Wanita Bercadar dan Kelucuan Akademik - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Minggu, 11 Maret 2018

Wanita Bercadar dan Kelucuan Akademik

Beberapa minggu terakhir ini Indonesia dihebohkan dengan isu tentang eksistensi wanita bercadar di kampus. Gonjang ganjing masalah cadar ini dimulai dari keluarnya surat yang ditandatangani oleh rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang pelarangan wanita bercadar di kampus Islam tersebut. Surat itu juga menyatakan akan membina muslimah bercadar, agar mereka kembali ke "jalan yang benar". Hujanan komentar di berbagai media massa, media sosial, tempat pengajian, kampus-kampus, hingga ke warung-warung, membicarakan hal ini. Belakangan surat itu dicabut karena banyaknya komentar yang memojokkan kebijakan si rektor tersebut. Tapi pencabutan itu disebut oleh kampus, demi menjaga kodusifitas akademik.

Berbagai pendapat pakar dan rakyat biasa telah kita dengar dan baca, namun ada yang kita lupa dalam hal ini, bagaimana pendapat muslimah kita, mahasiswi yang bercadar ini. Kita tidak menemukan mereka berkomentar di media massa terhadap "deskriminasi" yang mereka alami. Seolah-olah mereka diperlakukan sebagai pesakitan, tahanan yang menunggu vonis hakim.

Maka dalam berbagai kesempatan, saya sering mengusulkan, terutama kepada kampus, jika ingin membuat suatu kebijakan tentang kemahasiswaan, selayaknya menjunjung etika akademik. Kampus bukanlah lembaga preman atau kediktatoran, melainkan institusi pengharapan, karena di sana logika dibina serta ditumbuhkembangkan dengan pemikiran terbuka dan bebas. Apa salahnya diadakan rapat dengar pendapat dengan si muslimah bercadar, bila perlu debat terbuka, antara kelompok yang pro dan yang kontra. Berikan mereka kesempatan untuk menyampaikan argumen, toh mereka juga bagian dari kampus yang tidak bisa dipisahkan. Tapi ini belum kita lihat di lapangan, malah birokrat kampus cenderung merasa diri sebagai pihak yang selalu benar, sehingga membunuh nalar ilmiah dan dinamika menara gading.

Menurut hemat penulis, seorang muslimah memutuskan untuk bercadar sudah melalui perjuangan keimanan yang sangat panjang. Mereka telah memilih jalan sufi, jalannya Rabiatul Adhawiyah, meninggalkan gemerlap dunia demi mencari ridho Allah. Hidup mereka diabdikan untuk meneguk sebanyak-banyaknya nikmat iman tanpa ada rasa takut sedikitpun menghadapi kerasnya dunia. Cukup bagi mereka kenikmatan ibadah untuk memberi kekuatan fisik dan non fisik. Ibadah yang tentunya tidak hanya shalat dan puasa saja, melainkan setiap gerak dan aktivitas dimaknai sebagai wujud pengabdian kepada Allah, itu juga ibadah. Mereka makan, juga ibadah, karena mereka menjaga hidup dan kesehatan yang Allah amanahkan kepada mereka. Ketahuilah, untuk menuju proses ini sangat panjang, hanya sedikit yang mampu.

Cadar merupakan simbol ketundukan. Tunduk kepada Allah, menundukkan pandangan kepada lawan jenis yang bukan mahramnya, dan menjaga pandangan orang lain untuk melihat apa yang ada pada fisiknya. Bagaimana mungkin kita membenci orang yang menjaga kita? Mereka menutup tubuhnya untuk melindungi lelaki agar tidak terjerumus pada khayalan-khayalan maksiat yang bisa menjauhkan dari lezatnya ibadah. Tidak adil bagi mereka yang bercadar kita perlakukan seperti itu, ketika yang berpakaian seksi melenggang di setiap sudut tempat dan pertelevisian kita. Goyang dangdut dengan biduan seksi ketika kampanye, kok kita diam? Miss Indonesia yang menampakkan lekuk tubuh dan aurat mereka, kok diberi apresiasi? Sementara mereka hanya minta diberi ketenangan saja, kok kita usik?

Ada alasan pedagogis katanya, yang membuat wanita bercadar dilarang di kampus. Penulis kebetulan kuliah di Master of Pedagogy, yang berkecimpung dalam hal pembelajaran, merasa lucu dengan alasan tersebut. Orang sudah mengembangkan hutagogy, sibernetik, dan online university. Dimana murid boleh berada di Amerika dan guru di kota Padang misalnya. Tidak ada mereka bertatapan langsung, tugas-tugas diberikan melalui email, tapi kemampuan mereka diakui diberi gelar akademik. Penilaian dalam pendidikan zaman sekarang bisa dideteksi melalui software internet. Akan tampak siapa yang melakukan plagiat dan yang betul-betul bekerja. Kecuali dosen di kelas memang mau cuci mata, untuk melihat wajah si mahasiswi, akan lain ceritanya.

Saya ingin menyentil juga beberapa pertanyaan seperti, jika ujian bagaimana? Bisakah kita pastikan dia tidak mencontek dan betul-betul dia yang ujian itu, bukan orang lain? Pertanyaan ini kampungan, silahkan si penanya pergi ke negeri-negeri Arab bahkan di Eropa. Di sana juga ramai wanita bercadar yang kuliah. Kira-kira bagaimana mereka mengatur sistem ujian bagi wanita bercadar. Buka wawasan, agar kita tidak ditertawakan oleh zaman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar