Adalah sah, jika anda
memperoleh jabatan lalu mengisi pos-pos amanah tertentu dengan orang-orang terdekat
atau yang segolongan dengan anda, dengan syarat orang itu mampu mengemban tugas
secara profesional. Adalah salah, jika anda mengklaim bahwa, apabila bukan
golongan anda yang pegang maka akan salah semua. Tentu saja klaim dan pemahaman
seperti itu menafikan keberadaan kelompok lain dan menimbulkan
kegaduhan-kegaduhan yang berujung pada konflik horizontal yang lebih luas.
Paragraf di atas
setidaknya memberikan sedikit gambaran kritik pada pidato yang disampaikan oleh
ketua umum PBNU pada Hari Lahir Muslimah NU di Stadion Gelora Bung Karno (GBK),
Jakarta, pada tanggal 27 Januari 2019. Lebih kurang begini kutipan pidato Said
Aqil Siraj tersebut, “Agar
berperan di tengah-tengah masyarakat. Peran apa? Peran syuhudan diniyan, peran agama. Harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib,
KUA-KUA, Pak Menteri Agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua”.
Semua kita tentu
sepakat bahwa kontribusi NU pada negara ini tidak bisa di pandang sebelah mata.
Bahkan pahlawan-pahlawan nasional banyak yang dilahirkan dari rahim organisasi
ini. Jika kita buka lagi lembaran sejarah, pesantren-pesantren NU turut menjadi
tonggak awal dalam upaya mencerdaskan kehidupan umat. Tapi tentunya sebagai Organisasi
Massa Islam, NU tidak bisa bergerak sendiri. NU bahkan memiliki pendahulu
seperti Muhammadyah, Sarekat Islam, dan banyak ormas-ormas Islam lainnya yang
jauh lebih awal berjuang, mengayuh di kapal lain untuk sampai pada pelabuhan
yang sama. Tentunya kurang elok dan tidak dapat diterima dengan akal sehat jika
NU menegasikan keberadaan kelompok lain, ketika republik ini merdeka , dan
kuasa ada di tangan mereka.
Pernyataan masih bisa
diterima jika berbunyi, “imam-imam masjid, khatib, KUA-KUA, dan Menag harus
dari NU”. Tapi ketika ujungnya di tambah frase, “selain NU salah semua”
tentunya menyakitkan bagi Ormas Islam yang lain. Pernyataan itu tidak akan
terlalu bermasalah jika yang mengucapkan kader-kader “ingusan”, yang masih
dalam tahap semangat yang membara dan bangga pada ormasnya. Tetapi statemen ini
dikeluarkan oleh ketua umumnya, yang orang sebut sebagai kiai, dan pernah
mengecap pendidikan di Arab sana, makanya jadi blunder.
Ada yang membela beliau,
mengatakan bahwa pernyataan itu dikeluarkan pada pertemuan internal NU, jadi
yang lain tidak usah tersinggung, jangan baper.
Betul kah? Dalam rapat terbatas sekali pun pernyataan ini juga tidak layak
keluar. Coba bayangkan FPI dalam rapat tertutupnya mengatakan, “imam dan khatib
jumat harus dari FPI, yang lain salah semua”. Saya kira polisi akan langsung
menggerebek rapat FPI tersebut. Alasannya, hal itu merupakan ucapakan radikal,
dan memicu konflik sektarian di Indonesia. Indonesia bukan hanya milik FPI. Itu
salah satu pemisalan saja.
Terlepas dari ruang
terbuka atau rapat internal NU saja, ucapan itu sudah menjadi konsumsi publik
karena ditayangkan live di Channel Youtube resmi NU sendiri. Ditonton oleh
ribuan pasang mata dari berbagai penjuru mata angin. Ditambah lagi media sosial
menyebarluaskannya bak api melahap daun kering. Akses keterbukaan informasi ini,
selain merugikan terkadang juga sangat menguntungkan, karena tidak ada yang
bisa disembunyikan, dan orang berhak memiliki interpretasi apa pun dari setiap
ucapan dan sikap orang lain yang mereka tonton.
Buntut dari pidato Said
Aqil Siraj itu menimbulkan reaksi keras dari Buya Anwar Abbas, elit Muhammadyah
sekaligus Sekjend MUI Pusat. Beliau meminta Said menarik ucapannya karena bisa
menimbulkan perpecahan umat. Buya Anwar masih yakin bahwa itu bukan ucapan yang
mewakili sikap NU secara keseluruhan. Sementara itu Haedar Nasir, Ketua Umum PP
Muhammadyah meminta kita tidak terpancing dengan hal tersebut. Beliau justru
menegaskan pentingnya menjaga persatuan umat di tahun politik yang memasuki
suhu panas akhir-akhir ini. Meskipun haedar tidak ambil pusing dengan ucapan Aqil,
beliau juga menyindir dalam ucapannya bahwa kita harus menghilangkan
sikap-sikap primordialisme dan tidak elok menegasi keberadaan kelompok-kelompok
mana pun di NKRI ini.
Pimpinan-pimpinan Ormas
Islam harusnya bisa menahan diri dengan segala apa pun bentuk ucapan, sikap,
tindakan, dan upaya yang bisa menyulut perpecahan. Ulama itu adalah suluh di
malam gelap, menjadi penerang umat untuk mencapai keridoan Ilahi. Tidak baik
saling mentahzir, menegasi,
merendahkan, atau menghina antara satu dengan yang lain atau antara kelompok
yang satu dengan kelompok lainnya, karena itu semua akan merendahkan diri kita
sendiri. Islam Indonesia adalah Islam majemuk tapi tetap dalam kerangka Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemajemukan itu
harusnya menjadi modal besar kita untuk saling membuka ruang dialog, tanpa
ditunggangi kepentingan politik pragmatis.
Uniknya, Said Aqil terbilang
cukup mesra dengan organisasi atau pun pemeluk agama-agama lain. Beliau bahkan
membela Dubes Cina dari demonstrasi ribuan orang Islam Indonesia di Jakarta,
terkait masalah Uiyghur. Dalam suatu kesempatan beliau juga memberi gelar
kepada Luhut Binsar Panjaitan sebagai NU cabang Kristen (mungkin bercanda atau kelakar
semata). Terlepas dari itu semua, tentu
tidak salah jika orang muslim bergaul atau pun bermuamalah dengan orang non
muslim. Tapi yang menjadi masalah mengapa sampai hati menyalahkan saudara
muslim yang lainnya, ketika mereka tidak bergabung dengan ritual atau tradisi kelompok
atau organisasi kita. Bukankah organisasi itu adalah hanya sekedar sarana atau
jalan? Sementara tujuan dan prinsip akidah kita tetaplah sama, yaitu Iman Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar