Said Aqil Kebablasan? - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Selasa, 29 Januari 2019

Said Aqil Kebablasan?


Adalah sah, jika anda memperoleh jabatan lalu mengisi pos-pos amanah tertentu dengan orang-orang terdekat atau yang segolongan dengan anda, dengan syarat orang itu mampu mengemban tugas secara profesional. Adalah salah, jika anda mengklaim bahwa, apabila bukan golongan anda yang pegang maka akan salah semua. Tentu saja klaim dan pemahaman seperti itu menafikan keberadaan kelompok lain dan menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang berujung pada konflik horizontal yang lebih luas.

Paragraf di atas setidaknya memberikan sedikit gambaran kritik pada pidato yang disampaikan oleh ketua umum PBNU pada Hari Lahir Muslimah NU di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, pada tanggal 27 Januari 2019. Lebih kurang begini kutipan pidato Said Aqil Siraj tersebut, “Agar berperan di tengah-tengah masyarakat. Peran apa? Peran syuhudan diniyan, peran agama. Harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA, Pak Menteri Agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua”.

Semua kita tentu sepakat bahwa kontribusi NU pada negara ini tidak bisa di pandang sebelah mata. Bahkan pahlawan-pahlawan nasional banyak yang dilahirkan dari rahim organisasi ini. Jika kita buka lagi lembaran sejarah, pesantren-pesantren NU turut menjadi tonggak awal dalam upaya mencerdaskan kehidupan umat. Tapi tentunya sebagai Organisasi Massa Islam, NU tidak bisa bergerak sendiri. NU bahkan memiliki pendahulu seperti Muhammadyah, Sarekat Islam, dan banyak ormas-ormas Islam lainnya yang jauh lebih awal berjuang, mengayuh di kapal lain untuk sampai pada pelabuhan yang sama. Tentunya kurang elok dan tidak dapat diterima dengan akal sehat jika NU menegasikan keberadaan kelompok lain, ketika republik ini merdeka , dan kuasa ada di tangan mereka.

Pernyataan masih bisa diterima jika berbunyi, “imam-imam masjid, khatib, KUA-KUA, dan Menag harus dari NU”. Tapi ketika ujungnya di tambah frase, “selain NU salah semua” tentunya menyakitkan bagi Ormas Islam yang lain. Pernyataan itu tidak akan terlalu bermasalah jika yang mengucapkan kader-kader “ingusan”, yang masih dalam tahap semangat yang membara dan bangga pada ormasnya. Tetapi statemen ini dikeluarkan oleh ketua umumnya, yang orang sebut sebagai kiai, dan pernah mengecap pendidikan di Arab sana, makanya jadi blunder.

Ada yang membela beliau, mengatakan bahwa pernyataan itu dikeluarkan pada pertemuan internal NU, jadi yang lain tidak usah tersinggung, jangan baper. Betul kah? Dalam rapat terbatas sekali pun pernyataan ini juga tidak layak keluar. Coba bayangkan FPI dalam rapat tertutupnya mengatakan, “imam dan khatib jumat harus dari FPI, yang lain salah semua”. Saya kira polisi akan langsung menggerebek rapat FPI tersebut. Alasannya, hal itu merupakan ucapakan radikal, dan memicu konflik sektarian di Indonesia. Indonesia bukan hanya milik FPI. Itu salah satu pemisalan saja.

Terlepas dari ruang terbuka atau rapat internal NU saja, ucapan itu sudah menjadi konsumsi publik karena ditayangkan live di Channel Youtube resmi NU sendiri. Ditonton oleh ribuan pasang mata dari berbagai penjuru mata angin. Ditambah lagi media sosial menyebarluaskannya bak api melahap daun kering. Akses keterbukaan informasi ini, selain merugikan terkadang juga sangat menguntungkan, karena tidak ada yang bisa disembunyikan, dan orang berhak memiliki interpretasi apa pun dari setiap ucapan dan sikap orang lain yang mereka tonton.

Buntut dari pidato Said Aqil Siraj itu menimbulkan reaksi keras dari Buya Anwar Abbas, elit Muhammadyah sekaligus Sekjend MUI Pusat. Beliau meminta Said menarik ucapannya karena bisa menimbulkan perpecahan umat. Buya Anwar masih yakin bahwa itu bukan ucapan yang mewakili sikap NU secara keseluruhan. Sementara itu Haedar Nasir, Ketua Umum PP Muhammadyah meminta kita tidak terpancing dengan hal tersebut. Beliau justru menegaskan pentingnya menjaga persatuan umat di tahun politik yang memasuki suhu panas akhir-akhir ini. Meskipun haedar tidak ambil pusing dengan ucapan Aqil, beliau juga menyindir dalam ucapannya bahwa kita harus menghilangkan sikap-sikap primordialisme dan tidak elok menegasi keberadaan kelompok-kelompok mana pun di NKRI ini.

Pimpinan-pimpinan Ormas Islam harusnya bisa menahan diri dengan segala apa pun bentuk ucapan, sikap, tindakan, dan upaya yang bisa menyulut perpecahan. Ulama itu adalah suluh di malam gelap, menjadi penerang umat untuk mencapai keridoan Ilahi. Tidak baik saling mentahzir, menegasi, merendahkan, atau menghina antara satu dengan yang lain atau antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, karena itu semua akan merendahkan diri kita sendiri. Islam Indonesia adalah Islam majemuk tapi tetap dalam kerangka Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemajemukan itu harusnya menjadi modal besar kita untuk saling membuka ruang dialog, tanpa ditunggangi kepentingan politik pragmatis.

Uniknya, Said Aqil terbilang cukup mesra dengan organisasi atau pun pemeluk agama-agama lain. Beliau bahkan membela Dubes Cina dari demonstrasi ribuan orang Islam Indonesia di Jakarta, terkait masalah Uiyghur. Dalam suatu kesempatan beliau juga memberi gelar kepada Luhut Binsar Panjaitan sebagai NU cabang Kristen (mungkin bercanda atau kelakar semata).  Terlepas dari itu semua, tentu tidak salah jika orang muslim bergaul atau pun bermuamalah dengan orang non muslim. Tapi yang menjadi masalah mengapa sampai hati menyalahkan saudara muslim yang lainnya, ketika mereka tidak bergabung dengan ritual atau tradisi kelompok atau organisasi kita. Bukankah organisasi itu adalah hanya sekedar sarana atau jalan? Sementara tujuan dan prinsip akidah kita tetaplah sama, yaitu Iman Islam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar