Dirgahayu Negeriku - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Kamis, 17 Agustus 2017

Dirgahayu Negeriku

Memperingati hari besar nasional ketika kita tidak sedang berada di negeri sendiri merupakan suatu hal yang akan selalu berkesan. Kecintaan pada tanah air merupakan fitrah setiap manusia karena itu merupakan tempat kedua jasad bersemayam setelah rahim ibu. Makanya tidak heran, pepatah Minang mengatakan, "satinggi-tinggi tabangnyo bangau, pulangnyo ka kubangan juo (setinggi-tinggi terbangnya bangau, maka akan kembali ke kubangan jua akhirnya". Maknanya sejauh apa pun kita pergi dari negeri asal kita pada akhirnya pasti ingin pulang. Meski kadang jasad tidak sempat pulang, berkubur di negeri orang, tapi dalam hati siapa yang tahu? Bisa jadi mereka yang tidak pulang kampung itu paling sering mengingat 'tanah tepian' mereka.

Pagi ini kami berkumpul di kampus Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, dalam rangka memperingati HUT RI ke-72 sekalian silaturrahim setelah ramadhan. Kami mahasiswa Indonesia  di sini berhimpun dalam payung PPI UPSI, yang sekarang ketuanya dijabat oleh Adnan Arafani (beliau masih di kampung). Memang yang hadir tidak terlalu ramai, tapi kami tidak menjadikan itu sebagai orientasi pertemuan, melainkan refleksi sejenak tentang nikmat kemerdekaan yang telah diraih oleh Bangsa Indonesia. Adapun yang hadir hari ini ada enam orang: Kartini (PhD TESOL), Evi Khairunnisa (Master of Islamic Economics), Cici (Master of Early Childhood Education), Lina Ade Chusmita (Master of Islamic Economics), Hana Afifah (Master of Business Management), dan saya sendiri.


Kami membuat acara yang sangat sederhana, dengan modal kertas karton dan spidol plus menyanyikan lagu-lagu wajib, tapi acara ini berlangsung dengan hikmat. Memantik kembali cita luhur keberadaan kami di negeri orang dan melakukan self evaluation tentang apa yang telah berikan dalam usaha-usaha mengisi kemerdekaan. Ketika menyanyikan lagu Indonesia raya, ada rasa yang menyeruak di dalam dada, kerinduan, cinta, perjuangan, semangat, dan keinginan tulus untuk pengabdian di negeri tercinta. Rasa haru menjadi tetesan embun di kelopak mata. Meski ini hanya di negeri jiran yang dekat (sama-sama tanah melayu), tapi batas passport membuat rasa itu tidak sama. Tetap dalam sudut hati dan pikiran kami tertulis Indonesia.

Saya teringat pada 10 November 2013, kami memperingati hari pahlawan di Desa Gimpo, Korea Selatan. Itu pertama kalinya saya memperingati hari besar nasional di luar Indonesia. Hanya berbekal gambar bendera yang ditunjukkan oleh layar smartphone salah seorang teman, kami menyanyikan salah satu lagu wajib, dan hampir semua kami larut dalam air mata. Kami yang berjumlah 19 orang mewakili provinsi yang sebanyak itu pula ke negeri ginseng, telah menanggalkan jubah arogansi budaya daerah yang berlebihan selama ini, menerima identitas yang sama, yaitu Indonesia. Ini lah rasa yang kuat, muncul dari suara jiwa, tentang arti cinta pada ibu pertiwi, dan itu muncul di kala kita berkumpul dengan ikatan "hubbul wathan".

Dalam rangka ulang tahun RI yang ke-72, tentu banyak hal yang telah dicapai oleh bangsa ini. Tapi kita tidak boleh lengah, selain masalah besar yang dihadapi dalam skala domain pemerintah, sebagai komponen individu yang memakai negeri ini sebagai identitas, wajiblah rasanya kita berjuang mengisi kemerdekaan dengan profesional masing-masing. Terutama kami yang sedang belajar di negeri orang, tentu kami sangat menyadari hanya dengan prestasi dan zero criminality lah yang mampu kami persembahkan. Jika ada yang mengatakan dengan sekolah mengambil program master atau level PhD, kami akan mengubah indonesia, bagi saya itu terlalu muluk dan terlalu "gadang kawik". Namun alangkah baiknya dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaan ini, kita memakai istilah Erdogan ketika dikritisi habis-habisan oleh Eropa, dia mengatakan pada barat, "know your place!". Ya, setiap kita harus kembali menyadari di mana posisi kita sesungguhnya dan berusaha meningkatkan kapasitas diri dalam hal itu. Jangan hanya heboh mengkritisi pihak lawan, sementara kerja kita terbangkalai.

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam moment ini adalah bersyukur dan menghargai setiap jasa kebaikan. Kita bersyukur atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, alam kemerdekaan bisa kita nikmati. Syukur dalam arti kita tidak hanya kita ucapka di bibir, tapi juga diyakini dengan hati, dan yang paling terpenting diaplikasikan dalam perbuatan sehari-hari. Maka berdosa besarlah orang yang tinggal di bumi merdeka tapi melalaikan perintahNya dan abai atas segala laranganNya. Sekelompok oknum meneriakkan Pancasila sampai parau suara mereka, tapi ketika adzan berkumandang mereka masih teler dengan goyang dombretnya. Pancasila adalah manifestasi hukum-hukum agama dalam kerangka ke-Indonesiaan, maka akan goblok lah orang yang membentur-benturkan agama dengan Pancasila. Karena memang tidak layak untuk dibenturkan sama sekali. Semakin taat seseorang dalam agamanya, semakin baik pemahaman Pancasila dalam dirinya.

Dalam hal menghargai jasa pendiri bangsa, kita mesti dan harus banyak belajar sejarah. Tidak penting kita kuliah di bidang apa pun. Sejatinya pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah artinya membuka tabir diri. Kesombongan dan arogansi politik akan terkikis habis jika seseorang `benar` dalam menghayati nilai sejarah. Kita hanya menumpang hidup senang di atas tetesan keringat dan darah pahlawan yang telah gugur. Apakah masih bisa dianggap manusia jika orang yang menumpang itu masih mengeruk kekayaan tempat yang ditumpanginya dengan korupsi untuk kekayaan pribadinya? Know your place!!!

Gambar1: Ibu2 para designers

Gambar2: Lagu 17 Agustus

Gambar3: Lagu Indonesia Raya

Gambar4:

Gambar5:

Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar