Resensi Buku Lembaga Hidup - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Sabtu, 25 Agustus 2018

Resensi Buku Lembaga Hidup


Lembaga Hidup adalah satu dari banyak karya mengagumkan Buya Hamka. Buku ini fokus membahas tentang hak dan kewajiban sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebagai individu, dan juga sebagai anggota masyarakat sebuah negara. Kepiawaian Buya Hamka dalam merangkai kata-kata dalam menulis, membuat kita tidak jenuh dalam membaca buku ini. Materi yang beliau sampaikan mudah dicerna oleh alam pikiran kita, bahkan masih sangat relevan pada masa kini.

Pada bagian awal buku ini menjelaskan hakikat hidup dan bagaimana kita dituntut untuk memelihara kehidupan. Setiap diri hendaknya menjaga jasad tubuh dan akal budi yang dititipkan Tuhan kepadanya. Makanya sangat dilarang mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat merusakkan jasmani dan rohani. Buya Hamka juga menyinggung Hukum Qishas dalam Islam. Siapa yang membunuh maka hukumannya dibunuh pula, kecuali jika keluarga atau ahli waris korban memaafkan, maka pelaku harus membayar diyat (uang denda). Penegakan Hukum Qishas bukan untuk mencederai kehidupan, justru itu untuk menjaga kehidupan. Jika tidak ada Hukum Qishas boleh jadi orang akan semena-mena melenyapkan nyawa orang lain.

Dalam buku ini beliau juga memaparkan tentang gejolak kepemimpinan di alam demokrasi yang sarat dengan kepentingan individu dan kelompok masing-masing. Beliau mengupas bagaimana seharusnya ulama bersikap menghadapi kondisi seperti ini. Sejak dahulu, ulama tidak membahas bentuk sistem baku yang diterapkan oleh suatu negara Islam. Mereka masih berkutat mengenai karakteristik pemimpin Islam.

Selama ini, ulama hanya akan muncul jika ada penguasa zalim yang sewenang-wenang. Mereka memimpin di depan mengadakan perlawanan, namun setelah pemerintah atau rezim terguling pun ulama itu tidak juga memimpin. Makanya bisa jadi yang namanya negara Islam itu sulit terwujud dewasa ini karena ulama yang lurus jauh dari dunia politik.

Buya Hamka layaknya Imam Al Ghazali sangat mengkritik keras ulama su'. Jenis ulama yang menjual fatwa asal perutnya berisi. Mereka yang menjilat penguasa dan sangat sering menginjakkan kaki di istana untuk menyenangkan hati raja. Ulama seperti ini kata Buya Hamka sangat berbahaya, bukan hanya untuk umat Islam tapi merusak citra agama Islam itu sendiri, dengan orang lain mendapat kesempatan mencela dan menghina Islam.

Selain itu di bagian akhir buku ini, Buya mengkritik pemuka agama yang sengaja membdoh-bodohi umat beragama. Mereka yang menyuruh umat menjumpai Tuhan dengan perantaraan tokoh atau ulama tertentu agar doanya dikabulkan. Beliau menganalogikan dengan cerita, seorang raja duduk di singgasana, orang-orang biasa merasa amat sulit bertemu dan berbincang langsung dengan sang raja. Ketika rakyat mendekat ke pintu istana, maka si pengawal istana itu menghadang, mereka meminta agar rakyat menyediakan ini dan itu. Selanjutnya para pengawal mengatakan bahwa rakyat hanya bisa menunggu saja di depan pintu, biar mereka saja yang masuk menemui raja dan membawa pesan itu kepada raja. Tiba-tiba pintu istana itu terbuka, seorang pemuda muncul dari dalam. Ia mengatakan kepada rakyat yang menunggu di depan pintu istana bahwa raja sudah sejak lama menunggu mereka dan mereka diperkenankan menemui raja secara langsung.

Berdasarkan cerita di atas, Buya Hamka melabeli raja itu ibarat tuhan, pengawal itu ibarat tokoh-tokoh agama, rakyat itu diumpamakan hamba tuhan atau manusia, sementara pemuda yang berteriak di depan pintu istana itu adalah Nabi Muhammad SAW. Nabi muhammad memutus dominasi tokoh-tokoh agama yang selama ini berperan seolah-olah wakil tuhan di muka bumi. Agama Islam memberi kesempatan yang sama kepada semua manusia untuk kembali dan memohon pinta secara langsung kepada tuhan mereka.

Banyak lagi kandungan-kandungan hikmah yang terdapat dalam buku ini. Saya pribadi merekomendasikan buku ini menjadi bacaan wajib orang Islam yang akan menjadi pemimpin, baik Caleg, Cakada, maupun Capres dan Cawapres. Buku sarat makna ini membuka cakrawala berpikir kita karena ia juga diramu dengan sejarah-sejarah yang epik yang diselipkan dalam paragraf-paragraf. Selain itu beberapa pengalaman Buya yang ditulis dalam buku ini juga sangat layak untuk dijadikan referensi hidup seorang muslim yang tidak akan pernah lelah mencari kebenaran.

2 komentar:

  1. terima kasih yang sudah menulis resensi. mohon ijin ngutip inti tulisan ya min.

    BalasHapus