Kompilasi pengalaman dan pemahaman
yang diterima oleh seorang individu sejak masa kecilnya hingga usia dewasa
menentukan cara ia memandang dan menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini erat
kaitannya dengan kerangka nalar yang ditanamkan kepadanya, berasal dari didikan
orang tua, sekolah, hingga komunitas sosial tempat ia berdomisili. Selain itu
teman sebaya, bahan bacaan, dan orang-orang yang ditemui juga turut
berkontribusi membentuk simpul-simpul aliran pemikiran.
Faktor keluarga sangat penting
dalam mendidik intelegensi anak, terutama pada pola asuh dan gaya kepemimpinan
yang diterapkan oleh orang tua. Kita kerap melihat bukti, bahwa orang-orang
besar yang lahir di nusantara ini muncul dari keluarga yang berkarakter kuat.
Karakter kuat bukan berarti bapak ibu mereka memperoleh pendidikan akademik
formal yang tinggi, melainkan pemahaman mereka tentang inti sari kehidupan yang
murni, ditularkan kepada anak-anak mereka.
Mereka, para orang tua dari
orang-orang sukses tersebut, memiliki pola unik dalam mendidik anak dalam
lingkup keluarga. Salah satu bentuk nyata yang mereka terapkan adalah
kemerdekaan berpikir pada si anak. Anak di usia belia, bahkan sebelum masuk
sekolah dasar, sudah diberi kebebasan dalam menanyakan banyak hal. Mereka
belajar dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Orang tua selalu setia
menjawab, dan sadar atau tidak, hal ini terus memupuk rasa penasaran yang lebih
jauh pada si anak, sehingga mereka akan semakin banyak bertanya dan memiliki
keingina kuat untuk menemukan jawabannya.
Pikiran yang merdeka bukanlah
pemikiran yang lepas, tidak kenal batas, dan melanglang buana begitu saja,
melainkan pikiran yang bersandar pada satu-satunya pemilik kekuatan di alam
raya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang dengan pemikiran merdeka tidak memerlukan
tameng lain sebagai pelindungnya, sehingga menimbulkan keragu-raguan, tetapi
mereka sudah kokoh berdiri di atas kaki, yang langsung diberikan oleh Yang Maha
Pemberi. Orang tua menanamkan nilai ketuhanan langsung dengan mempertajam
kecerdasan pemikiran, sehingga anak sudah terbiasa berpikir logis dan rasional.
Orang tua memfasilitasi
berkembangnya pola demokratis dalam keluarga, karena anak bukanlah robot yang
bisa disuruh-suruh seenaknya, dan mereka bukan pula CCTV yang hanya bisa
merekam apa yang terjadi di sekelilingya, tanpa bisa berbuat apa-apa. Ketika
anak sudah menginjak usia remaja, komunikasi dalam keluarga harusnya semakin
intensif dan hangat. Ayah dan ibu mulai mengemukakan topik-topik yang debatable, memantik api diskusi di meja
makan, meminta pendapat dari perspektif pemikiran si anak, membudayakan
bersikap kritis namun tetap bertatakrama, dan memperkaya referensi bacaan.
Memang tidak banyak keluarga yang
melakukan ini, meski bergelar professor sekalipun, belum tentu ia bisa membangun
suasana seperti yang demikian. Sejatinya, pendidikan itu adalah membebaskan.
Membebaskan anak dari kebodohan,
membebaskan mereka dari taqlid buta
dalam beragama, dan membebaskan mereka dari ketakutan menghadapi kenyataan-kenyataan
hidup. Pemikiran yang teranglah yang akan menjadi bekal anak dalam mengenyam
hidup di masyarakat yang lebih kompleks.
Ada juga kita melihat orang dengan
pemikiran sehat, tapi berasal dari keluarga semrawut, maka bisa jadi pengaruh
teman di sekolah lah yang kuat memolesnya. Anak-anak ini sudah kehilangan figur
teladan dalam keluarganya, tetapi nasib berkata lain, Tuhan pertemukan mereka
dengan sahabat yang menguatkan, dan guru yang mencerahkan. Mereka berhimpun
dalam organisasi akdemik yang betul-betul menunjang untuk penyegaran pemikiran.
Sekolah membuka ruang diskusi terhadap hal-hal tabu yang selama ini tidak
dibicarakan dalam keluarga, sehingga ada nuansa baru yang dirasakan oleh anak
tersebut.
Salah satu contoh, suburnya
keberadaan Sekolah-sekolah Islam Terpadu (SIT) akhir-akhir ini, menjadi suatu
fenomena dalam melahirkan pemikir-pemikir baru yang terintegrasi (ilmu, iman,
dan amal). Kegagalan orang tua dapat ditambal di sekolah ini melalui
program-program yang meyehatkan. Tauhid ditanamkan bukan sekedar untuk tunduk semata,
tapi lebih jauh adalah memikirkan kekuasaan dari Sang Pencipta jagad raya.
Kurikulum diubah-suai dengan memakai standard nilai religious, sehingga anak
tidak hanya tahu hukum sebab akibat secara ilmiah, tetapi dia juga sadar
mempelajari ilmu itu juga merupakan bentuk ibadah dan ketaatan kepada Tuhan.
Bahkan penafsiran ayat-ayat Tuhan pun bisa terjawab dengan penemuan-penemuan
teknologi mutakhir yang semakin memperkuat kesehatan pemikiran mereka.
Toleransi hakiki juga diajarkan di sekolah itu, dan bisa ditarik kesimpulan
bahwa institusi yang paling baik dalam menjelaskan makna toleransi adalah
institusi yang menjunjung nilai ketuhanan.
Sementara itu jalur yang paling
luas dalam membingkai pemikiran adalah masyarakat atau komunitas. Peran tokoh
masyarakat, pemuka adat dan agama, serta pimpinan-pimpinan di pemerintahan, dan
buku-buku bacaan yang berkembang merupakan raw-input
dalam hal ini. Pemikiran yang sehat bisa dimulai dengan membaca pemikiran-pemikiran
tokoh-tokoh sentral dunia.
Kita tidak dilarang mempelajari pemikiran-pemikiran
seperti: Marxisme, Leninisme, Kapitalisme, atau isme-isme yang lainnya. Bahkan
terkesan keren sekali rasanya jika
ada orang berbicara mengutip pendapat Stalin. Tapi anehnya, ada suatu anggapan
dan klaim negatif ketika ideologi-ideologi Islam yang mengemuka, dipelajari
orang, seperti Khilafah, misalnya. Hampir semua pejabat, aparat, dan beberapa
oknum ormas, kelimpungan dan ketakutan. Apakah sebegitu buruknya pengaruh yang
ditimbulkan oleh ideologi yang lahir dari rahim Islam untuk didiskusikan dalam
internal umat Islamnya sendiri?
Dalam Tafsir Al Azhar, Buya Hamka,
seorang pemikir cerdas, kompeten, dan konsisten, hingga akhir hayat beliau,
menyebutkan umat Islam saat ini mundur bukan karena jumlah mereka yang sedikit,
bukan disebabkan tidak memiliki senjata, bukan pula karena kekurangan sumber
daya alam, tetapi disebabkan mayoritas mereka tidak menjalankan perintah
agamanya secara menyeluruh. Beliau menyindir bagaimana 13 negara Arab dikalahkan
oleh Israel. Bukan karena senjatanya yang super canggih, bukan pula karena
bantuan Amerika dan Eropa kepada Israel, melainkan kata beliau, umat Islam telah
meninggalkan senjatanya yang paling kuat, yaitu iman dan Islam.
Betapa negara-negara Arab atau
mengaku sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi enggan
menerapkan hukum Islam. Arab saat ini bukanlah cerminan negara yang menerapkan
nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. Iman dan islam itulah senjata maha
dahsyatnya kaum muslimin. Mereka bisa memenangkan Perang Badar dengan kekuatan
pasukan yang tidak sebanding dengan musuh. Mereka melenggang merebut
benteng-benteng Romawi Timur dalam sekejap mata, yang tidak bisa diserbu oleh
pasukan sekuat apa pun sebelumnya. Bahkan dua pertiga dunia pernah takluk dalam
imperium Islam. Inilah bukti bahwa ketika pemikiran Islam yang lurus
teraplikasi dengan nyata maka kejayaan dan perdamaian abadi akan tercipta.
Lihatlah sekarang, betapa banyak
orang-orang Islam, bahkan diberi gelar ulama, phobia terhadap hukum Islam. Sebagai contoh, berapa banyak negara Arab
atau negara yang mengaku mayoritas Islam yang mau mengadopsi hukum Islam tentang
pencuri atau korupsi? Dalam Islam pencuri potong tangan, tapi siapa yang
menjalankannya hari ini? Bahkan, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
memproduksi jumlah koruptor tertinggi di dunia. Lagi-lagi pengadopsian hukum
ini ditentang oleh pemikir-pemikir yang
mengaku Islam. Mereka lebih bangga menyebut nama-nama ilmuan barat dan mengkaji
hukum barat sebagai referensi analogi berpikir dalam keseharian mereka.
Namun bagi kita, yang paling sedih di atas segalanya adalah, jika kita sudah dalam usia senja pemikiran-pemikiran ini tidak kunjung sembuh bahkan semakin menjadi-jadi. Orang-orang yang alergi ketika mendengar hukum Islam, bahkan dengan teganya mengatakan itu sebagai produk Arab jahiliah yang telah usang, seketika perut kembung mendengar kata khilafah, dan nyinyir menyebarkan ajaran toleransi semu produk barat yang kebablasan. Waspadalah, semoga kita bukan satu di antara orang seperti ini kelak!
Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia.
Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar