ARAB, CHINA, INDIA, DAN EROPA, SALAHNYA DI MANA? - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Senin, 16 Januari 2017

ARAB, CHINA, INDIA, DAN EROPA, SALAHNYA DI MANA?

Jika ditinjau fenomena dunia maya saat ini makin memprihatinkan dan jauh dari ranah untuk mencerdaskan. Berbagai ujaran kebencian dilontarkan, mulai dari orang yang mengklaim dirinya sebagai tokoh nasional hingga anak kemarin sore yang baru tahu bagaimana cara membuka facebook dengan ikut membuat status atau statement kontroversial. Semua mereka seolah siap menjadi pakar dalam topik apa pun di media sosial meski kualifikasi tidak memenuhi sama sekali, sehingga menyulut suasana panas dan tidak dijumpai titik temunya. Apa lagi masalah yang berkaitan dengan suku dan agama, bagian ini merupakan hal yang paling sensitif dan sangat rentan memicu perpecahan di kalangan netizens.

Sebagaimana tulisan sebelumnya saya telah mengulas mengenai peristiwa Aksi Bela Islam 212 terkait penistaan agama oleh Ahok. Saya menyimpulkan bahwa Ahok dituntut bukan karena ia seorang Nasrani tapi karena kalimatnya yang melecehkan agama Islam. Pada kesempatan ini saya akan mengulas mengenai suku bangsa dan kaitannya dengan Islam dan keindonesiaan.


Sebagai seorang muslim dan sepanjang pengetahuan saya, agama Islam menjunjung tinggi perdamaian dan toleransi pada siapa pun dan apa pun agama serta sukunya, sepanjang mereka memiliki keinginan yang sama dalam menjaga ketertiban. Bahkan sebenarnya melecehkan orang lain berdasarkan kebencian terhadap suku bangsanya adalah dosa besar menurut saya. Mengapa? Karena hal itu sama dengan melecehkan Allah dengan menghina ciptaan-Nya. Dalam pandangan Islam, Allah adalah satu-satunya Dzat yang menciptakan langit dan bumi dan segala sesuatu hal yang ada di dalamnya. Termasuk pada aspek pengaturan rezki, jodoh, maut, serta kelahiran setiap nyawa umat manusia. Allah lah yang menciptakan keberagaman warna kulit, bahasa, dan bentuk postur tubuh manusia. Semua terjadi atas kehendak dan hak perogratif-Nya. Maka apakah kita layak, sebagai seorang yang hanya bisa menangis saat dilahirkan, mengomentari kuasa-Nya tersebut?

Tidak ada seorang bayi pun me-request sebelum dilahirkan untuk dijadikan keturunan Arab, China, India, atau pun Eropa. Allah takdirkan setiap anak yang lahir di bumi persada Indonesia ini melalui proses pengendapan air mani dalam sel telur seorang wanita (ibu kita) dan berubah menjadi makhluk baru. Kita dituntut untuk menjadi khalifah di muka bumi, yang artinya bertanggung jawab dalam usaha perdamaian dan menegakkan keadilan. Maka tidak lah adil jika kita mendeskreditkan orang lain berdasarkan suku dan warna kulitnya.

Padahal fakta sejarah telah membuktikan bahwa suatu negara yang hidup di dalamnya bangsa yang beragam akan memicu kemajuan dan pola baru dalam perdaban modern. Lihat saja, Amerika pada tahun-tahun awal mereka, dihuni oleh Indian dan Eskimo, yang hanya dijadikan tempat pembuangan budak negro atau kulit hitam, dan orang-orang yang tidak berguna di Eropa. Namun seiring dengan berjalannya waktu, orang-orang Asia mulai berdatangan, turut membangun komunitas-komunitas baru dalam cengkraman kolonial Inggris. Islam dengan semangat dakwah yang merupakan perintah suci agama, juga turut hadir dalam pendirian awal benua itu. Sementara Yahudi yang dikenal dengan bangsa yang tidak pernah memiliki tanah air, juga memilih untuk menetap jadi warga di sana. Orang-orang putih yang mulai merasa iklim Eropa sudah berubah, ingin memulai petualangan di dunia baru juga turut mewarnai Amerika.

Semua mereka memiliki perasaan yang sama-sama menderita di bawah kolonialisasi Inggris, sehingga mereka bersatu padu untuk merebut kemerdekaan dan meraih kebebasan. Keberagaman tersebut membawa persaingan yang positif. Setiap bangsa ingin menunjukkan bahwa diri mereka punya keunggulan dan ingin meningkatkan taraf hidup komunitasnya. Lapangan kerja terbuka, universitas didirikan, riset disemarakkan, teknologi menjadi prioritas, ekonomi berjalan dengan bebas, dan kehidupan sosial masyarakat mengacu pada identitas yang baru yaitu, Amerika.

Indonesia bagaimana? Kita masih disibukkan dengan mengurus hal-hal kecil yang sebenarnya mudah diatasi jika pemerintah memiliki komitmen untuk menegakkan keadilan. Mustahil persatuan bisa ditegakkan tanpa adanya keadilan. Jika ingin menjadi bangsa yang harmonis, adili ulat bulu yang membawa kekacauan, sehingga bisa menyelamatkan hal yang lebih besar, yaitu integritas nasional. Jangan biarkan masalah penistaan berlarut-larut sehingga memicu konflik horizontal yang lebih luas.
  
Etnis-etnis keturunan harus diberikan hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara ketika mereka memilih untuk menjadi Indonesia. Artinya, jika ada di antara mereka yang merusak dengan memecah belah bangsa, kita membenci perbuatan individunya, bukan pada etnisnya secara keseluruhan. Mereka juga harus tunduk pada Pancasila yang merupakan filosofis bangsa Indonesia, dan tidak bertentangan sama sekali dengan ajaran agama apa pun di Indonesia, terutama Islam. Jika ada orang China mengajak komunitasnya memilih pemimpin keturunan China, itu tidak salah. Begitu pun sebaliknya, jika ada ulama Islam menghimbau umat Islam untuk memilih pemimpin muslim karena memilih pemimpin beda agama adalah haram, itu tidak salah, karena memang begitulah aturannya. Hal itu akan menjadi salah jika ajaran satu agama dipaksakan kepada pemeluk agama lain atau kita mengaggap etnis lain rendahan dan tidak diperlakukan secara manusiawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar