Paradigma Kepemimpinan “Tungku Tigo Sajarangan” di Minangkabau - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Selasa, 14 April 2015

Paradigma Kepemimpinan “Tungku Tigo Sajarangan” di Minangkabau

Pendahuluan

Ketika saya mengikuti suatu seminar dengan pemateri Dahlan Iskan, beliau mengatakan “kesalahan terbesar yang melanda bangsa ini adalah dalam hal manajemen”. Manajemen merupakan bagian utuh dari suatu kepemimpinan yang melakukan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Keberlangsungan fungsi manajemen ini erat kaitannya dengan pola kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin memiliki peranan penting dalam mengambil kebijakan, idealnya berorientasi pada pengembangan dan pemberdayaan masyarakat luas sehingga tujuan dari organisasi dapat dicapai.

Pada kesempatan ini saya ingin sedikit mendeskripsikan pola kepemimpinan yang terdapat di daerah saya, Sumatera Barat. Propinsi Sumatera Barat identik dengan budaya Minangkabau yang terkenal dengan falsafah “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Dalam artian segala bentuk tingkah laku dan kebiasaan dalam kehidupan haruslah berdasarkan pada adat yang disepakati bersama, sedangkan adat bersandarkan pada agama, yaitu Agama Islam. Oleh karena itu keberadaan adat dan agama tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keduanya saling mendukung dan bertindak melakukan fungsi kontrol dalam kehidupan masyarakat matrilineal.

Pola kepemimpinan kehidupan bermasyarakat di Minangkabau sangat unik. Kepemimpinannya dikenal dengan istilah “tungku tigo sajarangan”, yang terdiri dari “niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai”. Tungku tigo sajarangan memiliki makna filosofis yaitu bentuk kerjasama tiga unsur kepemimpinan Minangkabau agar tercipta stabilitas masyarakat yang kuat dan dinamis serta mampu mengaplikasikan nilai-nilai adat dan agama dalam menunjang pembangunan nagari. Kepemimpinan tungku tigo sajarangan telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sejak waktu yang lama. Tidak bisa dipungkiri pola seperti ini turut memiliki andil besar dalam membidani lahirnya pemimpin-pemimpin besar yang berasal dari Sumatera Barat.

Ninik mamak berarti pemimpin yang memahami seluk beluk adat dan bisa menggeneralisasi nilai-nilai adat dalam aspek kehidupan berbudaya. Alim ulama merupakan pemimpin yang memiliki ilmu agama yang dalam, sebagai tempat orang mengadu dalam memecahkan masalah-masalah berhubungan dengan hukum agama. Sementara cadiak pandai adalah pemimpin yang cerdas secara intelektual dan memiliki visi untuk melakukan pembangunan daerah baik di masa sekarang maupun di masa mendatang.

Permasalahan yang terjadi dewasa ini adalah kurangnya pemahaman masyarakat terutama generasi muda mengenai fungsi kepemimpinan tiga unsur tesebut. Generasi muda Minangkabau tidak lagi memiliki ketertarikan dan antusiasme yang tinggi terhadap budaya mereka. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya minat para pemuda untuk belajar petatah petitih adat sebagai simbol kelestarian budaya. Sementara itu alim ulama kekurangan pasokan generasi penerus karena nilai agama makin tergerus oleh laju modernisasi. Surau-surau semakin sepi dari generasi muda yang belajar mengaji. Selain itu para cendekia minang kurang memikirkan pembangunan nagarinya. Pemikiran materialis dan rasa kepedulian yang rendah menjangkiti intelektual muda Minang. Sehingga tokoh-tokoh sekaliber Hamka, Bung Hatta, Natsir, dan Agus Salim sulit ditemukan saat ini.

Menyikapi hal di atas saya berinisiatif mendaftarkan diri untuk mengikuti leadership conference yang diselenggarakan oleh VDMS. Tujuan saya dalam mengikuti konferensi ini adalah agar saya dapat mendiskusikan tentang kepemimpinan di daerah saya (Sumatera Barat), menilik sisi kelemahan yang terjadi selama ini untuk dibenahi, serta memperkaya pengalaman dengan mahami tentang penerapan konsep kepemimpinan yang ideal. Saya berharap konferensi ini merupakan titik balik untuk memperkuat sistem kepemimpinan daerah dengan langkah-langkah sistematis menuju kepemimpinan yang berwawasan global.

Berbicara tentang bentuk kepemimpinan ideal, menurut hemat saya kepemimpinan tungku tigo sajarangan memenuhi kriteria tersebut. Pertama, kepedulian sosial yang tinggi. Peduli merupakan kata kunci dari rasa memiliki dan kebersamaan sebagai bagian penuh dari suatu komunitas. Berbagai rintihan, keluhan, saran, dan permintaan dari masyarakat haruslah menjadi suatu yang diperhatikan secara penuh oleh pemimpin. Seorang pemimpin yang peduli akan memberikan sesuatu yang terbaik yang ada pada dirinya untuk orang lain. Bantuan tersebut dapat berupa moril atau pun materil bagi keutuhan masyarakatnya. Hal ini tercermin dari sosok seorang ninik mamak di Minangkabau.

Kedua, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Pemimpin yang bertanggung jawab mampu melakukan akselarasi pemberdayaan masyarakat dengan penuh kesadaran posisinya sebagai sosok yang bisa diteladani dan jadi panutan. Penanaman nilai-nilai spritual yang membawa kedamaian dalam masyarakat. Menyadari bahwa tanggung jawab tidak hanya kepada masyarakat yang dipimpinnya tetapi yang lebih besar adalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara umum ini merupakan refleksi dari sikap alim ulama.

Ketiga, pemikiran yang progresif dan berorientasi masa depan. Pemimpin harus cerdas, mampu melihat peluang, dan terampil dalam menemukan solusi. Analisis SWOT yang tinggi juga merupakan kompetensi penting seorang pemimpin. Dalam lingkup pergaulan yang lebih kecil pemimpin mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pemikir dan desainer program masyarakat, tentunya dengan meminta pertimbangan dari orang lain tentang suatu kebijakan yang hendak diterapkannya. Hal ini merupakan fungsi penting kepemimpinan cadiak pandai.

Pelestarian Kepemimpinan “Tungku Tigo Sajarangan” Sebagai  Bentuk Sustainable Development dalam Bidang Sosial Budaya
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tidak langsung membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tatanan kehidupan sosial masyarakat. Perubahan tersebut mencakup pada pola hubungan dan bentuk kerja sama yang selama ini lebih erat, namun seiring dengan kemajuan teknologi manusia seolah-olah bergantung secara penuh pada teknologi dan kurang memiliki kepedulian pada orang lain di sekitarnya. Sehingga sering kita dengar eksplorasi besar-besaran yang dilakukan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa menghiraukan kehidupan generasi di masa mendatang.

Sustainable development merupakan suatu bentuk pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia sekarang dan generasi mendatang dengan mempertimbangkan secara penuh kelestarian kehidupan sosial, lingkungan alam, dan ekonomi. Hal ini berarti dalam konsep sustainable development kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus mampu memprioritaskan keselamatan lingkungan secara keseluruhan sehingga bisa diwariskan pada generasi masa depan.

Disamping kelesatarian lingkungan alam  dan ekonomi, kelestarian sosial budaya juga seharusnya menjadi perhatian penuh kita bersama. Karena budaya telah mampu melahirkan nilai-nilai universal yang kita anut selama ini, dan menjadi khas tersendiri bagi masyarakatnya. Kebudayaan diturunkan dari generasi ke generasi cenderung mengalami perubahan, namun nilai luhur dari suatu budaya wajib rasanya untuk dipertahankan eksistensinya.

Begitupun sistem kepemimpinan di minangkabau yang merupakan simbol dari kehidupan daerah Sumatera Barat. Kepemimpinan tungku tigo sajarangan terbukti selama ini telah membawa suatu perubahan yang progresif bagi masyarakat minangkabau. Sustainable development dalam hal ini berarti suatu upaya pelestarian kepemimpinan Minangkabau sehingga betul-betul merekat bagi orang minangkabau dan mampu diwariskan pada generasi muda.

Pelestarian kepemimpinan dalam hal ini merupakan langkah-langkah sistematis dan terencana yang diterapkan agar tiga unsur dalam “tungku tigo sajarangan” tersebut dapat dikaderisasi dengan baik sejak awal. Generasi muda perlu dipersiapkan agar mampu mewarisi nilai-nilai budaya untuk menggantikan generasi tua.

Pengganti ninik mamak bukanlah sembarang orang, mereka harus mampu mengidentifikasi seluk beluk adat dalam nagari. Selain itu diharapkan juga mampu menginternalisasikan nilai-nilai adat dalam kehidupan sehari-hari sehingga kelestarian adat tetap terjaga. Kekhawatiran pemangku adat ketika melihat fenomena sosial dan pergeseran nilai yang terjadi bagaimana mencari sosok pengganti mereka nantinya. Karena terbukti selama ini kaum muda cenderung tidak dilibatkan dalam pemecahan permasalahan adat oleh ninik mamak, sehingga nilai-nilai tersebut sulit tidak terwariskan.
Begitupun halnya dengan  keberadaan alim ulama. Alim ulama tidak dapat disamakan dengan ustad atau pun penceramah lainnya. Alim ulama memiliki makna yang dalam sebagai figur teladan yang mengayomi masyarakat di bidang keagamaan. Sosok alim ulama pun sulit untuk dicari penggantinya, seperti dilihat pada upacara-upacara kematian atau pun pernikahan masyarakat kesulitan jika ulama yang telah tua berhalangan untuk hadir. Hal ini terjadi disebabkan permasalahan pengkaderan yang kurang diperhatikan oleh ulama itu sendiri pada generasi muda.

Cadiak pandai dalam hal ini merupakan representatif dari orang-orang intelektual dalam budaya minangkabau juga cukup memprihatinkan. Masyarakat minang bukannya kekurangan orang-orang cerdas, namun permasalahannya intelektual minang tersebut kurang memberikan sumbangsih untuk kemajuan nagarinya. Para pimpinan cadiak pandai belum mampu merangkul masyarakat menggali potensi daerah untuk diberdayakan secara optimal.  Selain itu hubungan rantau dengan daerah asal seharusnya sinergis dalam memajukan nagari terutama generasi muda yang menuntut ilmu di ratau. Diharapkan cadiak pandai sebagai jembatan penghubung, karena bagaimanapun peran para perantau cukup membawa dampak yang positif bagi kemajuan nagari.

Pemberdayaan Masyarakat dalam Mempersiapkan Kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan Melalui Culture Leadership Training Centre
Kepemimpinan tungku tigo sajarangan perlu dipersiapkan agar nilai-nilai budaya dapat diwariskan pada generasi Minangkabau. Pewarisan yang dimaksud melalui pemberdayaan masyarakat dalam mempersiapkan generasi muda sebagai pemimpin masa depan. Hal ini tidak dapat dikatakan mudah, karena memerlukan langkah-langkah yang sistematis, berkelanjutan, dan dukungan dari semua pihak.
Salah satu upaya proyek sosial yang dilaksanakan adalah dengan mengadakan pelatihan kepemimpinan sosial-budaya. Adapun yang melatarbelakangi pelatihan ini adalah kurangnya pemahaman generasi muda minangkabau terhadap konsep kepemimpinan tungku tigo sajarangan. Sementara itu pewarisan kepemimpinan budaya musti dilakukan kepada generasi muda agar kelestarian budaya tetap terjaga. Kesulitan dalam mencari tokoh pengganti kepemimpinan tungku tigo sajarangan juga turut menjadi faktor utama diadakan pelatihan.

Pelatihan kepemimpinan tungku tigo sajarangan bertujuan agar generasi muda siap untuk berkiprah sebagai generasi penerus kepemimpinan ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Mereka memahami konsep kepemimpinan tungku tigo sajarangan secara utuh dan siap dikaderisasi untuk mewarisi unsur masing-masing pimpinan tersebut.

Secara umum peserta dibekali dengan hakikat kepemimpin tungku tigo sajarangan dalam budaya minangkabau. Setelah pemahaman umum mereka peroleh maka masing-masing akan dikelompokkan pada unsur kepemimpinan. Pengelompokan ini agar terjadi spesifikasi generasi muda dalam kiprah mereka di masyarakat di bawah bimbingan tokoh senior.

Kelompok ninik mamak dipersiapkan untuk menjadi tokoh adat yang mewarisi nilai-nilai tradisional dan kompetensi penting bagi seorang pemimpin masyarakat yang berbudaya. Mereka diajarkan seluk beluk adat dan dibimbing secara penuh oleh ninik mamak senior sehingga bisa dipastikan mereka sebagai kader pengganti nantinya. Dalam hal ini terjadi transfer of value dan transfer of knowledge kepada generasi muda. Nilai-nilai adat dan budaya dapat diwariskan dan menjadi kunci penting agar eksistensinya tetap terjaga. Pengetahuan secara kognitif juga dibangun agar karakteristik budaya lokal tidak hilang dan mampu dipahami.

Kelompok alim ulama pengkaderannya memprioritaskan generasi muda yang menuntut agama di pesantren atau lembaga-lembaga perguruan Islam. Mereka dipersiapkan untuk menjadi pemimpin masyarakat dalam melaksanakan upacara keagamaan, seperti upacara kematian, pernikahan, dan lain sebagainya. Alim ulama senior melakukan bimbingan yang intensif kepada mereka dalam mendiskusikan masalah umat kontemporer untuk dipecahkan secara bersama. Keterlibatan generasi muda dalam hal ini secara tidak langsung membuktikan proses pewarisan sedang berjalan.

Demikian pula dengan kepemimpinan cadiak pandai yang sasarannya para intelektual minang masa depan. Kelompok ini menggabungkan para akademisi untuk merumuskan pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat nagari. Kerjasama elemen cadiak pandai sangat menentukan dalam hal ini. Anak muda minang yang menuntut ilmu diperantauan pun hendaknya dilibatkan sehingga mereka merasa dibutuhkan dan memiliki kesadaran tinggi untuk membangun kampung halaman.

Pada bagian penutup ini saya ingin sampaikan sekali lagi bahwa tungku tigo sajarangan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tetap berkoordinasi dalam membentuk tatanan kepemimpinan masyarakat Minangkabau. Adapun manfaat yang saya peroleh dari program ini adalah suatu kepuasan atas sedikit kontribusi yang dapat dipersembahkan kepada nagari. Selain itu sebagai ajang pembelajaran dan pendewasaan diri untuk terus maju menuju aktualisasi diri yang sebenarnya. Manfaat yang diperoleh masyarakat sekitar adalah kembalinya nilai-nilai berbudaya terealisasi dengan baik dengan ciri kemurnian adat dapat terjaga dengan baik dan diwariskan kepada generasi muda.

Notes: Tulisan ini telah menghantarkan penulis terpilih sebagai peserta "Leadership Conference" di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 24-28 September 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar