Malaysia Istimewa 1: Tentang Nama - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Rabu, 30 Januari 2019

Malaysia Istimewa 1: Tentang Nama


Pertama kali menginjakkan kaki di Malaysia, dalam beberapa hal akan terasa canggung bagi kita yang berasal dari Indonesia. Mungkin dalam bayangan kita antara Indonesia dan Malaysia tidaklah jauh berbeda karena dekat secara geografis. Hal ini benar adanya, tapi dalam beberapa perkara, kita sangat berbeda dengan Malaysia. Dalam seri “Malaysia Istimewa” ini, saya akan mengupas kisah-kisah unik berdasarkan pengamatan, pengalaman, dan cerita-cerita masyarakat yang telah berdiam lama di sini.
Suatu waktu dalam kelas kuliah, saya pernah ditanya oleh seorang dosen (di sini kita sebut pensyarah), apakah “Handrianto” itu nama bapak saya. Pada kesemptan lain, sewaktu saya mau ujian thesis (di sini disebut: viva), sebelum sidang dimulai salah seorang penguji dengan frontal bertanya, “Mohon maaf, apakah anda Islam?”. Saya sama sekali tidak tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, karena saya tahu betul karakteristik nama-nama di sini.
Untuk pertanyaan yang pertama, saya jelaskan bahwa kita di Indonesia tidak harus membubuhkan (menambahkan) nama bapak di belakang nama kita, seperti layaknya di Malaysia. Bahkan ada nama orang Indonesia satu suku kata saja, seperti nama Presiden pertama RI, “Soekarno”. Jika pun ada nama orang Indonesia dua atau tiga suku kata, belum tentu ada nama bapaknya di sana, karena begitulah tradisi penamaan selama ini di Indonesia.
Pertanyaan kedua, mengenai agama saya, dengan tegas dan bangga mengatakan bahwa saya seorang muslim. Mengapa mereka bertanya demikian? Karena orang Malaysia Melayu Islam mengikuti tradisi Arab dalam pemberian nama kepada anak-anak mereka. Makanya sangat jarang (hampir tidak ada) kita temukan orang Melayu dengan nama, “Eko, Bowo, Dilan, Sari, Resti, Andin, dan lain sebagainya”. Umumnya nama orang-orang Melayu sangat kental nuansa islaminya, seperti “Sabri, Mohammad, Taib, Raudhah, Fikri, Khairil, Ammar, Siti, dan lain-lain” lengkap di belakangnya “bin” (anak laki-laki dari) atau “binti” (anak perempuan dari) nama bapak mereka.
Sebenarnya ini menjadi pukulan telak pada kita umat Islam Indonesia, mengapa kita tidak bangga memberi nama-nama islami pada generasi kita. Orang Malaysia, menurut wawancara saya dengan salah seorang Makcik dari Terengganu, mereka memilih nama itu mengikut panduan “Buku Besar”. Buku besar itu berisi daftar nama-nama islami yang selalunya digunakan oleh para orang tua untuk menamai anak-anak mereka. Meskipun di lapangan, sangat banyak nama orang Malaysia itu sama antara satu dengan yang lainnya, tapi akan tampak berbeda jika dilihat bin dan binti yang menyertainya. Ke depan, umat Islam Indonesia sebaiknya melakukan “hijrah nama” untuk generasi-generasi berikutnya.
Ada lagi keunikan, jika kita menyebut beberapa nama tertentu, orang Melayu di sini akan terkejut dan langsung berpendapat orang yang punya nama itu adalah Hindu. Contoh nama-nama itu adalah, “Kailani, Rani, Bima, Rama, Dewi, Shinta, dan lain sebagainya”. Ya, nama-nama itu mereka anggap adalah kepunyaan Suku Bangsa India yang menetap di Malaysia.
Malaysia terdiri dari tiga etnis besar dan beberapa suku orang asli yang menempati daerah pedalaman, Sabah dan Serawak. Tiga etnis besar itu adalah Melayu, India, dan Cina. Dalam hal nama, ketiga etnis ini sangat mudah dikenali. Tidak seperti di Indonesia, etnis Cina menggunakan nama Jawa dan nama lain yang bercirikan budaya tempatan. Di Malaysia, etnis Cina memang menamai mereka dengan nama-nama Cina dan itu tertera di Identity Card (IC) mereka, begitupun dengan India. Saya punya dua orang dosen etnis Cina yang sangat baik dengan saya selama perkuliahan, dan saya juga beberapa kali terlibat dalam kegiatan penelitian mereka, yaitu Dr. Goh Swe Choo dan Dr. Wong Kung Teck.
Inilah ciri khas nama di Malaysia yang bisa mengidentifikasi orang berdasarkan etnisnya. Perbedaan itu akan menjadi suatu hal yang indah jika kita bijak menyikapinya. Bergaul dengan orang-orang dari etnis berlainan membuat kita tahu banyak hal, terutama kebiasaan dan adat istiadat mereka. Tulisan ini bukan bermaksud menjelekkan suatu etnis, tapi ingin memperlihatkan keunikan Malaysia dalam memberi nama kepada anak keturunan mereka. Indonesia bisa jadi harus belajar dari hal-hal yang seperti ini. Terutama ke depan, penamaan anak orang Islam sudah sepantasnya menggunakan nama-nama islami.


Notes: Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul, "Perantau Ilmu di Negeri Jiran", atas prakarsa PPI Universiti Pendidikan Sultan Idris Malaysia. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar