TEORI FUNGSIONALISME DALAM SOSIOLOGI - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Senin, 13 Maret 2017

TEORI FUNGSIONALISME DALAM SOSIOLOGI


A. Pendahuluan
Teori fungsionalisme atau fungsional struktural berkembang pada tahun 1940-1950-an, dan dianggap sebagai standard theory yang banyak diikuti oleh pakar sosiologi. Emile Durkheim dan Max Weber dianggap sebagai inspirator fungsional struktural. Durkheim menganggap bahwa masyarakat adalah totalitas organis dengan realitasnya masing-masing yang mempunyai sejumlah keperluan dan fungsi yang harus dipenuhi sehingga masyarakat tetap sustainable (Susdiyanto, 2009: 27). Teori ini cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum (Rasyid: 2015:11). Secara ringkas teori fungsionalisme memiliki arti bahwa masyarakat memiliki bagian-bagian (struktur) dimana masing-masing bagian memiliki fungsi tersendiri dalam memberikan sumbangan pada kemajuan dalam masyarakat tersebut. Jika satu unsur tidak berfungsi dengan baik maka akan menimbulkan pengaruh yang tidak baik pula pada unsure-unsur yang lainnya. Masing-masing bagian tersebut mempunya tanggung jawab tersendiri dalam melakukan tugasnya, sehingga dinamika masyarakat terus berjalan menuju perkembangannya.

Di Amerika teori ini berkembang melalui jalur Talcot Parsons dan Robert Merton. Teori ini berpendapat bahwa masyarakat suatu sistem yang diibaratkan seperti tubuh yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkait, menyatu antara satu dengan yang lainnya dan masing-masing mempunyai peran (Ritzer, 2009: 25). Hal ini mengumpamakan struktur dalam masyarakat seperti tubuh manusia, semua bagian tubuh berperan menurut fungsinya masing-masing untuk melaksanakan tugasnya dalam menjaga keseimbangannya dalam melakukan aktiviti-aktiviti kehidupan. Sehingga kerusakan pada suatu bagian mengakibatkan terganggunya bagian yang lain. Bisa disimpulkan bahwa teori ini menitikberatkan integrasi dan saling ketergantungan antara struktur-struktur yang ada dalam masyarakat.

B.  Perkembangan
Secara aplikatif dan sederhana, Bernard mengemukakan contoh analogi teori fungsionalisme, seperti: untuk menganalisis bisinis penerbangan perlu dilihat secara fungsional. Bisinis penerbangan itu terdiri dari berbagai elemen, seperti pesawat, pilot, pramugari, penjual tiket, mekanik, penumpang, penjaga menara, karyawan dan sebagainya. Bisnis penerbangan tersebut akan berjalan dengan lancar jika semua elemen bekerja sesuai fungsinya (Raho: 48). Fungsi-fungsi yang dilakukan dengan baik oleh setiap elemen akan membawa perubahan secara keseluruhan dalam sistem sosial. Masing-masing memiliki peran tersendiri untuk mewujudkan tatanan yang baik dalam suato organisasi sosial kemasyarakatan. Menurut Fakih (1999: 80-81), perubahan atau tidak berfungsinya salah satu dari komponen tersebut akan mengakibatkan kemacetan dan ketidakseimbangan.

Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap struktur dalam sosial, fungsional terhadap yang lainnya. Fungsi merupakan akibat-akibat yang dapat diamati menuju adaptasi atau penyesuaian dalam satu sistem. Fungsionalisme lebih banyak ditujukan kepada fungsi-fungsi dibandingkan dengan motif-motif. Fungsi bersifat netral secara ideologis, struktur sosial dapat saja memberi kontribusi terhadap pemeliharaan fakta-fakta sosial terhadap atau sebaliknya, menimbulkan akibat yang bersifat negatif (Muthali’in, 2001: 27). Artinya, setiap struktur saling menunjang untuk keberlangsungan fungsi-fungsinya. Fungsi ini akan menjaga stabiliti dan integrasi masyarakat dan ikut memelihara nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama.

Menurut teori ini, jika terjadi konflik dalam masyarakat maka dianggap integrasi sosial dan keseimbangan tidak berfungsi sehingga diperlukan usaha untuk segera mencarikan solusi agar masyarakat tetap berada dalam keseimbangan (O’Dea, 1995: 3). Hal ini menunjukkan bahwa salah satu tugas utama dari fungsi struktur dalam masyarakat adalah menjaga keseimbangan. Keseimbangan akan berlangsung jika setiap fungsi berjalan dengan semestinya.

Salah satu karya yang terkenal dari fungsionalisme adalah teori tentang stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial dianggap sebagai suatu kenyataan universal untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat (Langer, 2005: 107). Stratifikasi yang dimaksud bukan individu-individu tetapi posisi yang mengandung prestise yang bervariasi di dalam masyarakat, sehingga memotivasi masyarakat dan menempatkan orang sesuai dengan posisi dalam sistem stratifikasi tersebut (Syarbaini dan Rusdiyanta, 2009: 53).

Lebih lanjut, teori ini menekankan pada fungsi peran dari struktur sosial yang didasarkan pada konsensus dalam suatu masyarakat. Struktur itu sendiri berarti suatu sistem yang terlembagakan dan saling berkaitan. Adapun kaitannya dengan pendidikan, Talcot Parson, mempunyai pandangan terhadap fungsi sekolah diantaranya: (1) Sekolah sebagai sarana sosialisasi. Sekolah mengubah orientasi kekhususan ke universalitas salah satunya yaitu mainset selain mewarisi budaya yang ada juga membuka wawasan baru terhadap dunia luar. Selain itu juga mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang diperoleh bukan dengan usaha seperti hubungan darah, kerabat dekat dan seterusnya) ke peran dewasa yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasi yang sesungguhnya; (2) Sekolah sebagai seleksi dan alokasi, sekolah memberikan motivasi-motivasi prestasi agar dapat siap dalam dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi mereka yang unggul; dan (3) Sekolah memberikan kesamaan kesempatan. Suatu sekolah yang baik pastinya memberikan kesamaan hak dan kewajiban tanpa memandang siapa dan bagaimana asal usul peserta didiknya (Wulandari, 2009: 174-176).

C. Contoh-Contoh Penerapan Teori Fungsionalisme
1)   Dalam masyarakat
Dalam masyarakat Minangkabau ada istilah “Tungku Tigo Sajarangan” (tiga unsur kepemimpinan), yang terdiri dari ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai. Ketiga unsur ini memiliki peran strategis dalam masyarakat dan saling berintegrasi satu dengan yang lainnya menjalankan peran (fungsi) mereka. Ninik mamak berperan menjaga stabilitas kaumnya, dihormati sebagai simbol dalam kelompoknya, memutuskan perkara adat dan hukum kemasyarakatan, dan mengayomi masyarakat untuk menerapkan dan mewarisi hukum-hukum adat mereka. Alim ulama dikenal berperan sebagai tokoh panutan di bidang agama, memberi fatwa tentang halal dan haram, memimpin upacara keagamaan, menjelaskana tata cara peribadatan, dan memutuskan perkara berdasarkan hukum syariat Islam. Cadiak pandai berperan sebagai seorang tokoh intelek di masyarakat, dia berpikiran progresif dan maju, memberikan solusi-solusi penting atas permasalahan masyarakat, aktif menyuarakan kebenaran dari sisi akademik, dan memiliki analitis kritis terhadap isu yang berkembang dalam masyarakat. Kepemimpinan tiga unsur ini memiliki peran penting dalam masyarakat Minangkabau, melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki karakter kuat, beriman, dan berwawasan global.

2)   Dalam pendidikan
Secara sederhana teori fungsionalisme bisa dilihat dari prilaku dan tugas dari masing-masing unsur di sekolah. Kepala sekolah tentunya memastikan bahwa pentadbiran berjalan dengan semestinya, sebagai leader di sekolah memiliki wewenang penuh dalam hal: perancangan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengevaluasian pada sekolah yang dia pimpin. Selain itu dia merupakan pengambil kebijakan dan bertanggung jawab atas kemajuan sekolah. Guru berperan sebagai tenaga pendidik yang berperan penting dalam merancang dan melaksanakan materi, strategi, dan metode pengajaran  yang relevan, sehingga meningkatkan prestasi murid-murid. Sementara murid bertugas untuk datang ke sekolah dan mentaati peraturan yang ada, memiliki semangat belajar untuk kemajuan di masa hadapan, dan menjaga nama baik sekolah dengan tidak mengikuti perkelahian dalam sekolah mahupun dengan murid-murid sekolah lainnya.

Rujukan

Fakih, Mansour. (1999). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Langer, Beryl. (2005). “Emile Durkheim” dalam Peter Beilharz, ed. “Social Theory: A Guide to Central Thinkers”. Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, Teori-teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muthali’in, Achmad. (2001) Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

O’Dea, Thomas F. (1995). “The Sociology of Religion”. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Yasogama. Sosiologi Agama: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Raja Grafindo Persada.

Raho, Bernard. (2007). Teori Sosiologi Moderen. Jakarta: Prestasi Pustakarya.

Rasyid, M. R. (2015). Pendidikan dalam Perspektif Teori Sosiologi. Auladuna, 2(2), 274-286.

Ritzer. (2009). “Sociology: A Multiple Paradigma Science”. Diterjemahkan oleh Alimandan. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Susdiyanto. (2009). Orang Jawa di Tanah Sabrang: Sistem Sosial Komunitas Jawa di Kantong Kolonisasi Wonomulyo. Jakarta: Pustaka Mapan.

Syarbaini, Syahrial dan Rusdiyanta (2009). Dasar-dasar Sosiologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wulandari, Dewi. (2009). Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar