Dalam sebuah akun media sosial tempat saya biasanya berselancar, saya menemukan kritikan pedas dari seseorang kepada orang yang ikut berdemonstrasi atau unjuk rasa. Kata-katanya lebih kurang seperti ini, “Orang-orang di luar negeri biasanya berunjuk rasa pada hari sabtu atau minggu, karena hari-hari biasa mereka bekerja. Nah, ini di Indonesia, demonstrasi setiap hari, bisa jadi itulah pekerjaan mereka”. Sekilas mungkin pernyataan tersebut mengandung kebenaran karena orang sudah jenuh dengan demo, demo, dan demo. Tapi mari kita cermati beberapa point penting yang perlu kita analisis.
Di luar negeri, khususnya di negara-negara
maju, pemerintah sangat baik merespon gejolak yang terjadi di masyarakatnya. Mereka
akan segera bertindak jika suatu permasalahan berpotensi menimbulkan keresahan
dan memicu konflik horizontal yang lebih luas. Bahkan dengan petisi online yang
ditandatangani ratusan ribu orang saja, tidak jarang membuat pemerintah untuk
berpikir ulang terhadap suatu kebijakan yang mereka terapkan. Kita lihat di Indonesia,
berapa jumlah orang yang ikut demo pada aksi 212 pada Desember 2016 silam? Jutaan
lebih orang berkumpul dengan seruan yang sama untuk penjarakan Ahok si penista
agama. Itu bukan suara siluman yang berkoar di media sosial tanpa diketahui
gambar wajahnya. Ini orangnya jelas, lengkap dengan atribut yang mereka miliki,
serta tuntutan mereka apa sebenarnya, namun pemerintah bergeming.
Jika dicermati lebih luas,
demonstrasi yang dilakukan dengan tuntutan penjarakan Ahok sudah masuk satu
semester. Ya, sudah enam bulan sejak September 2016 hingga aksi hari ini, Februari
2017. Tidak terhitung lagi berapa kali demo dalam rentang waktu itu, baik dalam
skala besar maupun skala kecil, baik di kota-kota besar maupun di daerah-daerah
terpencil sekali pun. Umat terus dirundung duka. Apa yang mereka adukan
terkesan diabaikan bahkan dikriminalisasi. Aksi damai yang mereka lakukan, dituduh
makar, berbau sara, tidak menghargai Bhineka
Tunggal Ika, tokoh-tokoh dan ulama yang ikut aksi dibuat sibuk dengan aneka
jenis pemerikasaan oleh kepolisian. Sampai infak umat untuk aksi pun
dipermasalahkan dan dicurigai. Pemerintah dan media mainstream sibuk “menggoreng” isu-isu tersebut tanpa berani melihat
substansi permasalahan.
Semakin hari keberpihakan partai
penguasa terhadap Ahok semakin menjadi-jadi. Dan jelas sekali ada upaya untuk
melindunginya dari jeratan hukum apa pun. Menjalani sidang pada setiap selasa,
namun Ahok tetap melenggang berkampanye ria dan bertarung di pilkada DKI. Padahal
dia juga telah beberapa kali mengulang pelecehan terhadap ulama (baru-baru ini Kiai
Ma`ruf Amin, yang memancing reaksi keras umat Islam Indonesia), namun penahanan
terhadap Ahok juga tidak dilakukan.
Setelah masa cuti kampanye
berakhir, ada hal yang paling aneh terjadi di republik ini. Mendagri, dalam hal
ini Cahyo Kumolo (mantan sekjend PDIP) kembali mengaktifkan Ahok, yang nota bene
sebagai terdakwa, menjadi gubernur DKI. Jakarta telah mencetak sejarah sebagai
ibukota negara di muka bumi yang dipimpin oleh seorang terdakwa. Berbagai kecaman
dan pertanyaan dilontarkan oleh para ahli kepada pemerintah tentang pengaktifan
tersebut. Yang mempertanyakan bahkan bukan orang-orang sembarangan, banyak di
antara mereka dari kalangan pakar.
Beberapa ketua dan mantan hakim Mahkamah
Konstitusi RI turut bersuara, seperti Hamdan Zulfa, Jimly Ashidiqi, dan Mahfud MD.
Mereka menegaskan bahwa undang-undang telah jelas menyatakan bahwa seorang
kepala daerah yang menjadi terdakwa dengan ancaman lima tahun penjara, harus
dinonaktifkan sementara dari jabatannya. Hal ini telah berlaku kepada
kasus-kasus kepala daerah sebelumnya, seperti Gatot Pujo Nugroho (gubernur Sumatera
Utara) dan Ratu Atut Chosiah (gubernur Banten). Tapi mengapa pada Ahok terdapat
pengecualian? Mendagri bersikukuh bahwa
pasal itu multi tafsir dan mengklaim apa yang telah dilakukannya sudah tepat.
Mahfud MD mengatakan bisa saja
undang-undang itu tidak diterapkan dan Ahok tetap sebagai gubernur tapi ada
langkahnya. Caranya adalah presiden harus menerbitkan Peraturan Pemerintan
Pengganti Undang-Undang (Perpu). Tapi apakah presiden berani? Kalau Perpu mengenai
masalah ini diterbitkan oleh presiden, maka secara terang benderang semua orang
bisa menyimpulkan bahwa Jokowi telah melakukan apa pun demi Ahok.
Setelah dihujat oleh banyak
pakar, mendagri mencari tameng pada Mahkamah Agung (MA). Dia mendatangi MA untuk
meminta fatwa dalam masalah ini. Awalnya Hatta Ali, ketua MA bersikukuh bahwa kementrian
dalam negeri punya badan kajian hukum tersendiri, mengapa harus minta fatwa ke MA?
Sebenarnya itu bisa diputuskan oleh internal mendagri saja. Namun Hatta mengaku
akan membawa permohonan itu dalam rapat di lembaganya. Masyarakat bertanya,
fatwa MUI apa kabar? Kepolisian juga minta fatwa soal Ahok, setelah fatwa
dikeluarkan, polisi juga tidak menahan Ahok. Lembaga negara membudayakan minta
fatwa pada institusi yang diakui sebagai pakar, setelah fatwa dikeluarkan
mereka tetap memilih jalan yang mereka yakini dari awal. Jadi, sebenarnya untuk
apa minta fatwa?
Di kampung saya ada kata sifat
yang ketika dilabelkan pada seseorang berarti kita sudah pesimis bahwa orang
tersebut akan mengubah sikapnya menjadi lebih baik, yaitu: binga. Kata binga tidak semua orang Minangkabau mengetahui
artinya, karena mungkin ini termasuk kata khusus yang digunakan di daerah
terpencil, seperti kampung dari mana saya berasal. Secara terminologi, binga berarti seseorang yang tidak mau
berubah dan mengaku salah, sesering apa pun dan sekeras apa pun kita berusaha
untuk merubahnya, dia tetap berpendirian pada hal yang sudah nyata kesalahannya
karena sikap ego yang dimilikinya. Semua akses kebenaran sengaja ditutup untuk
menutup perbuatan salahnya. Orang ini biasanya akan menjadi musuh masyarakat
dan tidak lagi didengar ketika dia menyampaikan pendapat di khalayak. Sifat binga sangat buruk, karena ia menolak
kebenaran dan merasa diri paling benar, padahal tidak memiliki pengetahuan sama
sekali. Orang ini terus melakukan kesalahan berulang-ulang, tanpa ada usaha
untuk mendengar aturan dan perspektif orang lain.
Sifat ini telah mulai menjangikiti
pejabat dan penegak keadilan di negeri ini, sebagai bukti mereka terus
bergeming terhadap tuntutan masyarakat selama enam bulan terakhir. Sudah cukup
rasanya demonstrasi yang dilakukan oleh umat untuk menuntut keadilan, tapi
mengapa diabaikan? Masalah kita berkutat pada satu orang, tapi mengapa orang
tersebut masih melenggang? Sudah jelas undang-undangnya untuk menonaktifkan
pimpinan daerah yang berstatus terdakwa, mengapa dia masih menjabat?
Bukankah sifat binga ini tentunya dua arah? Ini bukan sifat yang hanya muncul di satu sisi kelompok saja, namun sifat binga juga akan muncul di semua kelompok. Mungkinkah respon yang diberikan oleh polri dan mendagri juga adalah respon atas sifat binga yang muncul dari lawan bicara mereka
BalasHapusAnalisis kembali pada akar masalahnya, maka akan ketemu siapa itu yg binga.
Hapus