Kedatangan
Garuda
Indonesia yang ku tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Adi Sutjipto pada
tanggal 14 Februari 2015. Aku berangkat dari Padang sekitar pukul enam pagi,
transit di Jakarta beberapa jam, dan sampai di Jogja pada siang hari selepas
waktu zuhur. Suasana bandara Jogja cukup ramai, dan aku mengamati bandara ini
tidak terlalu besar. Padahal kota ini termasuk destinasi pariwisata yang cukup
diperhitungkan di Indonesia.
Aku
merogoh HP di saku celanaku, menghubungi Bang Abha. Sebelumnya beliau telah
berjanji akan menjemputku di bandara. Pria asal Ambon (Ibukota Provinsi Maluku)
itu merupakan kakak seniorku di Indonesia
Korea Youth Exchange Program (IKYEP). Menamatkan pendidikan S1 di IAIN Ambon
dengan IPK 4.00, mencambuk motivasinya untuk mengambil master di kota ini.
Sekarang dia sedang menempuh S2 di UGM. Beberapa hari sebelum keberangkatan, aku
telah menghubunginya. Aku mengatakan bahwa LPDP telah memutuskan bahwa
pelatihan bahasaku bertempat di UNY, dan selama enam bulan ke depan aku akan
“menyusahkannya”. Dia sangat gembira dan senang atas informasi tersebut. Dan
berjanji akan menjemputku di bandara. Nah, di sinilah aku sekarang. Aku
menelponnya, panggilan HP ku terjawab. Dia mengatakan telah menungguku di pintu
kedatangan bandara.
Setelah
mengambil bagasi, aku melaju ke luar. Bang Abha telah menunggu dengan senyum di
wajahnya dan mengatakan “welcome to Jogja”.
Ya, ini merupakan awal petualanganku. Di negeri para raja dan sultan, di negeri
yang sering namanya ku baca dalam buku-buku sejarah, dan di negeri yang
termasyhur sebagai pusat pendidikan dan budaya. Aku bertekad akan belajar
dengan sebaik-baiknya. Aku ingin target nilai bahasa inggrisku tercapai
sehingga aku bisa melenggang mulus ke USA, sebagaimana tertulis dalam SK LPDP
ku.
Sebagai
perkenalan singkat mengapa aku ke Jogja, telah disinggung barang sekilas
melalui cerita di atas. Tapi aku ingin menjelaskan sedikit agar tidak terjadi
kebingungan atas cerita-ceritaku nantinya. Pada Oktober 2014, aku dinyatakan
lulus sebagai penerima beasiswa Lembaga Penyandang Dana Pendidikan (LPDP) dari
Kementrian Keuangan RI, dengan kampus tujuan Indiana University Bloomington, Amerika
Serikat. Aku lulus dari jalur afirmasi, daerah 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal).
Pada saat itu peraturamya tertulis, bagi siapa pun yang menyelesaikan
pendidikan SD, SMP, dan, SMA nya di
daerah 3T bisa ikut seleksi beasiswa S2 dan S3 melalui jalur afirmasi, dengan
bermodalkan seritifikat kursus bahasa inggris atau nilai TOEFL berapa pun.
Kebetulan kabupatenku masuk list daerah 3T yang dimaksud. Jadilah aku mendaftar
lewat jalur afirmasi tersebut. Nah, bagi yang lulus jalur ini, mereka akan
diberikan pelatihan bahasa inggris selama enam bulan di kampus-kampus yang
ditentukan oleh LPDP. Setelah menunggu beberapa bulan sejak kelulusan, akhirnya
penempatanku untuk belajar bahasa inggris diumumkan melalui email dan sms,
yaitu di kotanya sultan ini. Segala bentuk akomodasi, baik berupa tiket pesawat
pulang-pergi, maupun pembiayaan selama di sini ditanggung LPDP. Betapa baiknya
pemerintah bukan? Ingatkan aku tentang hal ini.
Kembali ke
cerita awal, di pintu ke luar aku bertemu dengannya. Setelah bersalaman dan
mengobrol ringan sambil jalan, aku dan Bg Abha sampai di parkiran motor. Beliau
akan “menitipkan” aku untuk sementara di tempat temannya. Karena rumah tempat
tinggalnya sedang banyak tamu. Lagian dia bilang temannya, tempat aku akan
menumpang ini, juga sama-sama berasal dari Padang. Ada hal yang aku rasa aneh,
mengapa setiap orang Minangkabau yang merantau ke mana-mana selalu disebut
sebagai orang Padang? Tapi abaikan saja, yang penting aku dapat tempat
menumpang sementara. Nanti aku akan tanyakan ke temannya tersebut dari daerah
mana ia berasal. Motor kami pun melaju dengan mulus di jalan raya menuju
kostannya teman Bang Abha tersebut.
Wah, aku
mulai menikmati perjalanan dengan melihat tata kota dan pemandangan yang nanti aku
akan dipanggil “mas” di sini. Aku geli sendiri, karena aku harus siap dengan
panggilan, masakan, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan interaksi
sosial masyarakatnya. Satu hal ku rasa ada yang kurang di kota ini, aku tidak
menemukan angkot. Hingar bingar berkurang dan jalanan relatif lancar. Ada juga satu
hal yang kurasakan sama persis dengan Padang, yaitu terik panas cuacanya. Aku
sempat berpikir dulu, bahwa di sini akan adem
layaknya Bandung, ternyata impianku buyar seiring sapaan sinar matahari. Tapi
tidak apa, yang penting kita tetap bersyukur, iya kan? Satu lagi yang harus ku
akui, kota ini cukup bersih. Kesadaran penduduknya dengan kebersihan sudah
sangat memuaskan. Hal ini terlihat dari keindahan taman-taman jalan yang bebas
sampah dan ketersediaan tong sampah di tempat-tempat yang dilewati umum.
Jogja
istimewa, merupakan tagline kota ini. Terlihat di kiri kanan jalan ada beberapa
spanduk yang bertuliskan frase tersebut. Aku tidak tahu persis maknanya apa.
Karena menurut pendapatku, secara umum, setiap daerah atau bangsa memiliki
keistimewaan masing-masing. Tapi memang kalau kita menelisik sejarah, kota ini
memang agak unik, sehingga sejak lama, bahkan pada masa awal-awal kemeredekaan,
sudah diberi gelar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Satu-satunya propinsi di
Indonesia, dimana kepala daerahnya langsung diambil alih oleh sultan, yang
merupakan pewaris sah kerajaan mataram Islam. Sejarah panjang kota ini mungkin
juga menjadi pertimbangan kata “istimewa” itu melekat padanya. Sudahlah, aku
pikir nanti seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit akan terkuak oleh ku
“misteri” makna yang terkandung pada tagline tersebut.
Penginapan Sementara
Kami
sampai di sebuah gang, rumah-rumah kelihatan agak berdempatan satu dengan yang
lainnya. Motor berhenti pada satu kost-kostan ala mahasiswa yang terbilang
sangat sederhana. Aku langsung berasumsi inilah rumah teman Bang Abha tersebut.
Beliau bilang namanya Randi. Namun, setelah pintu diketuk, ternyata tiadak ada
jawaban. Randi masih belum pulang, karena sedang ada kegiatan di luar. Aku
berpikir, wah ternyata dia seorang aktivis, mudah-mudahan dia kenal dengan ku.
Maafkan aku yang sok terkenal ini.
Selang
beberapa saat menunggu akhirnya Randi datang. Kami langsung bersalaman dan
berkenalan satu sama lainnya. Ternyata dugaanku meleset. Dia tidak kenal
denganku sebelumnya. Orangnya sangat bersahabat dan aku tidak takut dititipkan
di sini oleh Bang Abha. Randi berasal dari Padang Panjang, dulu dia kuliah di Fakultas
Teknik Unand, dengan tahun masuk yang sama denganku, 2009. Dia mengaku waktu S1,
organisasi bukanlah hobinya dan tidak ada minat. Dia lebih memilih fokus
belajar saja. Pandangannya tentang organisasi berubah sejak di bumi gajah mada ini.
Setelah tamat di bumi andalas, dia mengejar program masternya di jurusan yang
sama di UGM. Di awal pertemuan ini dia telah menjelaskan, harap aku maklum,
bahwa ke depan dia mungkin akan sering tidak di kost, karena cukup banyak
kesibukan di kampus. Belakangan aku tahu dari cerita Bang Abha bahwa dia sibuk
di International Language Center (ILC) UGM. Bahkan karir terakhir, dia jadi
ketua di sana. Aku pun berdecak kagum tentunya. Karena sesama orang minang rasa
bangga itu pasti ada, melihat kesuksesan saudara satu etnis di perantauan.
Aku mulai
meletakkan bawaan dan menyusunnya barang sedikit, sembari minta maaf sama Randi
karena akan merepotkan beberapa hari menjelang dapat kost yang baru. Dia Cuma
tertawa, dan bilang bahwa jangan sungkan, sesama orang rantau harus saling
membantu. Ya, aku akan camkan ini. Aku berjanji dalam hati, kelak di kemudian
hari akan menyambut siapa pun yang berkunjung ke tempatku, asal niatnya baik.
Karena aku merasakan sekali bahwa aku sangat terbantu dengan kebaikan mereka
berdua. Bang Abha mengajak kami untuk cari makanan pengganjal perut yang sudah
mulai kosong. Randi mengusulkan kita ke “Burjo” saja kebetulan jaraknya dekat
dari tempat kost.
Awalnya
aku masih bingung “Burjo” itu apa, tapi di sini lah kami sekarang. Ternyata Burjo
itu singkatan dari bubur kacang ijo.
Aku berusaha menahan tawaku dengan banyaknya singkatan-singkatan lucu, yang
nanti ku ketahui akan lebih banyak lagi. Burjo ternyata tidak hanya menyediakan
menu sesuai dengan namanya tadi, tapi juga menyediakan menu komplit. Ada nasi
goreng, mie goreng, mie rebus biasa, mie rebus tante (tanpa telur), mie dokdok,
nasi orak arik, dan segala jenis minuman. Konon ceritanya, burjo ini merupakan
icon dagang orang Sunda di mana pun, dan bisa dipastikan kalau ada burjo di Jogja
ini pasti pemiliknya orang Sunda. Woow, saya merasa surprise dengan jiwa persatuan dagang mereka. Di Jogja jumlah burjo
tidak bisa dibilang sedikit, bahkan bisa diperkirakan setiap jarak 400 meter
kita akan menemukan burjo.
Setelah
makan dan bercerita ke sana ke mari, kami memutuskan kembali ke kost. Bang Abha
mohon pamit untuk kembali ke rumah yang ditinggalinya, dan berjanji akan sering
menghubungiku. Aku seperti anak perawan saja, yang kudu dijagain terus. Aku tidak lupa berterima kasih atas kebaikan
hatinya. Dia berangkat dengan motornya sembari mengucapkan salam. Sekarang aku
di sini, sudah mulai membaur dan nyambung
bercerita dengan randi. Saling bertukar pengalaman dan kisah unik waktu di Padang.
Setelah itu aku memtuskan mandi, yang ternyata kamar mandinya di depan kost, harus
menyebrang jalan sempit, yang sangat sederhana. Tapi kesedarhanaan inilah kelak
yang akan membuatku betah, bahkan lebih dari 6 bulan.
Pembukaan Pelatihan Bahasa Inggris
Hari ini
senin tanggal 16 Februari 2016 akan diadakan pembukaan pelatihan Bahasa Inggris
secara resmi. Sejak pagi subuh aku sudah bangun dan menghirup udara pagi
pertama di kota ini. Hari sebelumnya aku mengajak Randi untuk mencari lokasi PPB
UNY, yang akan menjadi markasku belajar ke depan. Setelah mandi dan berpakain
batik, pakaian yang menjadi kegemaranku sejak S1, aku mengecek ulang segala kelengkapan
yang harus ku bawa. Setelah merasa tidak ada yang terlupa, aku berangkat ke
kampus.
Setibanya
di kampus, tepatnya di Pusat Pelatihan Bahasa, yang menempati gedung LPPMP UNY,
aku melihat sudah banyak para peserta berdatangan. Aku senang sekali,
membayangkan akan bertemu dengan wajah-wajah baru dari seantero negeri ini. Ku perhatikan,
mereka sudah ada yang saling kenal. Kelihatan dari cara bercanda dan bahasa
yang mereka gunakan, sama-sama asing ditelingaku. Aku mulai mencari celah,
ternyata aku menemukan beberapa teman yang sama-sama ikut wawancara LPDP dulu.
Kami terlibat obrolan seru sambil bernostalgia. Dari obrolan tersebut saya tahu
bahwa komposisi terbesar yang ikut pelatihan bahasa ini adalah teman-teman yang
berasal dari Naggroe Aceh Darussalam (NAD).
Aku
mencoba mencari sosok orang Minang lainnya agar dapat menjalin silaturrahim
juga dengan saudara seperantauan. Akhirnya aku menemukan mereka. Dari 75 calon
peserta pelatihan , ternyata ada 2 orang lagi yang berasal dari Sumatera Barat selain
diriku. Yang pertama, Bang Ade Yusmar, beliau dulu S1 Fisika UNP. Sekarang sudah
jadi guru PNS di Sijunjung dan beliau berasal dari Solok. Beliau akan
melanjutkan S2 ke UGM dengan jurusan yang sama. Yang kedua, Bang Taufan, orang Pesisir
Selatan juga, sama denganku. Dulu beliau S1 Perikanan di Universitas Bung Hatta
(UBH). Beliau berencana melanjutkan pendidikan ke IPB pada jurusan yang sama.
Jadilah kami akrab satu sama lainnya. Bukan berarti menutup diri bergaul dengan
yang lainnya, paling tidak kita punya rasa keterikatan sesama orang yang
berasal dari ranah bundo.
Sekitar
pukul 10.00 WIB, suara hiruk pikuk tadi mendadak hening, aku menoleh ke kiri
dan ke kanan, akhirnya pandanganku menubruk pintu masuk. Di sana telah berjalan
iring-iringan pejabat LPDP dengan pihak balai bahasa UNY menuju kursi depan.
Kami serentak menuju kursi yang telah disediakan dan duduk dengan rapi. Senyum
terpancar dari wajah mereka melihat ke arah kami sebagai lambang ucapan selamat
datang dan selamat belajar. Acara pembukaan pun siap dimulai.
Seperti
pembukaan acara formal pada umumnya, didahului oleh moderator sebagai pengantar
acara. Seterusnya, menyanyikan lagu Indonesia Raya oleh semua hadirin. Namun
ada nyanyian tambahan ternyata, yaitu Mars LPDP. Kami tersenyum, mungkin banyak
yang ingat masa-masa persiapan Keberangkatan (PK). Terkadang karena tidak hapal
mars ini menjadi beban mental semasa PK. Ada yang pura-pura bernyanyi
menggerakkan mulutnya akhirnya ketahuan juga oleh panitia PK. Sehingga hari ini
kami mengenang itu sebagai kenangan manis karena ada juga manfaatnya, minimal
saat ini sudah tidak kagok lagi. Tapi aku merasa marsnya memang keren,
mengandung nilai motivasi dan membuncahkan semangat untuk maju mengharumkan
nama bangsa.
Setelah
itu, acara diisi dengan sambutan-sambutan. Aku baru tahu setelah kata sambutan
dari Pak Joko Priyono, ketua PPB UNY, bahwa kami bukanlah angkatan LPDP pertama
yang belajar Bahasa Inggris di sana. Ternyata sedang berjalan juga angkatan I,
yaitu kelas IELTS, yang jumlahnya lebih kurang 30 orang, dan dibagi menjadi 2
kelas. Kami yang kelas TOEFL kata beliau akan dipecah juga, menjadi 3 kelas.
Pembagian kelas nantinya berdasarkan nilai pre-test
yang akan diadakan selesai acara pembukaan ini. Nilai tertinggi sampai terendah
akan menempati kelas A, B, dan C secara berurutan. Tentunya sebagian besar peserta
kelabakan, belum apa-apa sudah mau test. Aku Cuma tersenyum, menurutku di kelas
mana pun nantinya, toh pengajarnya
itu juga. Tapi dalam hati aku aku berbisik untuk melakukan yang terbaik pada
test yang akan dilangsungkan tersebut.
Setelah Pak
Joko, kata sabutan dari pihak LPDP yang diwakili oleh Pak Makhdum. Beliau
menyerahkan kami yang puluhan orang ini secara resmi kepada pihak PPB UNY untuk
digembleng Bahasa Inggrisnya. Masih terngiang olehku beliau mengatakan bahwa
dengan pelatihan inilah salah satunya jalan untuk menempatkan awardee afirmasi
sejajar dengan awardee reguler. Tidak ada lagi perbedaan setelah kami
menamatkan 6 bulan, karena LPDP menganggap kemampuan Bahasa Inggris kami sudah
sama dengan teman-teman reguler. Pak Makhdum juga menceritakan pengalaman hidup
beliau semasa kuliah yang penuh dengan lika-liku perjuangan. Catatan penting
dari beliau, bahwa tidak ada satu usaha pun yang sia-sia. Semua akan berbalas.
Kita akan memetik hasil dari apa yang
kita tanam dan rawat selama ini.
Sambutan
demi sambutan telah dihantarkan oleh beberapa orang yang memegang peranan
penting dalam terselenggaranya pelatihan ini tentunya. Sekarang, saatnya perkenalan
singkat para tutor dan instruktur yang akan menemani kami selama hari-hari
mendatang di gedung ini. Tutor pada umumnya adalah dosen-dosen Bahasa Inggris UNY,
yang langsung diterjunkan untuk memberikan layanan terbaik mereka kepada
peserta. Mungkin PPB ingin membuktikan kepada LPDP bahwa pemilihan lembaga ini
sebagai partner tidak perlu diragukan. Para tutor datang dari berbagai kampus
selama menempuh program master dan doktornya. Ku perhatikan dari penuturan
mereka, sebagian besar beralmamater Australia. Termasuk Pak Joko sendiri,
belakangan ku ketahui untuk master dan PhD nya juga di negeri kangguru, melalui
beasiswa Australia Development Scholarship (ADS). Sementara itu, juga ada
beberapa orang instruktur. Mereka merupakan staf di PPB. Sebagian besar masih
berijazah S1 Bahasa Inggris dan sebagaian lagi baru menyelesaikan masternya.
Mereka nampak masih muda-muda dan enerjik.
Ruangan
hening, masing-masing peserta fokus pada kertas yang ada di depan meja mereka.
Ya, setelah acara pembukaan selesai, sebagaimana yang telah dikatakan diawal,
sekarang saatnya pre-test. Sebelumnya pihak LPDP dan pejabat terkait telah
meninggalkan ruangan sembari bersalaman dengan beberapa peserta. Sekarang, aku fokus
pada kertas di mejaku. Ini serasa ujian TOEFL ITP sungguhan. Dengan serta merta
aku membubuhkan nama yang dibalik, Handrianto Ciptro, pada kertas ujian, yang
kemudian menjadi sedikit masalah pada daftar absenku. Menit-menit telah
berlalu, peserta sudah mulai menampakkan kerutan di dahi mereka. Aku pun
demikian, entah mengapa soal yang diberikan agak berbeda dengan TOEFL.
Belakangan aku mengetahui bahwa UNY sedang mengembangkan test Bahasa Inggris sendiri
yang mereka beri nama dengan Test of
English Proficiency (TOEP). Nah, inilah soal-soalnya, yang kami kerjakan
sekarang. Bagiku, berpikir secara awam atau pemula, apa pun bentuk test Bahasa
Inggris, tujuannya sama, yaitu melihat sejauh mana kemampuan kita menguasai
Bahasa Inggris tersebut. Akhirnya, waktu habis, dan lembar jawaban dipungut
oleh panitia. Hasil akan diumumkan besok, sekaligus pembagian kelasnya. Wajah
teman-teman baruku sudah segar kembali, karena bisa pulang dan istirahat hingga
besok siap bertempur, memulai kelas pertama kami.
I
am Number 4
Malam tadi
aku tidur cukup pulas, tenagaku sudah terhimpun, dan siap mengikuti pelatihan pagi
ini. Kemarin Pak Joko menjelaskan bahwa jadwal pelatihan untuk hari Senin-Jum`at
berlangsung dari pukul 7.15-16.15 WIB, diselangi dengan beberapa kali waktu
istirahat. Sementara itu hari Sabtu jam
masuk sesuai seperti hari biasa, namun pulangnya dipercepat menjadi jam 12.00,
dan untuk hari Minggu kelas libur. Aku merasa luar biasa kepadatan jadwal yang
kami tempuh. Jika tidak dicerdasi tentunya ini akan menjadi ajang yang sangat
membosankan. Kembali saja ke niat awal datang ke sini, dan berharap waktu tidak
terbuang cuma-cuma dengan banyak berleha.
Aku
berjalan kaki ke kampus, sambil melihat pemandangan, dan merasakan kesegaran
udara pagi. Kemarin aku diantar oleh Bang Abha, sekarang aku harus mandiri,
tidak mungkin juga diantar tiap hari, sementara rumahnya jauh juga dari kost Randi
tempatku tinggal sementara. Menyusuri Jalan Selokan Mataram, GOR Kelebengan,
dan berbelok ke arah selatan menuju PPB melewati sisi barat Fakultas Teknik UNY.
Ternyata aku berjalan antara dua fakultas dengan kampus yang berbeda. Di
sebelah kiriku Fakultas Teknik UNY dan di sebelah kananku Fakultas Peternakan
UGM. Sesekali aku melirik ke arah kanan. Terlihat beberapa ekor kuda yang sedang
dikasih rumput, suara kambing yang bersahutan, dan ayam yang berebut makanan di
kandangnya. Aku jadi rindu suasana di kampung halaman. Baru dua hari sudah
ingin pulang? Lupakan. Aku pun melanjutkan perjalanan.
Ketika menginjakkan
kaki di lantai empat gedung LPPMP, aku melihat beberapa dari teman-temanku
sudah berdatangan. Kami memulai percakapan dengan pertanyaan basa-basi karena
belum sempat berkenalan semua pas acara pembukaan kemarin. Sebenarnya kami juga
deg-degan karena hari ini akan diumumkan pembagian kelas berdasarkan nilai pre
test kemaren. Beberapa menit berlalu, semakin banyak juga yang datang.
Tiba-tiba salah seorang instruktur menuju papan pengumuman. Dia membawa beberapa
lembar kertas untuk ditempel. Setelah kerta tertempel, teman-temanku
berhamburan ke arah sana. Saling berebut melihat nama mereka. Aku lebih baik menunggu
saja, sambil bercerita dengan teman-teman yang juga tidak mau berdesakan.
Akhirnya aku menuju ke sana. Aku tidak menemukan namaku. Ku ulang lagi secara
seksama, dari nama awal sampai yang ke 75 aku cari yang pangkal namanya C,
tidak ada namaku. Ok fix, aku
perhatikan untuk yang ketiga kalinya. Oh,,haha, ternyata namaku di balik,
seperti yang kubuat di kertas kemarin, jadilah yang di depannya Handrianto. Ya,
aku menemukannya dan siap mencari kelasku.
Kelas A terdiri
dari 25 orang, dan image yang
terbangun pada kelas ini adalah isinya orang-orang pilihan. Karena mereka
adalah 25 besar dari jumlah peserta. Aku termasuk dalam jajaran penduduk di
kelas A ini, aku tidak terlalu bangga, karena nilai yang diumumkan di papan
tadi sangat jauh dari ekspektasiku. Aku melangkahkan kaki ke dalam kelas
baruku. Mengobrol ringan dengan teman-teman sambil menunggu dosen masuk. Aku
mengenal lebih banyak lagi nama-nama baru, aku yakin mereka akan tetap teringat
nantinya, karena komunikasi kami akan lebih intensif selama beberapa bulan ke
depan. Salah satu kelemahanku selama ini, aku paling susah mengingat nama
orang, apa lagi yang baru bertemu baru sekali, bukan sombog, tapi inilah salah
satu kekuranganku.
Tidak lama
dosen kami yang mengajar pagi ini memasuki ruangan. Beliau akan mengajar structure di kelas kami. Beliau membawa buku daftar hadir di tangan
kanannya. Namun beliau belum menggunakannya. Setelah mengucapkan salam dan
memperkenalkan dirinya, beliau meminta kami memperkenalan diri juga satu per
satu dalam Bahasa Inggris. Satu hal yang aku kagumi sampai hari ini dari beliau,
kenyataan bahwa beliau hapal nama kami masing-masing di luar kepala. Kami
berdecak kagum dengan keistimewaan yang beliau punya. Ini terbukti, ketika
dalam proses pembelajaran, beliau sebut nama dan lihat orangnya langsung.
Jam
pelajaran structure sama beliau hampir
habis. Mulailah beliau menggenggam daftar hadir kembali, tadi sempat diletakkan
di mejanya. Nama kami disebut satu per satu. Anehnya, namaku tertinggal, karena
tidak terpanggil ketika beliau mengabsen. Aku mengangkat tangan dan menanyakan
mengapa namaku tidak terpanggil. Beliau mengatakan tidak menemukan namaku. Aku
minta izin melihat daftar hadir yang beliau pegang. Beliau mengizinkan, tidak
lama mencari, aku menemukannya. Aku memberikan absen itu kepada beliau sambil
berkata “Sir, I am number four”. Beliau tersenyum karena namaku itu tetap
tertulis Handrianto Ciptro di sana.
Ya, aku si
nomor 4, berdasarkan nilai yang kuperoleh dari ujian kemarin. Orang-orang di
atasku yang pertama, Rosa De Panda, berasal dari Kupang, Nusa Teggara Timur.
Dia menempuh S1 di Universitas Indonesia. Yang kedua, Kana Syafrina Rozi,
berasal dari Aceh. Beliau sudah menjadi dosen di daerah asalnya dan ikut
pelatihan bahasa untuk persiapan mencari kampus mengejar S3. Dan yang ketiga,
Amin Endah, berasal dari Jawa Timur. Aku jadi ingat film Hollywood yang pernah
aku tonton dengan judul I am number 4.
Aku ingin mendongkrak nilaiku dan
menjadi posisi terdepan. Semangat kompetisiku mulai timbul. Aku mulai mengatur
strategi untuk melumpuhkan tiga wanita di atas. Tentunya dengan cara yang sehat
dan belajar lebih keras lagi.
Kosan Baru
Sudah tiga
hari aku menginap di tempatnya Randi. Sebenarnya sedari awal aku ingin mencari
tempat tinggal baru, karena tidak mau merepotkan Randi lebih lama. Meski dia
bilang aku bisa tinggal seberapa lama yang aku mau. Tentunya aku menolak menginap
gratis terus, karena aku tahu dia punya privasi dan aku pun punya privasi.
Bukankah bertamu itu menurut hadits dibolehkan hanya 3 hari? Dan aku mulai
gelisah. Aku tanyakan ke beberapa teman di tempat pelatihan tentang siapa yang
belum dapat kontrakan dan mau berjuang bersama denganku untuk mencarinya,
mereka semua sudah pada dapat tempat. Ada yang menawarkan, aku bisa tinggal dekat
kontrakannya, karena masih ada beberapa kamar kosong. Ketika ku Tanya harganya,
membuat ku berpikir ulang, karena kemahalan menurutku. Ya, memang di Jogja
untuk makanan tidak perlu diragukan harganya yang cukup murah, tapi untuk
kontrakan masih relatif mahal. Agak sulit menemukan kontrakan murah tapi
nyaman.
Sejujurnya,
aku sudah nyaman dengan suasana di kostan Randi itu. Selain tidak terlalu jauh
ke kampus, juga dekat dengan mesjid. Ku perhatikan rumah ini terdiri dari empat
kamar, cuma satu kamar Randi saja yang baru diisi, sementara tiga kamar lagi,
yang masing-masing dibatasi dengan papan triplek dijadikan gudang. Aku berniat
untuk tinggal di sini saja, meski kamar mandinya agak jauh, karena menyeberang
gang dulu. Aku coba komunikaskan dengan Randi tentang kemungkinan aku tinggal
di sebelah, tentunya dengan memodifikasi salah satu dari kamar yang tiga itu
untuk di jadikan kostan.
Akhirnya Randi
menanyakan kepada Bu Tutur, istri dari Pak Tutur, yang merupakan kerabat dari Randi
juga, pemilik kost-kostan tersebut. Beliau sudah kenal denganku sejak awal,
karena diperkenalkan Randi, tidak keberatan. Namun beliau terus terang dengan
keadaan yang sangat sederhana itu, apa aku sanggup nantinya. Aku katakana pada
beliau bahwa itu tidak menjadi masalah. Alhasil, kamar di sebelah kostannya Randi
diperbaiki untuk menjadi tempat tinggalku.
Randi
sangat senang aku memilih untuk tinggal di rumah itu, di sebelah kamarnya,
katanya biar ada teman bercerita juga. Lebih seminggu aku di kamar Randi dan
akhirnya terhitung pada tanggal 23 Februari 2015 aku berpindah ke kamar baru,
yaitu ruangan sebelah yang sudah selesai dikondisikan oleh Bu Tutur tersebut.
Semua barang-barangku ku pindahkan ke kamarku, Randi juga turut membantu, meski
tidak begitu banyak bawaanku. Jadilah aku tiggal di kostan yang sebulannya aku
membayar Rp 225.000,- dan itu sudah masuk air dan listrik. Cukup murah bukan?
Aku ingin menceritakan tentang posisi dan
segala hal mengenai rumah baruku. Rumah ini beralamat di Karang Bendo CT III/24 E, Kocoran, Catur Tunggal, Depok, Sleman,
Yogyakarta. Ternyata aku tinggal di Kabupaten Sleman, bukan di Kota Yogyakarta.
Awalnya aku mengira semuanya kota, ternyata dugaanku salah. Mungkin karena
provinsinya cukup kecil jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa
ini, jadi kabupaten dan kotanya mudah dijangkau. Kembali ke cerita awal,
dinding belakang rumah ini hampir bersentuhan dengan Masjid Al-Ikhlas, jadi
tidak ada alasan bagiku untuk tidak mendengar seruan azan, karena toa-nya cukup
keras, membangunkan kita dalam tidur nyenyak sekalipun. Di depannya, selain
rumah keluarga Pak Tutur, ada rumah yang dikontakkan juga, masih milik keluarga
Pak Tutur. Kebanyakan diisi oleh mahasiswa juga, mereka menjadi
tetangga-tetanggaku yang baik, dan sangat banyak membantu. Rumah ini juga sangat
dekat dengan Fakultas Kehutanan dan Fakultas Pertanian UGM, tinggal menyeberang
jalan raya akan sampai di gerbang belakang kedua fakultas tersebut. Sangat
mudah sekali akses mencari makanan, karena selain Burjo yang buka 24 jam, juga
ada beberapa tempat favorit penggugah selera, seperti Ayam Geprek Pak Wage. Pagi hari di depan mesjid akan ada seorang
ibu yang menjual nasi kuning, kadang dibantu anak lelakinya, rasanya sangat
enak dan harga sesuai kantong mahasiswa. Sedangkan jarak tempuh rumah ini ke
kampus, tempat belajarku, dengan jalan kaki membutuhkan waktu 13 menit (pernah
aku hitung).
Masjid Al Ikhlas
Sebagaimana
telah aku singgung sebelumnya bahwa kostanku sangat dekat dengan Mesjid Al
Ikhlas. Mesjid ini sangat sering mengadakan pengajian setidaknya tiga kali
seminggu. Takmir juga meyediakan buka bersama pada hari Senin dan Kamis bagi
jemaah yang berpuasa. Umumnya jemaah laki-laki memadati lantai satu mesjid jika
pengajian digelar. Sementara untuk jemaah perempuan disediakan tempat yang
kecil saja, yang dibatasi dinding tripleks dan tirai.
Setelah
selesai acara pengajian, para takmir siap menghidangkan makanan untuk disantap.
Betul-betul makan nasi dan juga ada lauknya. Aku tidak pernah melihat kondisi
seperti ini sebelumnya di mesjid-mesjid lain di Kota Padang maupun di kampung
halamanku Kabupaten Pesisir Selatan. Sepanjang pengetahuanku perlakuan seperti
ini hanya terjadi pada bulan Ramadhan saja. Namun ini, pada hari biasa, dan aku
berdecak kagum. Betapa “royal” mesjid ini menghidangkan makanan pada jemaahnya.
Tentu ini merupakan moment istimewa
bagi mahasiswa untuk mendapatkan jatah makanan gratis. Tapi toh yang makan juga bukan hanya mahasiswa
saja, bapak-bapak yang sudah berkeluarga pun juga ikut.
Mesjid ini
terdiri dari dua lantai dan diberi cat berwarna hijau pada dindingnya. Semua
lantai berlapiskan keramik. Aku perhatikan, hanya tiga shaf pertama yang
dikasih karpet sajadah, shaf berikutnya dibiarkan terbuka dengan keramik putih
itu. Kalau shaf perempuan aku tidak tahu, karena itu sangat ditutup. Sementara
itu ada beberapa kamar-kamar kecil di lantai satu dan lantai dua untuk tempat
tinggal takmir. Biasanya mereka yang menempati adalah laki-laki, masih kuliah,
dan belum menikah.
Sekilas mengamati,
aku menyimpulkan bahwa jemaah masjid ini merupakan jemaah Salafi. Selain itu terlihat dari kajian-kajian yang mereka paparkan,
sebagian besar dititikberatkan mengenai akidah dan pemurnian ajaran Islam di
masyarakat. Mereka anti sekali dengan takhayul,
bidaah dan kufarat. Kajian mereka memilih untuk tidak berkonfrontasi dengan
pemerintah, tapi mereka juga kritis atas kebijakan pemerintah yang merugikan umat
Islam apalagi sudah menyangkut ranah tauhid. Mereka sangat anti terhadap
syi`ah, itu wajar menurutku, karena syi`ah sudah sangat jauh menyimpang dari
ajaran murni Islam.
Aku kadang
juga ikut membaur mengikuti kajian-kajian yang diadakan oleh mereka. Aku
mengakui persaudaraan yang mereka bangun patut diacungi jempol. Terutama
orang-orang yang tinggal di depan rumah kostanku itu adalah para salaf. Mereka
sangat sering menawarkan bantuan bahkan sering mengajak makan bersama di
tempatnya.
Fenomena
lain yang unik aku temui di mesjid ini adalah, aku jarang mendengar kumandang
azan dengan berirama. Menurutku azannya cukup sebentar dan minus nada. Aku coba
tanya-tanya ke salah satu jemaah mengapa seperti itu, dan jawabannya, bahwa
memang harus seperti itu, tidak boleh pakai nada-nada, karena musik dan
nyanyian yang mengandung nada, dilarang dalam Islam. Sementara jarak azan dengan iqamah terbilang
sangat lama, sehingga bisa dipastikan para jemaah leluasa untuk shalat sunat
sebelum shalat.
Aku tidak
tahu apakah pemahaman tentang musik dan nyanyian haram dalam Islam itu sudah
menjadi kesepakatan dalam salafi. Jawaban seperti itu, aku dapatkan dari salah
seorang dari mereka, mungkin itu pendapat pribadi dia atau bagaimana, aku juga
belum menyelidiki. Bahkan dengan tegas dia menjawab apa pun jenisnya. Aku
bertanya, kalau lagu-lagu islami bagaimana? Dia bersitegas itu haram. Apalagi perempuan
yang mempertontonkan tubuh dan memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan
mahramnya, itu sangat dilarang. Tapi aku menghargai argumentasi dia, dan aku
bilang kepadanya itu terlalu keras, dia pun berdalih bahwa itu mengandung
kebaikan. Diskusi pun ditutup tanpa penyelesaian masalah. Belakangan aku
perhatikan bahwa perempuan yang tergabung dalam jemaah ini sebagian besar selain
berjilbab lebar juga menggunakan cadar, mungkin menjaga kehormatan diri mereka.
Itu aku apresiasi, karena memang tidak layak bagi seorang muslim meremehkan
pendapat yang diyakini oleh saudaranya, selagi tidak bertentangan dengan hukum
pokok ajaran Islam, apalalagi aku yang masih perlu banyak belajar tentang ilmu
agama ini.
Lain pula
mengenai bacaan ayat ketika shalat. Bacaannya sangat lama karena panjangnya ayat
yang dibaca. Aku kadang merasa iri, karena umumnya hafalan mereka sangat
banyak. Imamnya juga masih muda-muda, tapi memiliki hafalan ayat yang luar
biasa. Memang kalau diperhatikan jemaah salaf sangat concern dengan hapalan Al-Quran. Mereka membentuk generasi qurani dimulai dari rumah. Konon
kabarnya Musa, seorang hafiz cilik yang sering muncul di televise akhir-akhir
ini, juga merupakan anak dari orang tuanya yang mengikuti salaf.
Aku secara
pribadi tidak memiliki benturan dengan aliran atau kajian bentuk apa pun dalam Islam.
Aku sering berinteraksi dengan Ikhwanul Muslimin, Jemaah Tabligh, Hizbut Tahrir,
Salafi, NU, apalagi Muhammadiyah. Bahkan aku lahir dari lingkungan Muhammadiyah
itu sendiri, karena sebagian besar orang Sumatera Barat adalah warga
Muhammadiyah, dan pengaruhnya menjalar sampai ke pelosok kampung halamanku. Meurutku,
semua itu akan menjadi khazanah pengetahuan tersendiri dan patut disyukuri dengan
adanya variasi gerakan akan membantu memacu akselerasi pembangunan umat. Mesti praktek
di lapangan, tidak jarang terjadi pertikaian antara gerakan tersebut,
dikarenakan kesalahpahaman oleh generasi yang kurang ilmu pengetahuan. Aku
berkesimpulan tentang sikap kita tentang gerakan-gerakan ini adalah asalkan itu
masih memiliki rumpun pokok yang sama dengan Aswaja (Ahlussunnah wal Jama`ah), kita harus menghargai satu dengan yang
lainnya, tanpa memancing isu-isu provokatif. Karena itulah sejatinya Islam garis
lurus, bukan garis keras yang sering diisukan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Sepeda Bekas
Sudah
sejak awal aku ingin membeli sepeda, agar waktu tempuh yang kubutuhkan menuju
kampus bisa dikurangi. Selain itu, dengan berjalan kaki ke kampus, tidak jarang
aku sudah berkeringat masuk ke dalam kelas, tentunya akan mempengruhi
kenyamanan dan konsentrasiku dalam belajar. Terbesit juga niat, bahwa dengan
adanya sepeda nantinya, setiap hari Minggu pagi aku bisa berkeliling dan
mengeksplorasi kota ini, yang merupakan salah satu hobiku sejak dulu. Ya,
bersepeda sangat menyenangkan, terutama di pagi hari.
Sepeda adalah
suatu benda yang tidak pernah lepas untuk tetap terlibat dalam catatan pada halaman
sejarah hidupku. Sejak kecil aku sudah dibelikan sepeda oleh orang tuaku.
Bermain sepeda di perkampungan ketika pagi dan sore hari bersama teman masa
kanak-kanakku, merupakan rutinitasku. Aku juga menggunakan benda ini ketika aku
bersekolah di SD dan SMP. Ketika SMA aku tidak bersepeda lagi ke sekolah,
selain jaraknya jauh, juga agak aneh saja menurutku, karena aku tidak menemukan
satu pun teman SMA ku membawa sepeda ke sekolah. Di kampungku itu terkadang aneh,
karena ketika melihat remaja bersepeda ke sekolah, bisa menjadi bahan olok-olokan.
Bisa dianggap terlalu melarat bahkan terkesan minta dikasihani, sehingga tidak
ada yang berani dengan muka tebal ke SMA dengan sepeda. Sebenarnya orang mulai
malu bersepada ke sekolah sejak SMP, tapi aku cuek saja waktu itu, karena masih
ada teman, tapi sejak SMA aku berhenti juga, karena tidak mau “keren” sendiri.
Aku
kembali bersepeda menuju institusi pendidikan ketika aku menginjakkan kaki di
bangku perkuliahan. Saat itu aku sangat senang ketika ditawarkan oleh dosenku, Ibu
Syur`aini, yang juga kuanggap sebagai orang tua angkatku, beliau juga
menanggung uang semesterku hingga aku tamat S1, untuk memakai sepeda ke kampus.
Tentu saja aku mau, dan beliau memberikan sejumlah uang padaku untuk membeli
sepeda. Hari itu juga, aku ke Pasar Raya Padang, untuk mencari sepeda baru yang
akan ku manfaatkan bolak balik antara kampus dan tempat tinggalku di asrama
Islamic center.
Di sini
aku kembali terusik dengan kebiasaan bersepeda seperti pada fase hidupku sebelum-sebelumnya.
Aku perhatikan Randi juga bersepeda dari kost menuju kampusnya di Fakultas
Teknik UGM, cukup jauh ku rasa. Sementara itu Pak Tutur yang berprofesi sebagai
satpam di kehutanan UGM juga pakai sepeda. Aku mulai menanyakan kepada Randi dimana
aku bisa memperoleh sepeda, tidak apa-apa sepeda bekas, karena aku sedang
melakukan penghematan. Tapi Randi belum sempat mengantarku dalam waktu dekat,
karena ada kesibukan juga. Jadi aku memutuskan mungkin perlu bertanya pada
teman yang lain dulu, menjelang Randi tidak sibuk.
Aku pernah
membayangkan dan berangan-angan, jika seandainya sepeda menjadi kendaraan
pilihan masyarakat di negeri ini. Tentunya jalanan penuh dengan kendaraan roda
dua tanpa mesin tersebut. Udara segar pagi hari dihirup oleh setiap nyawa
dengan penuh rasa syukur. Sementara itu tempat parkiran di kampus dan kantor
penuh dengan aneka jenis sepeda. Aku tidak tahu, entah sampai kapan mimpi ini
bisa diwujudkan. Meski beberapa kota besar ada membuat program car free day, menjemput wujud kesegaran
udara dalam sehari. Aku pernah menyaksikannya di Jakarta, sangat nyaman, tapi
ini tentu tidak cukup, karena kondisi ini cuma sehari, bahkan tidak sampai sehari
penuh.
Aku
terkadang heran dan bertanya dalam hati, mengapa dengan jarak yang terbilang
dekat, sebagian besar dari kita masih menggunakan kendaraan bermotor? Sehingga
emisi karbon di udara semakin terus bertambah, dan tentunya polusi tidak bisa
terelakkan. Aku bukanlah pekerja atau aktivis organisasi lingkungan yang fokus
pada global warming dan sebagaiya.
Sebagian mereka sibuk bercerita tentang efek rumah kaca dan rantai karbon, tapi
dalam kesehariannya sulit sekali memberikan contoh kecil pada kita rakyat
kecil, dengan sering bersepeda misalnya. Mereka terus mengendarai mobil mewah
dan motor gagahnya di tengah padatnya lalu lintas jalan raya.
Ada banyak
faktor sebenarnya membuat orang enggan bersepeda. Salah satunya dengan pola
hidup dewasa ini. Manusia cenderung ingin serba instan dan cepat, tidak perlu
waktu lama untuk ke suatu tempat, sehingga mengandalkan sepeda saja tentu
menjadi pilihan sulit. Selain itu, kemudahan akses menjadi prioritas utama bagi
sebagian besar orang, terutama mereka yang termasuk dalam kelompok pekerja
kantoran, anak-anak sekolahan, dan mahasiswa. Dalam hal ini sarana transportasi
publik menjadi sorotan utama, baik mengenai kualitas, layanan, dan kesesuaian
dengan harapan penggunanya. Memang, aku menyadari bahwa busway, trans-trans,
angkot, atau kendaraan umum lainnya masih jauh dari kata nyaman di negeri ini.
Tapi aku masih tetap optimis, dengan adanya usaha perbaikan dari waktu ke waktu
pada moda transportasi kita, mudah-mudahan akan meningkatkan jumlah pengguna
sepeda dan mengurangi kendaraan bermotor atau mobil pribadi.
Kembali ke
ceritaku. Aku lihat teman sesama pelatihanku sudah ada yang memakai sepeda, meskipun
sepeda bekas. Namanya Pak Laode Hadini. Beliau berasal dari Sulawesi Tenggara.
Profesinya sebagai kepala sekolah dan sekarang ikut pelatihan untuk mengambil Program
Doktor Geografi di UGM. Pertama kali aku bertemu beliau di PK 24 LPDP, karena
kami satu angkatan pada Persiapan Keberangkatan (PK). Beliau tinggal tidak jauh
dari kostku.
Aku kagum
sama beliau, karena tidak gengsi secuil pun memakai sepeda, bahkan sepeda
bekas. Aku bertanya pada beliau tentang harga dan dimana aku bisa membeli sepeda
seperti itu. Ternyata harganya sangat murah dan tempatnya dekat gerbang Fakultas
Kehutanan UGM. Aku meminta Pak Ode untuk menemaniku membeli sepeda dan beliau
menyanggupinya.
Jadilah
malam itu, selepas Maghrib di Mesjid Al Ikhlas, kami menuju lokasi berjalan
kaki dengan Pak Ode menggiring sepedanya di sampingku. Kami tiba di toko itu,
betemu dengan pemilik tokonya, dan dipersilahkan memilih sepeda yang ada. Aku
melihat ada beberap sepeda yang cukup representatif, tapi harganya lumayan
mahal. Aku membuat penawaran dengan pemilik toko dan belum bertemu titik temu.
Tiba-tiba datang dua orang perempuan, yang satu dengan sepeda dan yang satu
lagi temannya dengan sepeda motor. Ternyata dia datang untuk menjual sepedanya
ke toko tersebut. Dia mengatakan sepeda itu tidak sesuai dengan harapannya,
karena dibeli secara online, jadi dia
tidak tahu persis sperti apa bentuknya. Katanya sepeda itu cocoknya untuk
laki-laki. Aku tertarik dengan sepeda itu, aku minta izin untuk mencobanya. Pemilik
toko menyarankan ambil sepeda perempuan itu saja, karena lebih murah. Setelah
ku coba aku merasa nyaman, dan aku ingin membuat penawaran harga.
Pemilik toko
meninggalkan kami berempat di luar tokonya. Dia mengatakan padaku untuk
langsung bernegosiasi saja dengan pemilik sepeda itu. Tidak masalah katanya,
jika tidak jadi membeli sepeda pada tokonya. Betapa baiknya dia, karena tidak
mengambil keuntungan dengan pertemuan kami di tokonya. Aku langsung saja
menawar dengan hargaku pada kedua perempuan tersebut. Disepakati harga yang
harus ku bayar sebesar Rp 250.000,-. Aku sangat senang karena menurutku cukup
murah dan sepedanya nyaman di pakai. Setelah pembayaran, aku dan Pak Ode mengayuh
sepeda masing-masing ke kostan tempatku tinggal. Aku berterima kasih pada
beliau yang telah menemani, dan menawarkan untuk mampir ke kostanku. Beliau
singgah, kami bercerita tentang pengalaman di kelas bahasa, dan ketika azan Isya
berkumandang beliau mohon diri untuk langsung pamit saja selesai sholat
nantinya.
Kelas TOEFL UNY
Kelas
TOEFL sudah resmi dibuka dan kemudian pada hari berikutnya kelas berjalan
seperti apa yang telah disusun oleh panitia. Dalam sehari silih berganti dosen
dan instruktur keluar masuk pada ketiga kelas tesebut, diselingi beberapa kali
istirahat. Waktu istirahat yang paling lama adalah pada saat shalat zuhur.
Gedung ini terdiri dari empat lantai dan di setiap lantainya terdapat mushallah
dan rest room. Sementara untuk membeli makanan harus ke bawah. Di sepanjang
jalanan Karang Malang terdapat jajaran kuliner dengan aneka warna, rasa, dan
harga masing-masing. Jam 13.30 WIB semua peserta kembali masuk kelas untuk
melanjutkan pelajaran. Pada pukul 16.15 WIB kelas usai, dan keramaian akan
terlihat di sekitar lantai 4, kadang kami berdesakan masuk ke dalam lift,
karena ingin segera sampai ke lobi utama.
Hari ini
kami menerima modul Bahasa Inggris dari pihak pengembangan bahasa UNY. Aku rasa
modulnya cukup lengkap, mulai dari speaking,
listening, writing, structure, vocabulary, dan lain sebagainya. Modul dibagikan
rata pada setiap peserta. Inilah yang akan kami “santap” untuk tiga bulan ke
depan bersama tim pengajar. Katanya modul-modul ini hanya untuk tiga bulan,
akan ada modul baru lagi jika yang ini sudah selesai dibahas. Sebagian peserta
mengeluh terkait modul, karena ini tidak ubahnya seperti belajar Bahasa Inggris
dasar. Mereka menginginkan, alangkah baiknya kami diberi materi cuma sedikit,
dan selanjutnya diberikan tes-tes simulasi TOEFL langsung sehingga lebih
praktis. Tetapi pihak penyelenggara telah memiliki rancangan program yang sudah
jadi dan siap pakai.
Selain
itu, kami juga diberikan tas yang berlogo LPDP dan UNY, baju kaos, dan topi.
Semua kelengkapan ini bagian dari plus servisnya dari program ini. Tentunya
kami sebagai peserta sangat senang dalam hal ini. Bagi yang sudah PK biasanya
ada tas LPDP juga yang mereka peroleh, jadi tas yang berlogo LPDP sudah dua.
Tas yang diberikan ini bisa kami manfaatkan selama pelatihan untuk membawa
buku-buku dan modul yang ckup banyak setiap harinya dari kontrakan ke kampus.
Sementara baju dan topi, kami pakai saat kunjungan ke luar, darmawaisata, atau
diistilahkan dengan excursion. Terakhir, di kelas A timbul kesepakatan bahwa
kita memakai baju ini setiap hari sabtu, agar kelihatan kompak karena pakai
seragam.
Sementara
itu, menurut informasi, test real ITP akan diadakan tiga kali selama pelatihan
dan itu semuanya ditanggung LPDP. Setiap test akan dilaksanakan dalam rentang
waktu dua bulan, sehingga pas test ketiga waktunya cukup menjadi enam bulan.
Kebijakan lainnya, setiap selesai test, kelas
kembali diurut sesuai dengan tingkat skor, seperti yang terjadi di dalam
pre test. Dengan demikian, berkemungkinan akan ada yang naik ke kelas A atau
malah turun dari kelas A menjadi kelas B atau bahkan kelas C. Kami juga diberikan
kesempatan untuk test TPA dan TOEP resmi. Tapi ini hanya diberikan sekali untuk
masing-masingnya. Jadwalnya pada hari-hari terakhir menjelang penutupan.
Namanya
Kindi, dia berasal dari Aceh, awalnya aku kaget dengan namanya, mengingatkanku
pada seorang filosof Islam ternama di masa lampau. Kami sepakat menunjuk dia
sebagai ketua di kelas A. Kindi mengusulkan agar kita di kelas menggunakan Bahasa
Inggris dalam keseharian, sehingga nantinya bisa terbiasa dalam komunikasi.
Sejatinya Bahasa Inggris tidak hanya tentang grammar, reading, maupun listening, tapi juga kemampuan speaking amat dibutuhkan. Pada mulanya eman-teman
satu kelas setuju dengan usul ini maka dimulai lah peraturan baru itu. Secara
pribadi, aku mendukung usul ini, karena selain meningkatkan kemampuan juga
efektif mengurangi tingkat keributan di kelas. Beberapa hari belakangan, kelas
sangat bising karena terlalu banyaknya percakapan, apa lagi ketika pelatih
meninggalkan ruangan dalam pergantian jam atau di jam-jam istrihat. Kebijakan ini
otomatis membuat suasana kelas berubah agak canggung, karena masih banyak yang
tidak mau berbicara dalam bahasa inggris, selain kosa kata yang minim, namun
alasan intinya adalah rendahnya kepercayaan diri, rasa malu, dan takut
ditertawakan oleh teman-teman jika salah ucap. Melihat gelagat ini, yang
membuat tidak nyaman, pada akhirnya aturan ini tidak bertahan lama, banyak yang
berontak dengan alasan kelas sunyi dan kita menjadi kaku satu sama lain.
Akhirnya, sampai saya keluar dari kelas A ini hampir tidak ada lagi yang
mempraktekkan bahasa inggris dalam percakapan non formal dalam kelas.
Ada lagi
keistimewaan tersendiri pelatihan bahasa di UNY ini, kami dengar tidak ada di
kampus lain yang melaksanakan pelatihan yang sama bagi awardee LPDP. Selama
pelatihan enam bulan di sini, kami mendapat kesempatan tiga kali excursion, yaitu kunjungan ke tempat
wisata dan kegiatan outbond. Bertujuan agar peserta pelatihan tidak stress
karena rutinitas kelas dan jadwal pelatihan yang cukup padat. Kegiatan
diselenggarakan setelah masing-masing tes ITP setiap dua bulan sekali. Tentunya
rencna ini menjadi antusias tersendiri bagi kami para peserta. Dengan jumlah
kami yang tidak sedikit ini, pihak kampus menyediakan biasanya dua bus besar,
ditambah dengan instruktur kami turut mendampingi. Aku menyadari kegiatan lapangan
seperti ini akan menimbulkan keakraban dan rasa kebersamaan yang lebih.
Karakter akan terbentuk, kerja sama akan muncul, dan rasa tanggung jawab akan
terus dipupuk dengan baik melalui kegiatan seperti ini.
Terkait
penggunaan sumber daya internet dalam pembelajaran, kami juga digratiskan untuk
mengakses wifi gratis di gedung ini. Pada mulanya username dan passwordnya
dipakai secara umum, tapi belakangan masing-masing diberi password tersendiri.
Saya tidak terlalu tahu alasannya mengapa, tapi mungkin karena faktor keamanan
dan penghematan. Sementara itu, labor bahasa tersedia di lantai tiga untuk
pembejaran yang berkaitan dengan audio visual, juga terkoneksi langsung ke
internet. Terdiri dari beberapa komputer dan airphone yang mencukupi untuk satu kelas sekaligus menggunakannya.
Kursi yang disediakan di sana juga nyaman dan di depan kelas juga ada layar
untuk menampung tembakan infocus jika
dibutuhkan. Para instruktru secara berkala mengajak kami ke sini, tertama pada
materi listening dan writing. Listening berupa mendengar berita dari radio-radio barat dan film,
sementar tugas writing membuat tulisan dengan topik yang ditentukan, setelah
itu dikirim ke email instruktur. Minggu berikutnya kami mendapat balasan email
berupa penilaian dan saran-saran perbaikan.
Pembelajaran
di kelas yang dimulai dari pagi hari dan berakhir hingga sore tidak pelak
membawa rasa bosan dan malas bagi peserta pelatihan. Menanggulangi hal
tersebut, para instruktur mencoba menerapkan hal-hal baru yang menyenangkan
namun tetap berorientasi pada pembelajaran. Sebagai salah satu contoh adalah
pemutaran film berbahasa inggris di kelas. Film diputar di laptop dengan
dihubungkan ke kabel infocus, ditembakkan ke papan tulis putih di depan kelas. Sebelum
film diputar instruktur membagikan kertas berupa pertanyaan-pertanyaan terkait
pembahasan di film. Peserta akan bisa menjawabnya jika mereka memperhatikan
secara seksama apa yang ditanyangkan. Film mulai dihidupkan ketika semua kertas
sudah selesai dibagikan. Maka terdengarlah gema speaker di ruang tertutup, dan
lampu kelas sengaja dimatikan untuk meminimalisir efek cahaya dari luar.
Setelah film usai, instruktur akan meminta beberapa peserta bercerita dalam
bahasa inggris mengenai apa film tersebut. Selanjutnya masing-masing peserta
mengisi daftar pertanyaan yang ada pada kertas yang sudah dibagikan sebelumnya.
Sekitar
dua bulan sebelum program pembekalan bahasa berakhir, kini setiap hari sabtu
penyelenggara mengadakan general tes. Tes dilaksanakan seperti simulasi TOEFL
sungguhan, yang dimulai dari listening,
structure, dan reading. Biasanya dimulai jam 8.00 pagi dengan didampingi oleh satu
orang dosen yang merangkap sebagai pengawas. Sekitar jam 10.00 paling lambat,
rangkaian tes sudah selesai. Para pengawas yang bertugas dalam kelas akan
membahahas serta melihat capaian skor masing-masing dari kami. Hal ini tentunya
efektif dan enak bagi kami peserta. Kami tidak lagi bergelimang dengan modul
dan materi-materi bahasa inggris seperti biasa, melainkan pengalaman dengan
simulasi langsung. Setiap minggu peserta bisa mengukur sudah sejauh mana
kemampuan mereka mengusai pembelajaran selama ini. Dalam pembahasan, tidak
jarang terjadi diskusi yang panjang antara sesama peserta maupun dengan
pengawas dalam pembahasan.
Setelah
proses pembejaran di kelas berakhir, sering kali para peserta membentuk
kelompok-kelompok belajar yang terdiri dari tiga sampai lima orang. Tujuannya
untuk mendiskusikan materi yang telah didapatkan dan tentunya juga diskusi yang
mengarah pada serba serbi hidup di tanah rantau. Diskusi pelajaran dipimpin
oleh seseorang yang kami anggap mampu menjelaskan tentang materi yang
dipelajari sebelumnya dan disertai dengan latihan-latihan soal yang didadpatkan
dari sumber lain. Tidak jarang diskusi ini berakhir mendekati waktu isya, dan
diakhiri dengan makan malam bersama, tapi bayarnya sendiri-sendiri di Taman
Kuliner. Memang di antara kita tidak ada yang disibukkan dengan kegiatan berupa
pekerjaan. Karena selain tidak diizinkan, dana yang digelontorkan LPDP sebanyak
2,5 juta per bulan lebih dari cukup untuk hidup di Jogja dengan biaya hidup
cukup murah.
Aku
tergabung dengan kelompok yang dipimpin oleh Rossa. Dia alumni UI, memiliki
nilai tertinggi di pre- test kita sebelumnya. Selain itu, dalam kelompok kami
ada Bg Ade dan Niko. Kami sering bertemu di lantai dasar dan beranjak ke rumah Bg
Ade untuk belajar. Aku merasakan kemampuan speaking ku terasah cukup baik
ketika bergabung dengan mereka. Karena setiap pertemuan kami menggunakan bahasa
inggris sebagai alat berkomunikasi, meski tidak sepanjang waktu belajar. Mereka
memiliki kemauan yang tinggi dalam belajar dan memiliki niat yang kuat untuk
mencapai target skor TOEFL yang dipersyaratakan LPDP. Diskusi yang kami lakukan
memang tidak setiap hari, karena belakangan kami juga memiliki kesibukan
masing-masing. Tapi setidaknya, aku mengetahui kepada siapa yang lebih cocok
untuk bertanya mengenai kesulitan yang ku hadapi dalam pembelajaaran, selain
instrukutur dan dosen-dosen di kelas, tentunya kepada mereka.
(Bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar