Jika
ditinjau fenomena dunia maya saat ini makin memprihatinkan dan jauh dari ranah
untuk mencerdaskan. Berbagai ujaran kebencian dilontarkan, mulai dari orang
yang mengklaim dirinya sebagai tokoh nasional hingga anak kemarin sore yang
baru tahu bagaimana cara membuka facebook dengan ikut membuat status atau
statement kontroversial. Semua mereka seolah siap menjadi pakar dalam topik apa
pun di media sosial meski kualifikasi tidak memenuhi sama sekali, sehingga
menyulut suasana panas dan tidak dijumpai titik temunya. Apa lagi masalah yang
berkaitan dengan suku dan agama, bagian ini merupakan hal yang paling sensitif dan
sangat rentan memicu perpecahan di kalangan netizens.
Sebagaimana
tulisan sebelumnya saya telah mengulas mengenai peristiwa Aksi Bela Islam 212
terkait penistaan agama oleh Ahok. Saya menyimpulkan bahwa Ahok dituntut bukan
karena ia seorang Nasrani tapi karena kalimatnya yang melecehkan agama Islam.
Pada kesempatan ini saya akan mengulas mengenai suku bangsa dan kaitannya
dengan Islam dan keindonesiaan.
Sebagai
seorang muslim dan sepanjang pengetahuan saya, agama Islam menjunjung tinggi
perdamaian dan toleransi pada siapa pun dan apa pun agama serta sukunya,
sepanjang mereka memiliki keinginan yang sama dalam menjaga ketertiban. Bahkan sebenarnya
melecehkan orang lain berdasarkan kebencian terhadap suku bangsanya adalah dosa
besar menurut saya. Mengapa? Karena hal itu sama dengan melecehkan Allah dengan
menghina ciptaan-Nya. Dalam pandangan Islam, Allah adalah satu-satunya Dzat yang
menciptakan langit dan bumi dan segala sesuatu hal yang ada di dalamnya. Termasuk
pada aspek pengaturan rezki, jodoh, maut, serta kelahiran setiap nyawa umat
manusia. Allah lah yang menciptakan keberagaman warna kulit, bahasa, dan bentuk
postur tubuh manusia. Semua terjadi atas kehendak dan hak perogratif-Nya. Maka apakah
kita layak, sebagai seorang yang hanya bisa menangis saat dilahirkan, mengomentari
kuasa-Nya tersebut?
Tidak
ada seorang bayi pun me-request
sebelum dilahirkan untuk dijadikan keturunan Arab, China, India, atau pun Eropa.
Allah takdirkan setiap anak yang lahir di bumi persada Indonesia ini melalui
proses pengendapan air mani dalam sel telur seorang wanita (ibu kita) dan
berubah menjadi makhluk baru. Kita dituntut untuk menjadi khalifah di muka
bumi, yang artinya bertanggung jawab dalam usaha perdamaian dan menegakkan
keadilan. Maka tidak lah adil jika kita mendeskreditkan orang lain berdasarkan
suku dan warna kulitnya.
Padahal
fakta sejarah telah membuktikan bahwa suatu negara yang hidup di dalamnya
bangsa yang beragam akan memicu kemajuan dan pola baru dalam perdaban modern. Lihat
saja, Amerika pada tahun-tahun awal mereka, dihuni oleh Indian dan Eskimo, yang
hanya dijadikan tempat pembuangan budak negro atau kulit hitam, dan orang-orang
yang tidak berguna di Eropa. Namun seiring dengan berjalannya waktu,
orang-orang Asia mulai berdatangan, turut membangun komunitas-komunitas baru
dalam cengkraman kolonial Inggris. Islam dengan semangat dakwah yang merupakan
perintah suci agama, juga turut hadir dalam pendirian awal benua itu. Sementara
Yahudi yang dikenal dengan bangsa yang tidak pernah memiliki tanah air, juga
memilih untuk menetap jadi warga di sana. Orang-orang putih yang mulai merasa
iklim Eropa sudah berubah, ingin memulai petualangan di dunia baru juga turut
mewarnai Amerika.
Semua
mereka memiliki perasaan yang sama-sama menderita di bawah kolonialisasi Inggris,
sehingga mereka bersatu padu untuk merebut kemerdekaan dan meraih kebebasan. Keberagaman
tersebut membawa persaingan yang positif. Setiap bangsa ingin menunjukkan bahwa
diri mereka punya keunggulan dan ingin meningkatkan taraf hidup komunitasnya. Lapangan
kerja terbuka, universitas didirikan, riset disemarakkan, teknologi menjadi
prioritas, ekonomi berjalan dengan bebas, dan kehidupan sosial masyarakat
mengacu pada identitas yang baru yaitu, Amerika.
Indonesia
bagaimana? Kita masih disibukkan dengan mengurus hal-hal kecil yang sebenarnya
mudah diatasi jika pemerintah memiliki komitmen untuk menegakkan keadilan. Mustahil
persatuan bisa ditegakkan tanpa adanya keadilan. Jika ingin menjadi bangsa yang
harmonis, adili ulat bulu yang membawa kekacauan, sehingga bisa menyelamatkan
hal yang lebih besar, yaitu integritas nasional. Jangan biarkan masalah
penistaan berlarut-larut sehingga memicu konflik horizontal yang lebih luas.
Etnis-etnis keturunan
harus diberikan hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara ketika mereka
memilih untuk menjadi Indonesia. Artinya, jika ada di antara mereka yang
merusak dengan memecah belah bangsa, kita membenci perbuatan individunya, bukan
pada etnisnya secara keseluruhan. Mereka juga harus tunduk pada Pancasila yang
merupakan filosofis bangsa Indonesia, dan tidak bertentangan sama sekali dengan
ajaran agama apa pun di Indonesia, terutama Islam. Jika ada orang China mengajak
komunitasnya memilih pemimpin keturunan China, itu tidak salah. Begitu pun
sebaliknya, jika ada ulama Islam menghimbau umat Islam untuk memilih pemimpin
muslim karena memilih pemimpin beda agama adalah haram, itu tidak salah, karena
memang begitulah aturannya. Hal itu akan menjadi salah jika ajaran satu agama
dipaksakan kepada pemeluk agama lain atau kita mengaggap etnis lain rendahan
dan tidak diperlakukan secara manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar