Sekelumit Pemikiran Ayah Tentang Esensi Pernikahan - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Jumat, 24 April 2015

Sekelumit Pemikiran Ayah Tentang Esensi Pernikahan


Siang ini, sambil duduk menunggu copian IELTS 7 di tempat foto copy dekat kampus UNY, Hp saya bergetar, ayah menelefon. Setelah menanya kabar dan pembicaraan ringan lainnya, tiba-tiba beliau bertanya tentang rencana pernikahan saya. Awalnya saya geli sendiri, karena pembicaraan ini pernah kami sepakati untuk di-skeep terlebih dahulu sampai nilai Bahasa Inggris saya terpenuhi dan mendapat LOA dari kampus tujuan. Namun tidak kali ini, kegelian yang semula saya rasakan, perlahan berubah menjadi keseriusan, dan memancing argumentasi mengarah pada diskusi semi ilmiah.

“Nak, bagaimana tentang rencana pernikahanmu? Sejujurnya ayah setuju sekali jika kau menikah terlebih dahulu sebelum lanjut studi.” Ayah memulai diskusi.

“Eeehh…ok yah, kok tiba-tiba bertanya ini” aku menyengir dengan telinga tetap mendekat ke Hp.

“Ayah rasa ini perlu kita clear-kan terlebih dahulu, ada hal yang mengganjal yang ayah rasakan.”

“Apa tu Yah?”

“Kalau tidak salah dulu kamu pernah bilang bahwa menikah dulu, kemudian kamu lanjut studi ke luar negeri dan istrimu lanjut studi di dalam negeri, dan kalian akan berpisah jarak, betul kan?”

“Yaps Yah, tidak apa-apa kan, kami saling mengejar ilmu pengetahuan untuk masa depan?”

“Jangan Nak, ayah tidak setuju. Setelah kau menikahi seorang perempuan, hiduplah engkau selalu di sisinya. Besarkan anak-anakmu berdua dengannya. Karena jika kalian terpisah seperti pendapatmu sebelumnya, maka harapanmu untuk mewujudkan keturunan yang sesuai cita-citamu selama ini akan sia-sia belaka.” 

Aku tersentak kaget, lirikan “mba” foto copy membuktikan bahwa keterkejutanku agak berlebihan. Selanjutnya pituah ayah mengalir bagai air dengan liku dan irama yang mengalun. Beliau mengatakan jika seorang wanita telah kau sentuh artinya dia telah menyerahkan segenap hidupnya kepadamu. Wanita tegas sekalipun, sejatinya membutuhkan belaian kasih sayang dari suami sebagai pasangan hidupnya. Ayah memang tidak pernah melarang saya untuk menikah dalam usia 25 tahun (cukup muda menurut sebagian orang), malah beliau menyarankan sebelum pergi ke luar negeri agar menikah terlebih dahulu. Beliau menambahkan keterpisahan jarak antara aku dan istriku membuka peluang munculnya masalah dalam rumah tangga kami ke depannya. Bagi ayah, tidak realistis sama sekali meninggalkan istri dalam jangka waktu 2 tahun.

Ayah lebih menerima jika aku tidak menikah dulu dari pada meninggalkan istri dalam keadaan seperti itu. Analisis beliau merambah pada keturunan. Bagaimana pun figur seorang suami tidak pernah bisa diabaikan dalam rumah tangga. Menikah beberapa bulan, dan meninggalkan istri dalam keadaan hamil merupakan pukulan telak bagi mental seorang wanita. Beban mental seperti ini secara sadar atau tidak sadar akan berpengaruh pada anak dalam usia prenatal. Implikasinya bisa dilihat ketika ia berusia ke tingkat lebih lanjut.

Saya mencoba mengemukakan beberapa pendapat untuk membuat “pembenaran” atas jalan yang saya pilih. Tapi pria yang dalam hidupnya tidak pernah merantau meninggalkan ibu dalam waktu seminggu sekali pun memiliki paparan data objektif. Data lapangan yang beliau paparkan dapat diterima oleh akal sehat, yang nota bene beliau tidak lulus SD tapi mampu menggulingkan pemikiran anaknya yang sudah sarjana.

Untuk apa mencari karir tinggi dengan orientasi kehidupan yang berkecukupan dengan masa depan anak sebagai alasan. Betapa lingkungan telah membuktikan bahwa ketimpangan yang terjadi dalam pola pengasuhan akan berdampak pada kebutuhan psikis anak. Orang tua tunggal (seperti ibu) dalam pengasuhan sampai kapan pun tidak akan mampu menggantikan peran ayah sebagai orang tua pada sisi lainnya.

Berbeda halnya ketika seorang ayah sudah meninggal dunia, anak akan memasuki pengasuhan extended family, dia sudah tahu sejak kecil bahwa ayahnya telah tiada, dan saudara laki-laki ibu/ayah, bahkan kakek siap menggantikan peran pengasuhan. Sementara ayah yang masih hidup tapi pergi jauh, maka seorang anak akan dibayang-bayangi dengan kehampaan, harapan, dan rasa curiga. Hampa karena ia tidak bisa mendapat kasih sayang selayaknya seperti teman yang lain, harapan kasih sayang kepada lingkungan tidak memungkinkan, dan rasa curiga seolah-olah ada yang salah dengan dirinya, yang membuat ayahnya menjauh.

Bayangan ini terus menghantui si anak, sehingga tiba pada suatu kondisi lingkungan yang lebih besar menghampirinya. Lingkungan pergaulan remaja yang menjanjikan kesenangan dan kebebasan berekspresi tidak jarang membawa anak menuju kehancuran. Kasih sayang selama ini yang tidak didapatkan bisa diperoleh melalui pergaulan. Tanpa tedeng aling-aling lingkungan pergaulan yang buruk bisa saja membawa anak pada ketergantungan dan melupakan harapan si ibu di rumah dan si ayah yang di rantau.

Ya kami pernah mendiskusikan bahwa saya akan menikahi seorang gadis yang dekat dengan kampung halaman, agar pulang kampung sekaligus. Ayah mengemukakan fakta dengan bukti lapangan dengan berkata "Tunjukkan padaku anak yang memiliki otak brilian dan mendapat juara di SD, ketika 2 tahun pertama ayahnya merantau". Saya terdiam, karena saya belum menemukan. Banyak para ayah merantau di kampung saya, umumnya ke Malaysia, ketika istrinya hamil dan dia pulang 1 atau 2 tahun berikutnya. Anak yang ditinggalkannya mengalami keterbatasan kecerdasan dan keterlambatan bersosialisasi. Rupa-rupanya sulit sekali menyembuhkan luka psikis balita yang ditinggal figur ayah selama di perantauan. Saya berharap suatu saat dilakukan penelitian ilmiah untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan kepergian ayah dalam waktu yang lama di masa balita dengan perkembangan kognitif dan kemampuan bersosialisasi anak di fase perkembangan berikutnya. Tentunya dengan metodologi dan data lapangan yang valid agar  `misteri` sekelumit pemikiran ayah bisa terungkap.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar