Siang
ini, sambil duduk menunggu copian IELTS 7 di tempat foto copy dekat
kampus UNY, Hp saya bergetar, ayah menelefon. Setelah menanya kabar dan
pembicaraan ringan lainnya, tiba-tiba beliau bertanya tentang rencana
pernikahan saya. Awalnya saya geli sendiri, karena pembicaraan ini pernah kami
sepakati untuk di-skeep terlebih dahulu sampai nilai Bahasa Inggris saya
terpenuhi dan mendapat LOA dari kampus tujuan. Namun tidak kali ini, kegelian
yang semula saya rasakan, perlahan berubah menjadi keseriusan, dan memancing
argumentasi mengarah pada diskusi semi ilmiah.
“Nak,
bagaimana tentang rencana pernikahanmu? Sejujurnya ayah setuju sekali jika kau
menikah terlebih dahulu sebelum lanjut studi.” Ayah memulai diskusi.
“Eeehh…ok
yah, kok tiba-tiba bertanya ini” aku menyengir dengan telinga tetap mendekat ke
Hp.
“Ayah
rasa ini perlu kita clear-kan terlebih dahulu, ada hal yang mengganjal
yang ayah rasakan.”
“Apa
tu Yah?”
“Kalau tidak salah dulu kamu pernah bilang bahwa menikah dulu, kemudian kamu lanjut studi ke luar negeri dan istrimu lanjut studi di dalam negeri, dan kalian akan berpisah jarak, betul kan?”
“Yaps
Yah, tidak apa-apa kan, kami saling mengejar ilmu pengetahuan untuk masa
depan?”
“Jangan
Nak, ayah tidak setuju. Setelah kau menikahi seorang perempuan, hiduplah engkau
selalu di sisinya. Besarkan anak-anakmu berdua dengannya. Karena jika kalian
terpisah seperti pendapatmu sebelumnya, maka harapanmu untuk mewujudkan keturunan
yang sesuai cita-citamu selama ini akan sia-sia belaka.”
Aku
tersentak kaget, lirikan “mba” foto copy membuktikan bahwa keterkejutanku agak
berlebihan. Selanjutnya pituah ayah mengalir bagai air dengan liku dan irama
yang mengalun. Beliau mengatakan jika seorang wanita telah kau sentuh artinya
dia telah menyerahkan segenap hidupnya kepadamu. Wanita tegas sekalipun,
sejatinya membutuhkan belaian kasih sayang dari suami sebagai pasangan
hidupnya. Ayah memang tidak pernah melarang saya untuk menikah dalam usia 25
tahun (cukup muda menurut sebagian orang), malah beliau menyarankan sebelum
pergi ke luar negeri agar menikah terlebih dahulu. Beliau menambahkan
keterpisahan jarak antara aku dan istriku membuka peluang munculnya masalah
dalam rumah tangga kami ke depannya. Bagi ayah, tidak realistis sama sekali
meninggalkan istri dalam jangka waktu 2 tahun.
Ayah
lebih menerima jika aku tidak menikah dulu dari pada meninggalkan istri dalam
keadaan seperti itu. Analisis beliau merambah pada keturunan. Bagaimana pun
figur seorang suami tidak pernah bisa diabaikan dalam rumah tangga. Menikah
beberapa bulan, dan meninggalkan istri dalam keadaan hamil merupakan pukulan
telak bagi mental seorang wanita. Beban mental seperti ini secara sadar atau
tidak sadar akan berpengaruh pada anak dalam usia prenatal. Implikasinya bisa
dilihat ketika ia berusia ke tingkat lebih lanjut.
Saya
mencoba mengemukakan beberapa pendapat untuk membuat “pembenaran” atas jalan
yang saya pilih. Tapi pria yang dalam hidupnya tidak pernah merantau
meninggalkan ibu dalam waktu seminggu sekali pun memiliki paparan data
objektif. Data lapangan yang beliau paparkan dapat diterima oleh akal sehat,
yang nota bene beliau tidak lulus SD tapi mampu menggulingkan pemikiran anaknya
yang sudah sarjana.
Untuk
apa mencari karir tinggi dengan orientasi kehidupan yang berkecukupan dengan
masa depan anak sebagai alasan. Betapa lingkungan telah membuktikan bahwa
ketimpangan yang terjadi dalam pola pengasuhan akan berdampak pada kebutuhan
psikis anak. Orang tua tunggal (seperti ibu) dalam pengasuhan sampai kapan pun
tidak akan mampu menggantikan peran ayah sebagai orang tua pada sisi lainnya.
Berbeda
halnya ketika seorang ayah sudah meninggal dunia, anak akan memasuki pengasuhan
extended family, dia sudah tahu sejak kecil bahwa ayahnya telah tiada,
dan saudara laki-laki ibu/ayah, bahkan kakek siap menggantikan peran
pengasuhan. Sementara ayah yang masih hidup tapi pergi jauh, maka seorang anak
akan dibayang-bayangi dengan kehampaan, harapan, dan rasa curiga. Hampa karena
ia tidak bisa mendapat kasih sayang selayaknya seperti teman yang lain, harapan
kasih sayang kepada lingkungan tidak memungkinkan, dan rasa curiga seolah-olah
ada yang salah dengan dirinya, yang membuat ayahnya menjauh.
Bayangan
ini terus menghantui si anak, sehingga tiba pada suatu kondisi lingkungan yang
lebih besar menghampirinya. Lingkungan pergaulan remaja yang menjanjikan
kesenangan dan kebebasan berekspresi tidak jarang membawa anak menuju
kehancuran. Kasih sayang selama ini yang tidak didapatkan bisa diperoleh
melalui pergaulan. Tanpa tedeng aling-aling lingkungan pergaulan yang buruk
bisa saja membawa anak pada ketergantungan dan melupakan harapan si ibu di
rumah dan si ayah yang di rantau.
Ya
kami pernah mendiskusikan bahwa saya akan menikahi seorang gadis yang dekat
dengan kampung halaman, agar pulang kampung sekaligus. Ayah mengemukakan fakta dengan bukti lapangan dengan berkata
"Tunjukkan padaku anak yang memiliki otak brilian dan mendapat juara di
SD, ketika 2 tahun pertama ayahnya merantau". Saya terdiam, karena saya
belum menemukan. Banyak para ayah merantau di kampung saya, umumnya ke
Malaysia, ketika istrinya hamil dan dia pulang 1 atau 2 tahun berikutnya. Anak
yang ditinggalkannya mengalami keterbatasan kecerdasan dan keterlambatan
bersosialisasi. Rupa-rupanya sulit sekali menyembuhkan luka psikis balita yang
ditinggal figur ayah selama di perantauan. Saya berharap suatu saat dilakukan
penelitian ilmiah untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan kepergian ayah
dalam waktu yang lama di masa balita dengan perkembangan kognitif dan kemampuan
bersosialisasi anak di fase perkembangan berikutnya. Tentunya dengan metodologi
dan data lapangan yang valid agar `misteri` sekelumit pemikiran ayah bisa
terungkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar