Mendidik Pemikiran Agar Tidak Sesat di Usia Senja - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Kamis, 16 November 2017

Mendidik Pemikiran Agar Tidak Sesat di Usia Senja

Kompilasi pengalaman dan pemahaman yang diterima oleh seorang individu sejak masa kecilnya hingga usia dewasa menentukan cara ia memandang dan menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini erat kaitannya dengan kerangka nalar yang ditanamkan kepadanya, berasal dari didikan orang tua, sekolah, hingga komunitas sosial tempat ia berdomisili. Selain itu teman sebaya, bahan bacaan, dan orang-orang yang ditemui juga turut berkontribusi membentuk simpul-simpul aliran pemikiran.
Faktor keluarga sangat penting dalam mendidik intelegensi anak, terutama pada pola asuh dan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh orang tua. Kita kerap melihat bukti, bahwa orang-orang besar yang lahir di nusantara ini muncul dari keluarga yang berkarakter kuat. Karakter kuat bukan berarti bapak ibu mereka memperoleh pendidikan akademik formal yang tinggi, melainkan pemahaman mereka tentang inti sari kehidupan yang murni, ditularkan kepada anak-anak mereka.

Mereka, para orang tua dari orang-orang sukses tersebut, memiliki pola unik dalam mendidik anak dalam lingkup keluarga. Salah satu bentuk nyata yang mereka terapkan adalah kemerdekaan berpikir pada si anak. Anak di usia belia, bahkan sebelum masuk sekolah dasar, sudah diberi kebebasan dalam menanyakan banyak hal. Mereka belajar dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Orang tua selalu setia menjawab, dan sadar atau tidak, hal ini terus memupuk rasa penasaran yang lebih jauh pada si anak, sehingga mereka akan semakin banyak bertanya dan memiliki keingina kuat untuk menemukan jawabannya.
Pikiran yang merdeka bukanlah pemikiran yang lepas, tidak kenal batas, dan melanglang buana begitu saja, melainkan pikiran yang bersandar pada satu-satunya pemilik kekuatan di alam raya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang dengan pemikiran merdeka tidak memerlukan tameng lain sebagai pelindungnya, sehingga menimbulkan keragu-raguan, tetapi mereka sudah kokoh berdiri di atas kaki, yang langsung diberikan oleh Yang Maha Pemberi. Orang tua menanamkan nilai ketuhanan langsung dengan mempertajam kecerdasan pemikiran, sehingga anak sudah terbiasa berpikir logis dan rasional.
Orang tua memfasilitasi berkembangnya pola demokratis dalam keluarga, karena anak bukanlah robot yang bisa disuruh-suruh seenaknya, dan mereka bukan pula CCTV yang hanya bisa merekam apa yang terjadi di sekelilingya, tanpa bisa berbuat apa-apa. Ketika anak sudah menginjak usia remaja, komunikasi dalam keluarga harusnya semakin intensif dan hangat. Ayah dan ibu mulai mengemukakan topik-topik yang debatable, memantik api diskusi di meja makan, meminta pendapat dari perspektif pemikiran si anak, membudayakan bersikap kritis namun tetap bertatakrama, dan memperkaya referensi bacaan.
Memang tidak banyak keluarga yang melakukan ini, meski bergelar professor sekalipun, belum tentu ia bisa membangun suasana seperti yang demikian. Sejatinya, pendidikan itu adalah membebaskan. Membebaskan anak  dari kebodohan, membebaskan mereka dari taqlid buta dalam beragama, dan membebaskan mereka dari ketakutan menghadapi kenyataan-kenyataan hidup. Pemikiran yang teranglah yang akan menjadi bekal anak dalam mengenyam hidup di masyarakat yang lebih kompleks.
Ada juga kita melihat orang dengan pemikiran sehat, tapi berasal dari keluarga semrawut, maka bisa jadi pengaruh teman di sekolah lah yang kuat memolesnya. Anak-anak ini sudah kehilangan figur teladan dalam keluarganya, tetapi nasib berkata lain, Tuhan pertemukan mereka dengan sahabat yang menguatkan, dan guru yang mencerahkan. Mereka berhimpun dalam organisasi akdemik yang betul-betul menunjang untuk penyegaran pemikiran. Sekolah membuka ruang diskusi terhadap hal-hal tabu yang selama ini tidak dibicarakan dalam keluarga, sehingga ada nuansa baru yang dirasakan oleh anak tersebut.
Salah satu contoh, suburnya keberadaan Sekolah-sekolah Islam Terpadu (SIT) akhir-akhir ini, menjadi suatu fenomena dalam melahirkan pemikir-pemikir baru yang terintegrasi (ilmu, iman, dan amal). Kegagalan orang tua dapat ditambal di sekolah ini melalui program-program yang meyehatkan. Tauhid ditanamkan bukan sekedar untuk tunduk semata, tapi lebih jauh adalah memikirkan kekuasaan dari Sang Pencipta jagad raya. Kurikulum diubah-suai dengan memakai standard nilai religious, sehingga anak tidak hanya tahu hukum sebab akibat secara ilmiah, tetapi dia juga sadar mempelajari ilmu itu juga merupakan bentuk ibadah dan ketaatan kepada Tuhan. Bahkan penafsiran ayat-ayat Tuhan pun bisa terjawab dengan penemuan-penemuan teknologi mutakhir yang semakin memperkuat kesehatan pemikiran mereka. Toleransi hakiki juga diajarkan di sekolah itu, dan bisa ditarik kesimpulan bahwa institusi yang paling baik dalam menjelaskan makna toleransi adalah institusi yang menjunjung nilai ketuhanan.
Sementara itu jalur yang paling luas dalam membingkai pemikiran adalah masyarakat atau komunitas. Peran tokoh masyarakat, pemuka adat dan agama, serta pimpinan-pimpinan di pemerintahan, dan buku-buku bacaan yang berkembang merupakan raw-input dalam hal ini. Pemikiran yang sehat bisa dimulai dengan membaca pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh sentral dunia.
Kita tidak dilarang mempelajari pemikiran-pemikiran seperti: Marxisme, Leninisme, Kapitalisme, atau isme-isme yang lainnya. Bahkan terkesan keren sekali rasanya jika ada orang berbicara mengutip pendapat Stalin. Tapi anehnya, ada suatu anggapan dan klaim negatif ketika ideologi-ideologi Islam yang mengemuka, dipelajari orang, seperti Khilafah, misalnya. Hampir semua pejabat, aparat, dan beberapa oknum ormas, kelimpungan dan ketakutan. Apakah sebegitu buruknya pengaruh yang ditimbulkan oleh ideologi yang lahir dari rahim Islam untuk didiskusikan dalam internal umat Islamnya sendiri?
Dalam Tafsir Al Azhar, Buya Hamka, seorang pemikir cerdas, kompeten, dan konsisten, hingga akhir hayat beliau, menyebutkan umat Islam saat ini mundur bukan karena jumlah mereka yang sedikit, bukan disebabkan tidak memiliki senjata, bukan pula karena kekurangan sumber daya alam, tetapi disebabkan mayoritas mereka tidak menjalankan perintah agamanya secara menyeluruh. Beliau menyindir bagaimana 13 negara Arab dikalahkan oleh Israel. Bukan karena senjatanya yang super canggih, bukan pula karena bantuan Amerika dan Eropa kepada Israel, melainkan kata beliau, umat Islam telah meninggalkan senjatanya yang paling kuat, yaitu iman dan Islam.
Betapa negara-negara Arab atau mengaku sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi enggan menerapkan hukum Islam. Arab saat ini bukanlah cerminan negara yang menerapkan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. Iman dan islam itulah senjata maha dahsyatnya kaum muslimin. Mereka bisa memenangkan Perang Badar dengan kekuatan pasukan yang tidak sebanding dengan musuh. Mereka melenggang merebut benteng-benteng Romawi Timur dalam sekejap mata, yang tidak bisa diserbu oleh pasukan sekuat apa pun sebelumnya. Bahkan dua pertiga dunia pernah takluk dalam imperium Islam. Inilah bukti bahwa ketika pemikiran Islam yang lurus teraplikasi dengan nyata maka kejayaan dan perdamaian abadi akan tercipta.
Lihatlah sekarang, betapa banyak orang-orang Islam, bahkan diberi gelar ulama, phobia terhadap hukum Islam. Sebagai contoh, berapa banyak negara Arab atau negara yang mengaku mayoritas Islam yang mau mengadopsi hukum Islam tentang pencuri atau korupsi? Dalam Islam pencuri potong tangan, tapi siapa yang menjalankannya hari ini? Bahkan, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, memproduksi jumlah koruptor tertinggi di dunia. Lagi-lagi pengadopsian hukum ini ditentang oleh pemikir-pemikir  yang mengaku Islam. Mereka lebih bangga menyebut nama-nama ilmuan barat dan mengkaji hukum barat sebagai referensi analogi berpikir dalam keseharian mereka.
Namun bagi kita, yang paling sedih di atas segalanya adalah, jika kita sudah dalam usia senja pemikiran-pemikiran ini tidak kunjung sembuh bahkan semakin menjadi-jadi. Orang-orang yang alergi ketika mendengar hukum Islam, bahkan dengan teganya mengatakan itu sebagai produk Arab jahiliah yang telah usang, seketika perut kembung mendengar kata khilafah, dan nyinyir menyebarkan ajaran toleransi semu produk barat yang kebablasan. Waspadalah, semoga kita bukan satu di antara orang seperti ini kelak!


Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar