Pertama kali
menginjakkan kaki di Malaysia, dalam beberapa hal akan terasa canggung bagi
kita yang berasal dari Indonesia. Mungkin dalam bayangan kita antara Indonesia
dan Malaysia tidaklah jauh berbeda karena dekat secara geografis. Hal ini benar
adanya, tapi dalam beberapa perkara, kita sangat berbeda dengan Malaysia. Dalam
seri “Malaysia Istimewa” ini, saya akan mengupas kisah-kisah unik berdasarkan
pengamatan, pengalaman, dan cerita-cerita masyarakat yang telah berdiam lama di
sini.
Suatu waktu dalam kelas
kuliah, saya pernah ditanya oleh seorang dosen (di sini kita sebut pensyarah),
apakah “Handrianto” itu nama bapak saya. Pada kesemptan lain, sewaktu saya mau
ujian thesis (di sini disebut: viva), sebelum sidang dimulai salah seorang
penguji dengan frontal bertanya, “Mohon maaf, apakah anda Islam?”. Saya sama
sekali tidak tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, karena saya
tahu betul karakteristik nama-nama di sini.
Untuk pertanyaan yang
pertama, saya jelaskan bahwa kita di Indonesia tidak harus membubuhkan
(menambahkan) nama bapak di belakang nama kita, seperti layaknya di Malaysia.
Bahkan ada nama orang Indonesia satu suku kata saja, seperti nama Presiden
pertama RI, “Soekarno”. Jika pun ada nama orang Indonesia dua atau tiga suku
kata, belum tentu ada nama bapaknya di sana, karena begitulah tradisi penamaan
selama ini di Indonesia.
Pertanyaan kedua,
mengenai agama saya, dengan tegas dan bangga mengatakan bahwa saya seorang
muslim. Mengapa mereka bertanya demikian? Karena orang Malaysia Melayu Islam
mengikuti tradisi Arab dalam pemberian nama kepada anak-anak mereka. Makanya
sangat jarang (hampir tidak ada) kita temukan orang Melayu dengan nama, “Eko,
Bowo, Dilan, Sari, Resti, Andin, dan lain sebagainya”. Umumnya nama orang-orang
Melayu sangat kental nuansa islaminya, seperti “Sabri, Mohammad, Taib, Raudhah,
Fikri, Khairil, Ammar, Siti, dan lain-lain” lengkap di belakangnya “bin” (anak
laki-laki dari) atau “binti” (anak perempuan dari) nama bapak mereka.
Sebenarnya ini menjadi
pukulan telak pada kita umat Islam Indonesia, mengapa kita tidak bangga memberi
nama-nama islami pada generasi kita. Orang Malaysia, menurut wawancara saya
dengan salah seorang Makcik dari Terengganu, mereka memilih nama itu mengikut
panduan “Buku Besar”. Buku besar itu berisi daftar nama-nama islami yang
selalunya digunakan oleh para orang tua untuk menamai anak-anak mereka.
Meskipun di lapangan, sangat banyak nama orang Malaysia itu sama antara satu
dengan yang lainnya, tapi akan tampak berbeda jika dilihat bin dan binti yang
menyertainya. Ke depan, umat Islam Indonesia sebaiknya melakukan “hijrah nama”
untuk generasi-generasi berikutnya.
Ada lagi keunikan, jika
kita menyebut beberapa nama tertentu, orang Melayu di sini akan terkejut dan
langsung berpendapat orang yang punya nama itu adalah Hindu. Contoh nama-nama
itu adalah, “Kailani, Rani, Bima, Rama, Dewi, Shinta, dan lain sebagainya”. Ya,
nama-nama itu mereka anggap adalah kepunyaan Suku Bangsa India yang menetap di
Malaysia.
Malaysia terdiri dari
tiga etnis besar dan beberapa suku orang asli yang menempati daerah pedalaman, Sabah
dan Serawak. Tiga etnis besar itu adalah Melayu, India, dan Cina. Dalam hal
nama, ketiga etnis ini sangat mudah dikenali. Tidak seperti di Indonesia, etnis
Cina menggunakan nama Jawa dan nama lain yang bercirikan budaya tempatan. Di
Malaysia, etnis Cina memang menamai mereka dengan nama-nama Cina dan itu
tertera di Identity Card (IC) mereka,
begitupun dengan India. Saya punya dua orang dosen etnis Cina yang sangat baik
dengan saya selama perkuliahan, dan saya juga beberapa kali terlibat dalam
kegiatan penelitian mereka, yaitu Dr. Goh Swe Choo dan Dr. Wong Kung Teck.
Inilah ciri khas nama
di Malaysia yang bisa mengidentifikasi orang berdasarkan etnisnya. Perbedaan
itu akan menjadi suatu hal yang indah jika kita bijak menyikapinya. Bergaul
dengan orang-orang dari etnis berlainan membuat kita tahu banyak hal, terutama
kebiasaan dan adat istiadat mereka. Tulisan ini bukan bermaksud menjelekkan
suatu etnis, tapi ingin memperlihatkan keunikan Malaysia dalam memberi nama
kepada anak keturunan mereka. Indonesia bisa jadi harus belajar dari hal-hal
yang seperti ini. Terutama ke depan, penamaan anak orang Islam sudah
sepantasnya menggunakan nama-nama islami.
Notes: Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul, "Perantau Ilmu di Negeri Jiran", atas prakarsa PPI Universiti Pendidikan Sultan Idris Malaysia.
Notes: Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul, "Perantau Ilmu di Negeri Jiran", atas prakarsa PPI Universiti Pendidikan Sultan Idris Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar