Tidak bisa dipungkiri bahwa kemampuan Bahasa Inggris mutlak dibutuhkan bagi seseorang yang mengklaim dirinya sebagai bagian komunitas masyarakat global. Masyarakat global membutuhkan satu bahasa pemersatu yang bisa dipahami dalam berinteraksi dan bertransaksi sebagai sarana untuk berdinamika. Bahasa Inggris telah lama eksis, secara tidak langsung dipakai sebagai bahasa pemersatu masyarakat dunia dari segala lapisan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi turut memperkuat legitimasi Bahasa Inggris sebagai bahasa yang dibutuhkan. Dunia semakin sempit, dalam artian, tidak ada jarak yang tidak bisa dijangkau di muka bumi ini. Komunikasi makin mudah, bahkan bisa berbicara melalui benda kecil dengan jarak dari kutub ke kutub sekali pun.
Ketika berdiskusi dengan pembantu rektor III Universitas Negeri Padang (UNP) belum lama ini, beliau sempat berpesan pada saya “Jika kamu mau berkeliling dunia, mengarungi samudera ilmu pengetahuan, dan belajar makna hidup, kamu butuh tiket dan passport. Hari ini tiket dan passport itu adalah kemampuan kamu dalam Bahasa Inggris”. Pesan ini menggugah saya, memancing alam kesadaran untuk mengingatkan diri untuk senantiasa berkomitmen meningkatkan kapasitas dan intensitas dalam menguasai Bahasa Inggris, sehingga bisa dibuktikan dengan skor TOEFL maupun IELTS yang tinggi.
Orang lain boleh menganggap saya seseorang yang sangat beruntung dengan perolehan IPK yang maksimal, 4,00 pada wisuda September 2013. Perjuangan untuk kuliah telah saya lalui, dan bahkan nilai sempurna itu sudah menjadi target saya sejak awal perkuliahan, karena saya tidak mau mengecewakan orang tua saya. Siang malam saya belajar, mengerjakan tugas kampus, terkadang ikut penelitian dengan dosen jurusan untuk menambah uang saku saya, dengan prinsip belajar sambil bekerja.
Namun dalam hati saya menjerit, hendak dibawa kemana ijazah yang saya peroleh ini. Ya, saya memang terkendala di sini, Bahasa Inggris. Memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang tidak sempurna merupakan tantangan baru bagi saya setelah tamat perkuliahan, karena memang saya tidak pernah ikut dalam les Bahasa Inggris waktu sekolah, baik SD, SMP maupun SMA.
Kondisi ini tidak melemahkan semangat saya, bahkan terasa semakin bergairah dalam belajar Bahasa Inggris. Waktu itu (SMP dan SMA) saya mulai mencari buku-buku Bahasa Inggris. Aktif dalam kelas, bahkan dengan keberanian, saya ajak teman-teman yang les tersebut berdiskusi dalam Bahasa Inggris. Saya sadar, Bahasa Inggris saya tidak lebih dari pada mereka, les pun orang tua saya tidak memiliki kemampuan untuk itu, namun saya tetap dengan kepercayaan diri yang tinggi mempelajarinya secara otodidak. Setiap hari saya belajar Bahasa Inggris, saya tidak ragu meminjam buku Bahasa Inggris yang dipegang guru saya. Usaha itu membuahkan hasil, dibuktikan dengan nilai sangat memuaskan yang tercetak di rapor pada setiap akhir semester.
Menuntut ilmu di luar negeri sudah menjadi incaran dan mimpi saya sejak dulu. Dalam keterbatasan, saya tidak ragu bermimpi besar, karena saya yakin kita semua punya kesempatan. Saya memiliki impian untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi manusia lain, terutama kampung tempat saya berdomisili. Di tengah semangat masyarakat saya yang kendor tentang pentingnya pendidikan, dengan langkah saya ke luar negeri, saya berharap menjadi “pupuk penguat” mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Saya ingin perekonomian masyarakat bangkit sejahtera seiring tingginya kesadaran tentang pendidikan sebagai sarana penting dalam mengubah nasib hidup. Mendirikan taman bacaan, dengan generasi muda yang hobi membaca menurut saya merupakan modal awal kampung saya untuk bergerak. Ini akan saya lakukan jika saya sudah pulang dari pengembaraan di negeri asing itu. Saya harapkan melalui kerja-kerja cerdas masyarakat pinggiran seperti kami akan menopang kejayaan Indonesia secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar