Teori
fungsionalisme atau fungsional struktural berkembang pada tahun 1940-1950-an,
dan dianggap sebagai standard theory yang banyak diikuti oleh pakar sosiologi.
Emile Durkheim dan Max Weber dianggap sebagai inspirator fungsional struktural.
Durkheim menganggap bahwa masyarakat adalah totalitas organis dengan
realitasnya masing-masing yang mempunyai sejumlah keperluan dan fungsi yang
harus dipenuhi sehingga masyarakat tetap sustainable (Susdiyanto, 2009:
27). Teori ini cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan
dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum
(Rasyid: 2015:11). Secara ringkas teori fungsionalisme memiliki arti bahwa
masyarakat memiliki bagian-bagian (struktur) dimana masing-masing bagian
memiliki fungsi tersendiri dalam memberikan sumbangan pada kemajuan dalam
masyarakat tersebut. Jika satu unsur tidak berfungsi dengan baik maka akan
menimbulkan pengaruh yang tidak baik pula pada unsure-unsur yang lainnya.
Masing-masing bagian tersebut mempunya tanggung jawab tersendiri dalam
melakukan tugasnya, sehingga dinamika masyarakat terus berjalan menuju
perkembangannya.
Di Amerika teori
ini berkembang melalui jalur Talcot Parsons dan Robert Merton. Teori ini
berpendapat bahwa masyarakat suatu sistem yang diibaratkan seperti tubuh yang
terdiri atas bagian-bagian yang saling berkait, menyatu antara satu dengan yang
lainnya dan masing-masing mempunyai peran (Ritzer, 2009: 25). Hal ini mengumpamakan
struktur dalam masyarakat seperti tubuh manusia, semua bagian tubuh berperan
menurut fungsinya masing-masing untuk melaksanakan tugasnya dalam menjaga
keseimbangannya dalam melakukan aktiviti-aktiviti kehidupan. Sehingga kerusakan
pada suatu bagian mengakibatkan terganggunya bagian yang lain. Bisa disimpulkan
bahwa teori ini menitikberatkan integrasi dan saling ketergantungan antara
struktur-struktur yang ada dalam masyarakat.
B. Perkembangan
Secara aplikatif
dan sederhana, Bernard mengemukakan contoh analogi teori fungsionalisme,
seperti: untuk menganalisis bisinis penerbangan perlu dilihat secara
fungsional. Bisinis penerbangan itu terdiri dari berbagai elemen, seperti
pesawat, pilot, pramugari, penjual tiket, mekanik, penumpang, penjaga menara,
karyawan dan sebagainya. Bisnis penerbangan tersebut akan berjalan dengan
lancar jika semua elemen bekerja sesuai fungsinya (Raho: 48). Fungsi-fungsi
yang dilakukan dengan baik oleh setiap elemen akan membawa perubahan secara
keseluruhan dalam sistem sosial. Masing-masing memiliki peran tersendiri untuk
mewujudkan tatanan yang baik dalam suato organisasi sosial kemasyarakatan.
Menurut Fakih (1999: 80-81), perubahan atau tidak berfungsinya salah satu dari
komponen tersebut akan mengakibatkan kemacetan dan ketidakseimbangan.
Teori ini
mempunyai asumsi bahwa setiap struktur dalam sosial, fungsional terhadap yang
lainnya. Fungsi merupakan akibat-akibat yang dapat diamati menuju adaptasi atau
penyesuaian dalam satu sistem. Fungsionalisme lebih banyak ditujukan kepada
fungsi-fungsi dibandingkan dengan motif-motif. Fungsi bersifat netral secara
ideologis, struktur sosial dapat saja memberi kontribusi terhadap pemeliharaan
fakta-fakta sosial terhadap atau sebaliknya, menimbulkan akibat yang bersifat
negatif (Muthali’in, 2001: 27). Artinya, setiap struktur saling menunjang untuk
keberlangsungan fungsi-fungsinya. Fungsi ini akan menjaga stabiliti dan
integrasi masyarakat dan ikut memelihara nilai-nilai yang menjadi kesepakatan
bersama.
Menurut teori
ini, jika terjadi konflik dalam masyarakat maka dianggap integrasi sosial dan
keseimbangan tidak berfungsi sehingga diperlukan usaha untuk segera mencarikan
solusi agar masyarakat tetap berada dalam keseimbangan (O’Dea, 1995: 3). Hal
ini menunjukkan bahwa salah satu tugas utama dari fungsi struktur dalam
masyarakat adalah menjaga keseimbangan. Keseimbangan akan berlangsung jika
setiap fungsi berjalan dengan semestinya.
Salah satu karya
yang terkenal dari fungsionalisme adalah teori tentang stratifikasi sosial.
Stratifikasi sosial dianggap sebagai suatu kenyataan universal untuk
mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat (Langer, 2005: 107). Stratifikasi
yang dimaksud bukan individu-individu tetapi posisi yang mengandung prestise
yang bervariasi di dalam masyarakat, sehingga memotivasi masyarakat dan
menempatkan orang sesuai dengan posisi dalam sistem stratifikasi tersebut
(Syarbaini dan Rusdiyanta, 2009: 53).
Lebih lanjut,
teori ini menekankan pada fungsi peran dari struktur sosial yang didasarkan
pada konsensus dalam suatu masyarakat. Struktur itu sendiri berarti suatu
sistem yang terlembagakan dan saling berkaitan. Adapun kaitannya dengan
pendidikan, Talcot Parson, mempunyai pandangan terhadap fungsi sekolah
diantaranya: (1) Sekolah sebagai sarana sosialisasi. Sekolah mengubah orientasi
kekhususan ke universalitas salah satunya yaitu mainset selain mewarisi budaya
yang ada juga membuka wawasan baru terhadap dunia luar. Selain itu juga
mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang diperoleh bukan dengan usaha seperti
hubungan darah, kerabat dekat dan seterusnya) ke peran dewasa yang diberikan
penghargaan berdasarkan prestasi yang sesungguhnya; (2) Sekolah sebagai seleksi
dan alokasi, sekolah memberikan motivasi-motivasi prestasi agar dapat siap
dalam dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi mereka yang unggul; dan (3)
Sekolah memberikan kesamaan kesempatan. Suatu sekolah yang baik pastinya
memberikan kesamaan hak dan kewajiban tanpa memandang siapa dan bagaimana asal
usul peserta didiknya (Wulandari, 2009: 174-176).
C. Contoh-Contoh Penerapan Teori Fungsionalisme
1)
Dalam
masyarakat
Dalam masyarakat
Minangkabau ada istilah “Tungku Tigo
Sajarangan” (tiga unsur kepemimpinan), yang terdiri dari ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai.
Ketiga unsur ini memiliki peran strategis dalam masyarakat dan saling
berintegrasi satu dengan yang lainnya menjalankan peran (fungsi) mereka. Ninik mamak berperan menjaga stabilitas
kaumnya, dihormati sebagai simbol dalam kelompoknya, memutuskan perkara adat
dan hukum kemasyarakatan, dan mengayomi masyarakat untuk menerapkan dan
mewarisi hukum-hukum adat mereka. Alim
ulama dikenal berperan sebagai tokoh panutan di bidang agama, memberi fatwa
tentang halal dan haram, memimpin upacara keagamaan, menjelaskana tata cara
peribadatan, dan memutuskan perkara berdasarkan hukum syariat Islam. Cadiak pandai berperan sebagai seorang
tokoh intelek di masyarakat, dia berpikiran progresif dan maju, memberikan
solusi-solusi penting atas permasalahan masyarakat, aktif menyuarakan kebenaran
dari sisi akademik, dan memiliki analitis kritis terhadap isu yang berkembang dalam
masyarakat. Kepemimpinan tiga unsur ini memiliki peran penting dalam masyarakat
Minangkabau, melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki karakter kuat, beriman, dan
berwawasan global.
2)
Dalam
pendidikan
Secara sederhana
teori fungsionalisme bisa dilihat dari prilaku dan tugas dari masing-masing
unsur di sekolah. Kepala sekolah tentunya memastikan bahwa pentadbiran berjalan
dengan semestinya, sebagai leader di sekolah memiliki wewenang penuh dalam hal:
perancangan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengevaluasian pada sekolah
yang dia pimpin. Selain itu dia merupakan pengambil kebijakan dan bertanggung
jawab atas kemajuan sekolah. Guru berperan sebagai tenaga pendidik yang berperan
penting dalam merancang dan melaksanakan materi, strategi, dan metode
pengajaran yang relevan, sehingga
meningkatkan prestasi murid-murid. Sementara murid bertugas untuk datang ke
sekolah dan mentaati peraturan yang ada, memiliki semangat belajar untuk
kemajuan di masa hadapan, dan menjaga nama baik sekolah dengan tidak mengikuti
perkelahian dalam sekolah mahupun dengan murid-murid sekolah lainnya.
Rujukan
Fakih, Mansour.
(1999). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Langer, Beryl.
(2005). “Emile Durkheim” dalam Peter Beilharz, ed. “Social Theory: A Guide to Central Thinkers”. Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, Teori-teori Sosial:
Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Muthali’in,
Achmad. (2001) Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
O’Dea, Thomas F.
(1995). “The Sociology of Religion”.
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Yasogama. Sosiologi Agama: Suatu
Pengantar. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada.
Raho, Bernard.
(2007). Teori Sosiologi Moderen. Jakarta: Prestasi Pustakarya.
Rasyid, M. R. (2015). Pendidikan dalam Perspektif Teori Sosiologi. Auladuna, 2(2), 274-286.
Ritzer. (2009). “Sociology: A Multiple Paradigma Science”.
Diterjemahkan oleh Alimandan. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Susdiyanto.
(2009). Orang Jawa di Tanah Sabrang: Sistem Sosial Komunitas Jawa di Kantong
Kolonisasi Wonomulyo. Jakarta: Pustaka Mapan.
Syarbaini,
Syahrial dan Rusdiyanta (2009). Dasar-dasar Sosiologi. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Wulandari, Dewi.
(2009). Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar