Pesta demokrasi merupakan hal yang lumrah terjadi setiap periode pergantian kepemimpinan di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu tahap dari rangkaian kebutuhan untuk menyempurnakan tatanan negara sekaligus evaluasi kepemimpinan yang berlangsung dalam satu periode. Namun pesta ini mengeruk ongkos yang sangat besar, baik dari segi materil maupun moril.
Jangan mencoba untuk mengajukan diri jadi pemimpin kalau tidak punya segepok uang. Jika tidak ada uang, tetap bisa dengan sponsor pihak ketiga, tapi ujungnya ada transaksi siluman di balik itu. Ongkos moril yang lebih parah, karena orang tidak segan-segan mempermalukan dirinya sendiri dengan melakukan segala cara untuk menggapai tampuk kekuasaan. Ini lah fenomena periodik yang dapat kita saksikan di setiap pemilu mulai mendekat.
Ada yang hilang atau belum ditemukan dalam demokrasi kita, yaitu kesantunan berpolitik. Politik membunuh karakter bercokol dengan kuat, bahkan politik bumi-hangus sangat marak terjadi di negara kita. Bahkan ucapan-ucapan yang tidak pantas pun menjadi konsumsi keseharian untuk menyerang lawan.
Lihat saja akhir-akhir ini, kata-kata seperti: cebong, kampret, mulut comberan, jendral kardus, dungu, berantem, libas, jendral baper, planga plongo, dan lain sebagainya berseliweran. Tidak hanya digunakan di dunia maya oleh netizen yang tidak jelas juntrungannya, tapi juga oleh politisi yang sering muncul di depan televisi.
Akal sehat mereka telah hilang atau sengaja mereka sembunyikan sementara waktu demi mencapai tujuan sesaat. Fenomena "menjilat ludah" sendiri pun semakin marak. Dulu dia memuja-muji seorang tokoh bak malaikat, tiba-tiba sekarang mengatakan si tokoh merupakan jelmaan setan, begitupun sebaliknya. Tapi dunia digital itu memang kejam kawan, semua terekam indah dan sulit untuk ditampik. Kata yang terucap tidak bisa untuk dibawa surut, orang pengecut akan mencoba melapisinya dengan kebohongan demi kebohongan.
Mungkin mereka mengira "perang kata" yang jauh dari etika politik itu akan menjadi alat untuk menarik simpati pemilih, tapi sebenarnya tidak. Bahkan fenomena ini membawa dua dampak yang sangat besar: (1) Gejala apatis terhadap dunia politik dan (2) Menggiring generasi mileneal pada disintegrasi.
Orang sudah tidak simpati lagi dengan dunia perpolitikan karena yang mereka tonton adalah dagelan. Biasanya golongan ini adalah kalangan terpelajar dan orang-orang yang masih memiliki ideologi murni. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa bobroknya mental politisi yang akan memimpin negeri ini. Yang mereka perdebatkan posisi apa yang akan diperoleh melalui politik transaksional dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Padahal kesejahteraan kantong pribadi dan menambah pundi-pundi emas untuk partai mereka.
Akibat kedua adalah terbentuknya jurang pemisah menuju ambang perpecahan sesama anak bangsa. Politisi culas tentunya sangat menikmati hal ini karena itu jalan mereka mendulang suara. Provokasi arus bawah yang cenderung pandir terus dimainkan dari atas. Generasi milenael pengguna medsos terus bersikukuh menjagokan jagoannya masing-masing dengan kata-kata yang jauh dari etika. Mendewakan pimpinan partai atau politisi idola mereka dan abai pada norma kesopanan.
Siapa yang diuntungkan? Jawabannya adalah para penjilat. Mereka adalah orang yang menangguk di air keruh, srigala berbulu domba, dan haus akan jabatan. Situasi ini terus mereka pelihara demi memuluskan "karir" mereka. Tidak jarang mereka bisa bermetamorfosis bermuka ramah, berkata lemah lembut, dan berpenampilan sangat sederhana tapi hati dipenuhi kedengkian.
Politisi seperti ini harus kita lawan. Melawan tentunya bukan dengan cara anarkis. Melainkan memberikan pemahaman pada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar tentang bahayanya alam demokrasi liberal. Tinggalkan orang-orang seperti itu dan jangan diberi ruang untuk mereka menguasai negeri ini. Debatlah pendukung-pendukung mereka dengan cara yang santun, jika mereka ngotot, tinggalkan.
Negeri ini tidak kehilangan tokoh karena masih banyak politisi bermoral dan ulama-ulama pewaris nabi yang bisa dijadikan panutan. Tajamkan mata, pasang telinga dengan benar, minta fatwa ke hati, dan menyungkur di sepertiga malam. Berdo'a agar kita tidak tergilas dalam pusaran politik kotor di alam demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar