam puluh) juta kurang lebih, pemuda Indonesia yang menunggu untuk diberdayakan potensinya. Kita mulai saja dengan cara menerapkan prinsip dalam menghargai waktu, saya rasa itu akan menjadi modal dasar bagi kita dalam berkontribusi dalam pembangunan. Saya tidak bisa bayangkan jika para pemuda Indonesia berjalan dengan tegak, disiplin, dan berkarakter wirausaha, akan seperti apa majunya negeri ini. Alam subur menunggu uluran tangan kita untuk diolah. Terlalu lama kita tertidur sehingga alam pun turut tertidur, sekarang sudah saatnya untuk bangun mulailah berjalan, jalan yang tegap, cepat, dan energik, jangan toleh kiri kanan, karena hanya akan menghabiskan setiap waktu yang berharga dalam hidup kita.

Gambar2: Delegasi Indonesia diberi kesempatan untuk mengenakan handbook (pakaian traditional Korea)

Gambar3: Salah satu pagi istimewa kami berpose di tepi Sungai Han

Notes: Ditulis disela-sela waktu kunjungan dalam rangkaian acara PPAN Indonesia-Korea Selatan, November 2013. Tulisan ini juga telah terbit dalam bunga rampai "Kacamata Dua Budaya Indonesia Korea".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar