Mengapa Ada Aksi 212? - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Sabtu, 03 Desember 2016

Mengapa Ada Aksi 212?



Sebagian besar media menilai bahwa kemarahan umat Islam terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bermula pada ucapannya terhadap surat Al- Maidah ayat 51 di Kepuluan Seribu pada tanggal 27 September 2016 lalu, tapi sebenarnya bukanlah demikian adanya. Umat Islam sudah lama merasa terusik oleh Ahok jauh sebelum peristiwa itu terjadi. Dimulai dari ucapan-ucapannya yang frontal, berupa hujatan, makian, dan kata-kata jelek lainnya, hingga kebijakan yang diterapkannya terkesan oleh masyarakat hanya menguntungkan pengusaha besar. Sementara itu masyarakat Jakarta menengah ke bawah semakin tersingkirkan karena aneka bentuk penggusuran tanpa usaha persuasif.

Puncak dari semua itu, terlontar lah kalimat yang menggemparkan muslim tanah air dari mulut seorang Ahok. Mungkin pada saat itu, ia menganggap bahwa perkataan itu biasa saja sebagaimana selama ini dia telah berkata-kata serampangan, tapi faktanya tidak lah demikian. Beberapa saat setelah video yang mengandung ucapan itu diunggah oleh Buny Yanny di dunia maya dan tersebar secara masif, sontak sebagian umat Islam yang merasa agamanya telah dilecehkan bereaksi keras.

Melihat fenomena tersebut, ulama yag diwakili MUI menyelidiki dan menonton video tersebut, yang bermuara pada keluarnya fatwa, dengan kesimpulan bahwa Ahok telah menghina Alquran dan ulama. Menanggapi hal tersebut berbagai Ormas Islam melaporkan pada kepolisian atas kasus penghinaan tersebut, salah satunya adalah FPI yang dikenal selama ini sebagai ormas paling vokal terhadap penegakkan nahi munkar.

Isu itu terus menggelinding ibarat bola api panas, yang menyentuh aspek keberagamaan masyarakat. Memang tidak bisa dipungkiri, isu ini juga dimanfaatkan oleh pihak politik, terutama lawan-lawan Ahok di pemilukada Jakarta. Namun sebenarnya, yang paling merasa tersinggung dalam hal ini adalah muslim mayoritas, mereka tidak terima agamanya dilecehkan oleh non muslim. Ahok telah melompat pagar dengan membahas apa yang bukan domainnya. Maka mulailah di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia menggalang aksi massa, protes untuk diprosesnya Ahok secara hukum, dan ditangkap karena penghinaan tersebut. Aksi tersebut dikenal dengan Aksi Bela Islam (ABI) yang diprakarsai oleh himpunan ormas-ormas Islam yang menamakan diri mereka Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI.

Aksi Bela Islam 1 terjadi pada tanggal 14 oktober 2016, diikuti oleh puluhan ribu umat muslim tanah air di balai kota Jakarta. Tuntutan mereka tetap sama, namun sekali lagi kepolisian dinilai terlalu lambat menanggapi aksi tersebut. Aksi ini berjalan damai dan tidak sampai pada malam hari, karena mereka sudah membubarkan diri pada sore hari.

Setelah aksi bela Islam pertama, tidak ada perubahan signifikan terhadap penegakan hukum pada Ahok. Bahkan terkesan kepolisian berjalan sangat lamban dalam menyelidikinya. Ahok belum juga ditetapkan sebagai tersangka. Selama ini polisi meminta fatwa kepada MUI jika ada pelaporan penistaan agama, dan langsung menahan yang bersangkutan ketika MUI memfatwakan bahwa seseorang tersebut menistakan agama. Pada kasus ini masyarakat merasa ada keganjilan. Umat muslim melihat kasus ini berupa benda asing yang tak tesentuh, seolah-olah ada kekuatan lain yang besar melindunginya. Polisi tidak bergeming, belum juga menetapkan Ahok sebagai tersangka.

Menanggapi hal tersebut, GNPF MUI memutuskan untuk melakukan aksi bela Islam 2. Aksi ini ditujukan kepada presiden Joko Widodo, yang dianggap memiliki otoritas untuk memerintahkan polri dalam mempercepat proses hukum. Pada tanggal 4 November 2016 aksi pun digelar. Aksi diikuti oleh ratusan ribu muslim tanah air dengan tuntutan yang sama, tangkap Ahok. Aksi berupa long march dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara dan dilaksanakan setelah shalat Jumat. Lautan massa tersebut tidak ditemui Jokowi, karena dia lebih memilih untuk bertahan di bandara karena ada proyek.

Pada awalnya aksi berjalan sangat lancar dan damai, namun ketika aksi bubar pada maghrib, ada pihak-pihak yang memancing di air keruh. Setelah isya, terjadi kekacauan di tempat aksi dengan pembakaran mobil polisi. Polisi pun sampai menembakkan gas air mata. Sementara itu di beberapa tempat di Jakarta pun ada kekacauan yang ditunggangi oleh beberapa oknum. Hingga malam hari pemerintah mulai panik, Jokowi yang sudah pulang dari proyek bandara, mengadakan rapat tengah malam dengan anggota kabinetnya.

Dini hari Jokowi mengadakan konferensi pers dan menegaskan sekali lagi bahwa dia tidak mengintervensi atau memberi dukungan terhadap Ahok dan menegaskan mendesak polisi untuk menanganinya secara cepat. Sebelumnya JK yang menerima peserta aksi pada sore hari, menjanjikan bahwa dalam dua minggu akan diberi kejelasan kasus Ahok, apakah dia tersangka atau tidak. Sangat nampak kepanikan istana terhadap hal ini. Setelah aksi bela Islam 2, Jokowi rajin bersafari kepada ulama. Dia bahkan mengundang beberapa pimpinan ormasa Islam ke istana untuk mendinginkan situasi. Berkali-kali Jokowi menegaskan dalam setiap kesempatan bahwa dia tidak melindungi Ahok.

Pada tanggal 16 November 2016 kepolisian menetapkan Ahok sebagai tersangka. Setelah mendatangkan dan memeriksa beberapa orang saksi, baik dari saksi ahli, saksi pihak terlapor, maupun saksi pihak pelapor. Keputusan ini membuat lega umat Islam karena kedamaian bangsa ini dapat dilanjutkan. Namun ada suatu yang ganjil terasa bagi sebagian besar masyarakat. Ahok tersangka tapi dia tidak ditangkap sebagaimana kasus-kasus serupa yang menimpa penista agama. Rasa tidak adil itu kembali muncul dan memantik aksi protes di sejumlah tanah air. Beberapa alasan disampaikan oleh polri mengapa tak menahan Ahok, tapi tidak memenuhi rasa keadilan bagi umat Islam.

Berkaitan dengan hal tersebut, GNPF MUI mengumumkan akan ada aksi bela Islam 3 pada tanggal 2 Desember 2016. Sontak hal ini membuat polri kalang kabut dan kebakaran jenggot. Beberapa isu dituduhkan berkaitan dengan demo mendatang. Mulai dari isu makar, pelarangan bus untuk mengangkut peserta demo, hingga penyebaran selebaran-selebaran untuk melarang aksi. Masyarakat tercengang, sebagian masyarakat berkomentar bahwa kita telah kembali pada zaman Orba. Padahal aksi damai dijamin oleh undang-undang karena menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak masyarakat demokrasi. Semakin ditekan, semakin kuat aroma protes umat Islam terhadap kepolisian dan pemerintah. Protes melalui media sosial tidak terbendung, membentuk opini publik bahwa kepolisian telah keluar ranah, karena mengekang kebebasan masyarakat. Beberapa anggota dewan perwakilan rakyat bereaksi keras terhadap keputusan polisi tersebut.

Akhirnya melalui inisiatif ulama-ulama kharismatik, dirancang lah dialog antara GNPF MUI dengan kapolri yang mewakili kepolisian. Pembicaraan berlangsung tertutup di kantor MUI pusat. Setelah pembicaraan selesai, diperoleh beberapa kesepakatan antara polri dan GNPF MUI. Initinya, polisi menyetujui aksi, tidak menghalang-halangi aksi dalam bentuk apa pun, aksi tidak berupa long march melainkan berupa zikir da do`a bersama di Monas, dan tuntutan tetap sama “penjarakan Ahok”.

Kumandang aksi terdengar seantero negeri. Umat Islam di berbagai daerah menyambut seruan ini dengan ikut berpartisipasi datang ke Jakarat dengan berbagai cara, baik menggunakan pesawat, kapal laut, angkot, bahkan ada yang berjalan kaki (rombongan dari Ciamis). Tidak kurang dari satu juta umat Islam yang hadir dan berkumpul di monas dan sekitarnya. Jakarta telah memutih oleh umat Islam yang dipimpin oleh ulama, habaib, dan kiyai-kiyai pesantren. Dunia tercengang dalam peristiwa ini, karena ini merupakan peristiwa dahsyat dengan massa shalat jumat terramai abad ini. Aksi ini dimulai dari shalat subuh berjamaah di Istiqlal dan ditutup dengan shalat juma`t bersama di Monas. Shalat jumat di sini juga diikuti oleh presiden dan wakil presiden yang datang last minute sebelum azan dikumandangkan. Sementara khatib diambil alih langsung Habib Riziek Shihab, imam besar FPI dan juga berperan ketua dewan pembina GNPF MUI.

Dari aksi bela Islam 1, 2, dan 3, umat Islam tetap menyuarakan suara yang sama, yaitu: tangkap Ahok si penista agama. Namun hingga saat ini Ahok masih melenggang santai di Rumah Lembang, meskipun berkas telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan. Akan kah energi bangsa ini habis terkuras karena seorang Ahok? Apakah akan ada aksi bela Islam 4 dan seterus-seterusnya? Mari kita lihat, sejarah akan mencatat perjalanan bangsa ini. Kalau pemerintah tidak bijak menanggapi isu sensitifi ini (karena ini masalah hati umat yang terluka), bisa jadi kasus ini akan memantik  api revolusi yang lebih panas, yang mengarah pada mosi tidak percaya pada presiden (pemerintah) dan berujung pada kejatuhan yang lebih besar.

Sumber Foto: Republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar