Resensi Buku Kenang-Kenangan Hidup - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Senin, 11 Maret 2019

Resensi Buku Kenang-Kenangan Hidup


Buya Hamka telah menjadi pusat perhatian saya akhir-akhir ini, sehingga saya sangat antusias mendengar rekaman ceramah dan membaca buku-buku yang pernah beliau tulis semasa hidup. Kali ini saya kembali dibuai dengan alunan merdu Buya dalam bukunya yang berjudul "Kenang-kenangan hidup". Meski dibuat puluhan tahun yang lalu, peristiwa yang beliau ceritakan serasa hidup, seolah-olah baru saja terjadi kemarin.

Ringkasnya buku ini mengisahkan kehidupan Buya di 3 zaman, yaitu: zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan zaman Republik. Sangat sesuai jika kita beri gelar beliau ulama tiga zaman, karena memang beliau telah menjadi aktor pada kondisi yang terjadi pada zaman itu.

Beliau lahir di sebuah kampung di Maninjau pada zaman penjajahan Belanda. Ayahnya Haji Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), adalah ulama besar Sumatera Barat. Belakangan Hamka dan Ayahnya merupakan ayah dan anak pertama dari Indonesia yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa (Doktor Kehormatan) dari Universitas Al Azhar Mesir. Meskipun tidak memperoleh ijazah secara formal, tapi Hamka kecil dididik dalam lingkungan ulama, dan cendekiawan Minangkabau. Hal ini turut mendorong bakatnya sejak kecil, ingin menjadi seorang penulis dengan cara banyak membaca, berdiskusi, dan menyaksikan langsung corak kehidupan masyarakatnya.

Hamka telah meninggalkan kampung halamannya dalam usia belasan tahun, pergi bertualang hingga Baitullah. Di Makkah, selain menunaikan haji, Hamka disibukkan dengan belajar dan bekerja untuk menyambung hidup di sana. Buku-buku di perpustakaan milik seorang syeh arab, beliau lahap tanpa kenal bosan. Selain itu beliau juga menjalin hubungan baik dengan aktivis-aktivis pergerakan Indonesia di Arab Saudi.

Sepulang dari Makkah, beliau dinikahkan dengan Siti Raham anak Rajo Endah. Kehidupan rumah tangga beliau dimulai dengan petualangan yang mendebarkan, yang diceritakan dalam buku ini. Bagaimana sabarnya seorang istri dalam mendampingi suami di masa-masa sulit dengan tujuh orang anak. Beliau lama menetap di Medan dan mendirikan Majalah Pedoman Masyarakat. Melalui lisan dan tulisan beliau berjuang mencerdaskan umat, serta membangkitkan semangat mereka untuk terus berjuang merebut kemerdekaan tanah air.

Selama ini mungkin sebagian kita (khususnya saya sendiri) sempat tidak suka atau kesal kepada Soekarno, karena telah berani memenjarakan Hamka ketika ia menjadi presiden. Setelah membaca buku ini, yang ditulis oleh Hamka sendiri, merubah padangan saya pada sosok Presiden Soekarno. Ternyata antara Hamka dan Soekarno telah terjalin persahabatan yang cukup dekat sejak awal perjuangan kemerdekaan. Ketika Hamka hendak pulang ke Sumatera dari Jakarta, Soekarno turut mengantarkannya ke Stasiun Kereta Api. Begitupun ketika Soekarno mengunjungi Bukittinggi dalam orasi keliling beliau untuk memperteguh semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, Hamka turut mendampinginya. Di malam perpisahan yang dihadiri tokoh-tokoh Minang, Hamka malah membacakan puisi untuk Soekarno, yang membuat pemimpin besar itu menitikkan air mata. Pada paragraf lain Hamka bercerita, betapa beliau mengagumi sosok Soekarno dan memompa semangat rakyat untuk terus berjuang dalam satu komando, Soekarno-Hatta. Haji Rasul, ayah Hamka, telah mendeklarasikan sendiri bahwa Soekarno adalah anak angkatnya, dan Soekarno mengakui hal itu. Ternyata sedekat itu hubungan mereka. Maka pantas dan wajarlah, ketika akan meninggal Soekarno berpesan agar kelak jasadnya diimami Hamka.

Catatan yang sangat penting bagi saya dalam buku ini adalah bagaimana perjuangan Hamka dan pahlawan-pahlawan kita mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Jangan pernah berpikir bahwa setelah proklamasi perjuangan para pahlawan itu telah usai, bahkan kita sebenarnya baru masuk pada masa-masa yang paling sulit dalam kehidupan bangsa kita. Usaha mempertahankan kemerdekaan dihiasi oleh pengorbanan nyawa, harta, dan air mata selama lebih kurang 4 tahun (sampai diadakannya KMB). Letusan terdengar dimana-mana, perang gerilya, mengungsi ke hutan dan rawa, penyakit akibat nyamuk, kekurangan makanan, dan lain sebagainya, menyatu dalam perjuangan mereka.

Buku ini wajib dibaca oleh calon pejabat, mahasiswa, bahkan masyarakat umum. Agar mereka tahu bagaimana perjuangan orang-orang terdahulu untuk menegakkan NKRI. Miris ketika kita melihat kondisi sekarang. Bumi merdeka yang mereka wariskan kepada kita, diisi dengan kebejatan moral pejabat dengan prilaku korupsi, narkoba, zina, dan penyakit busuk lainnya. Mereka yang berjuang dulu tidak ada sedikitpun terlintas dibenaknya agar diberi imbalan untuk menjadi pejabat layaknya manusia sekarang, yang berebut kursi dengan menyuap dan menghalalkan segala cara. Para pahlawan kita berjuang dengan niat syahid untuk menegakkan keadilan di muka bumi Indonesia, sehingga anak cucu mereka dapat menghirup udara kebebasan, dan berdiri di kaki sendiri.

Lebih dari separuh buku ini menceritakan kisah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Buku ini berhasil mengaduk-aduk perasaan saya. Tanpa sadar ketika membacanya membuat mata saya berkaca-kaca, dan menyesal atas waktu yang telah disia-siakan selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar