Perahu Hijau Itu Bernama Forsis - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Selasa, 14 April 2015

Perahu Hijau Itu Bernama Forsis

Menjadi mahasiswa tidak hanya sekedar menyandang titel sebagai intelektual muda, namun di sisi lain juga dapat diinterpretasikan sebagai sosok generasi yang membawa segenap tanggung jawab untuk perbaikan di segala lini kehidupan lingkungan di sekitarnya. Implementasi dari rasa tanggung jawab tersebut dapat dijadikan indikator seorang mahasiswa dikatakan sukses. Karena kunci sukses itu sesungguhnya ketika kita mampu mempersembahkan yang terbaik dalam hidup ini demi kesejahteraan orang lain.

Banyak sekali dan bahkan bisa dipastikan semua mahasiswa ingin sukses dalam hidupnya, baik itu dalam nilai perkuliahan, jenjang karir, maupun sukses dalam membina hubungan sosial. Namun kata sukses tidak semudah kita mengucapkannya. Kesuksesan butuh kerja keras dan usaha sungguh-sungguh. Berbagai strategi harus diterapkan dalam menggapai hidup lebih baik sebagai pribadi yang unggul. Tidak jarang banyak godaan yang datang dan menggerus semangat yang menggebu-gebu.

Kekuatan spiritual mutlak diperlukan dalam menggapai kesuksesan. Karena spritualiatas yang kuat didasari dengan kesadaran diri atas eksistensinya sebagai makhluk ciptaan sebuah kekuatan maha besar yang ada di luar dirinya, yaitu Tuhan. Sebenarnya sumber motivasi utama dalam diri adalah bagaimana kita memandang hidup dan kehidupan. Jika hidup hanya sekedar menjalankan rutinitas sebagai “gift” dari alam semesta, tentu kepuasan hakiki tidak akan pernah dicapai. Hati yang kosong dari rasa syukur, menjadikan ambisi pribadi cenderung melanggar nilai dan norma yang dianut masyarakat luas.

Lain halnya dengan orang yang selalu dan senantiasa menempatkan Tuhan dalam setiap gerak dan aktivitas yang dilakukannya. Mereka tidak akan mengenal kata kecewa dan putus asa ketika gagal, karena mereka yakin kegagalan yang dialaminya adalah pelajaran berharga dari Tuhannya agar lebih meningkatkan lagi kapasitas diri dengan mengembangkan potensi yang telah Tuhan beri. Begitupun ketika mereka mencapai prestasi, mereka tidak akan larut dengan joget pesta pora semalam suntuk, karena keyakinannya bahwa capaian itu bagian dari ujian dari Tuhan, untuk mengetahui bagaimana mereka memanfaatkan nikmat yang diberikan kepadanya, terutama terhadap makhluk yang berada di sekitarnya.

Dalam konteks sebagai mahasiswa banyak pertayaan bersileweran selama ini tentang penyeimbangan prestasi dan organisasi. Ada banyak mahasiswa yang terjebak dengan paradigma yang muncul selama ini, menyatakan bahwa ikut organisasi berarti harus mengorbankan kuliah, menanggung beban dengan gelar MA alias Mahasiswa Abadi. Sebaliknya, jika hanya sekedar kuliah, pustaka, dan pulang ke kosan, siap-siap saja dipanggil si kutu buku yang pemalu. Seharusnya ini tidak lagi menjadi permasalahan, karena keputusan final sudah diambil bahwa mutlak hukumnya menyeimbangkan prestasi akademik dengan organisasi. Bahkan sesungghnya manifestasi dari prestasi salah satu jalannya melalui organisasi. Sedangkan organisasi yang kosong dari pemikir-pemikir yang cerdas intelektual akan terasa hambar dan stagnan.

Di sini saya akan menceritakan sedikit tentang hubungan saya dengan Forsis dalam konteks antara individu dan Forsis sebagai lembaga, dan apa yang saya peroleh selama ini dari padanya. Saya tidak akan menceritakan apa yang saya berikan, karena yang saya berikan pun belum seberapa. Ini adalah ketika masa-masa awal saya berkuliah di kampus hijau tercinta ini. Mengenal Forsis merupakan suatu takdir Allah yang bisa saya katakan sebagai jalan kebaikan yang sengaja ditunjukkan-Nya. Kegigihan anggota Forsis FIP UNP dalam memberikan pelayanan terutama kepada saya sebagai mahasiswa baru patut saya acungi jempol. Melayani dengan hati merupakan prinsip mereka dan senyum yang tidak lepas dari bibir mereka. Saya terkesiap, bayangan selama SMA tentang gaya kehidupan kampus yang individualistis perlahan pudar, saya salah besar, karena masih ada komunitas mahasiswa yang mau membantu tanpa minta uang sebagai imbalan. Organisasinya tertata rapi dengan alur koordinasi yang jelas. Sehingga kami mahasiswa baru merasakan kenyamanan tanpa takut ketinggalan informasi yang dibutuhkan.

Ketertarikan bertambah ketika saya sudah mulai berkecimpung dalam organisasi ini meski hanya sebagai peserta biasa mulanya. Saya rasakan penanaman sikap mental dan karakter yang harus dimiliki sebagai intelektual muda muslim sangat kentara. Nilai-nilai akidah dan ibadah dipadu dalam mencapai kemuliaan akhlak seorang hamba Allah. Shalat berjamaah sebagai fokus utama dalam organisasi. Sehingga tidak saya temukan senior saya yang laki-laki berleha-leha ketika adzan berkumandang di Al Azhar. Diskusi menjadi hidup dengan adanya referensi yang jelas Al-Quran dan Hadis serta buku-buku yang ditulis para ulama terpercaya. Forsis sangat menghargai pemikiran kritis tanpa mau didikte atau didoktrin oleh pemikiran-pemikiran yang nyeleneh. Saya diberi suatu motivasi yang tinggi tidak hanya lips service biasa, melainkan motivasi yang saya istilahkan dengan “motivasi qurani”, yang menghujam ke penjuru kalbu. Membisikkan suatu sinyal bahwa kamu umat terbaik yang mengeluarkan manusia dari ke gelapan menuju cahaya Tuhan.

Berbagai kisah pahlawan revolusioner peradaban Islam diceritakan, Saya ingat seorang bernama Alfatih juga pernah dibahas. Dengan kekuatan ketauhidan yang dimilikinya dia bersama pasukannya berhasil menjebol tembok pertahanan Konstantinopel yang terkenal, selama ribuan tahun belum ada satu pasukan pun yang mampu memporak porandakannya. Namun siapakah Alfaith ini? Saya tidak akan menceritakan pada titik fokus kebangsawanannya. Saya menceritkan dari sisi hubungan yang dibangun antar dia dengan Tuhannya, sehingga mengeluarkan kekuatan maha dahsyat di alam semesta. Sejak kecil dia telah dididik dengan penanaman nilai-nilai agama yang dalam oleh orang tuanya, alhasil ia mampu menghafal dan memahami Alquran dalam usia yang tergolong muda. Masih teringat dari apa yang saya baca, ketika pasukan muslim membangun masjid pertama di Konstantinopel dan akan menunaikan shalat berjamaah, mereka berbisik satu sama lainnya tentang siapa orang terbaik yang akan ditunjuk mengimami mereka. Maka Alfatih yang berada di tengah jamaah pasukannya berdiri. Sembari mengajak semua jemaahnya berdiri. Segerombolan pasukan pun berdiri. Dia berkata “Barang siapa yang pernah tinggal shalat wajibnya sejak usia baligh silahkan duduk”, sejenak hening tanpa ada seorang pun yang duduk, dia tersenyum. Pertanyaan kedua, “Barang siapa yang pernah tertinggal shalat rawatib sejak usia balighnya sampai hari ini silahkan duduk”, maka separuh pasukannya mulai duduk. Pertanyaan ketiga, “Barang siapa yang pernah meninggalkan shalat tahajud sejak usia balighnya walaupun satu waktu silahkan duduk”, serentak semua terduduk, kecuali satu orang yang masih berdiri tegak, itu lah dia Muhammad Alfatih.

Duhai, sungguh kisah ini mengabadi sepanjang sejarah umat manusia, sulit sekali mencari orang seperti ini. Tapi satu kesimpulan, bahwa prestasi terbaik akan diberikan kepada umat terbaik pula. Motivasi ibadah yang dibalut dengan kecerdasan intelektual akan melahirkan generasi yang kuat. Generasi yang tidak akan galau jika dunia meninggalkannya. Justru akan berurai air mata jika shalat subuhnya kesiangan. Ini lah yang menjadi titik awal kebangkitan umat, menyadari bahwa peradaban Islam dicetak oleh kalangan intelektual religius, termasuk salah satunya Forsis FIP UNP ingin berkontribusi sebagai salah satu pemasok generasi yang di maksud.

Membentuk generasi emas sebagai tonggak kemajuan Islam di masa mendatang bukan tugas dari sekelompok orang tua atau ulama saja, tapi merupakan tanggung jawab semua elemen umat Islam. Dalam hal ini Forsis juga turut mengambil bagian, meskipun kecil yang penting punya arti. Analogi perahu hijau sebagai markas (tempat bernaung) dakwah ini saya rasa cukup relevan. Perahu artinya suatu sarana yang menjadi tumpuan harapan untuk dapat mencapai pelabuhan tujuan. Di tengah lautan luas perahu tidak hanya mengalami kondisi tenang, banyak riak gelombang yang akan dihadang, badai, dan cuaca yang sering tidak bershabat. Hal ini mengindikasikan tidaklah mudah berjuang untuk menggapai kesuksesan. Belum lagi cobaan dan halangan yang datang dari dalam, sehingga sanggup untuk menggoyahkan.

Namun perahu tetaplah sebuah perahu, dia akan karam jika semua kru dan penumpang saling menjatuhkan dan berlomba untuk melobangi kapal. Sebaliknya dia akan mencapai tujuan jika semua individu yang ada di dalamnya bekerja sama dengan penuh kesadaran bahwa mereka merupakan sebuah komponen dalam suatu sistem. Ketika badai menghadang semuanya mengeluarkan pemikiran inisiatif dan kerja terbaik mereka untuk bertahan untuk melawan kerasnya hidup alam laut, sehingga kapal aman dari serangan bertubi-tubi.

Perahu hijau selayaknya menjadi tumpuan harapan segenap civitas akademika Fakultas Ilmu Pendidikan UNP dalam mempertahankan idealisme dan prinsip perjuangan sebagai kampus intelektual religius. Generasi FIP akan terus lahir, datang, dan pergi, mesin organisasi harus terus dipanaskan, agar mereka lahir tidak sekedar ada, dan pergi tidak sekedar menghilang. Minimal mereka memiliki secercah cahaya harapan kehidupan untuk terus memberi di rimba manapun mereka terdampar. Memiliki keteguhan hati dalam merangkul nilai-nilai Islam Rahmatan lil alamin.

Notes: Tulisan ini telah dimuat oleh Forsis FIP UNP dalam bunga rampainya yang berjudul "Lentera Kehidupan". 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar