Imam Ahmad bin Hambal merupakan satu dari
empat imam madzhab yang terkenal di dunia Islam. Kemunculan empat madzhab,
yaitu Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Hambali turut memperkaya khazanah mutiara
hikmah dalam upaya menjelaskan hukum-hukum yang terdapat di dalam Qur`an dan
sunnah Rasulullah SAW. Keempat orang ini adalah sosok yang sarat dengan
keteladanan dan diakui oleh kawan maupun lawan tentang bagaimana keteguhan
mereka dalam memegang prinsip kebenaran. Sejarah hidup mereka layak kita jadikan
renungan dan bahan penghayatan dalam menghadapi pendangkalan akidah dan
kebutaan tentang pengetahuan agama yang mengoyak generasi muda dewasa ini. Dalam
kesempatan ini penulis akan mengangkat segelintir riwayat Imam Ahmad bin Hambal,
terutama dalam memegang prinsip hidup, ketabahan dalam menghadapi ujian, cara
beliau mengambil suatu hukum, dan mengaitkannya dengan fenomena ulama akhir
zaman, khususnya di Indonesia.
Imam Ahmad bin Hambal lahir pada Rabiul Awal 164
Hijriah (780 Masehi) di Baghdad (ibukota negara Irak yang sekarang), pada masa
kekhalifahan Muhammad Al Mandi (Dinasti Abbasiah). Ayahnya bernama Muhammad Asyaibani
(biasanya dipanggil Hambal) dan ibunya bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul
Malik. Riwayat nasab beliau langsung terhubung kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau
telah menjadi yatim pada usia tiga tahun dan dibesarkan oleh ibunya sebagai
orang tua tunggal sejak itu.
Sejak belia sudah terlihat kecintaan dan
kecanduan beliau terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini terbukti dengan kemampuan
beliau menguasai Al-Qur`an dan hadits sejak usia belia. Selain itu beliau juga
gigih untuk pergi menuntut ilmu dengan tidak mengenal jarak dan waktu. Pada masa
itu kota Baghdad terkenal dengan cahaya pengethuan dan pusat kebudayaan Islam. Sebagai
pusat ilmu pengetahuan, kota Baghdad tidak bisa menuntaskan dahaga beliau dalam
mereguk kenikmatan ilmu, sehingga beliau mencari ilmu dengan mengunjugi di mana
pun beliau mendengar ada orang alim berdomisili. Adapun tempat-tempat yang
pernah beliau kunjungi antara lain: Kufah, Bashrah, Syam, Yaman, Makkah, dan
Madinah. Beliau berguru kepada banyak ulama dan salah seorang guru beliau yang
terkenal adalah Imam Syafi`i (pendiri Madzhab Syafi`i). Kepakaran beliau yang
sangat menonjol selain menguasai Al-Qur`an adalah dalam bidang hadits, sehingga
dalam suatu riwayat Imam Abu Zur`ah menyatakan bahwa beliau (Imam Ahmad bin Hambal)
hafal 1.000.000 (sejuta) hadits.
Sebagai seorang ahli hadits yang sangat zuhud
beliau sangat berhati-hati dalam memutuskan perkara keumatan pada masa itu. Beliau
sangat membenci ahli ra`yi, yaitu
orang-orang yang hanya memutuskan perkara dengan mengandalkan atau mengutamakan
logika mereka sendiri tanpa berpijak pada nash-nash yang jelas. Beliau menjunjung
tinggi Al-Qur`an dan hadits nabi. Suatu perkara yang sudah jelas pernyataan
dalam Al-Qur`an, bagi beliau tidak perlu didebat lagi atau dicari-cari dalil
yang lain. Apabila dalam suatu masalah sudah ada keterangan dari nabi Muhammad
SAW (hadits), maka beliau langsung memutuskan perkara berdasarkan hadits nabi
tersebut. Apabila dalam suatu masalah tidak terdapat hadits nabi yang berkaitan
dengan hal tersebut, maka beliau memeriksa keterangan sahabat nabi, dan
memutusnya menggunakan pendapat sahabat. Apabila terdapat perbedaan pendapat
dari sahabat dalam memutuskan suatu permasalahan, maka beliau memilih (menganalisis)
pendapat sahabat tersebut, mana yang lebih dekat kepada yang benar. Apabila tidak
ditemukan pendapat sahabat tentang suatu masalah maka beliau mengambl pendapat
tabi`in atau memilih dari pendapat mereka. Bahkan beliau lebih cenderung
mengambil hadits yang lemah (ada sesuatu pada sanadnya) sebagai rujukan dibandingkan
pendapat pribadi, selagi tidak ada hadits sahih yang bertentangan dengannya.
Diriwayatkan pada masa kekhalifan al-Ma`mun ada
seorang yang mengaku alim yang menguasai ilmu kalam dan pandai bersilat lidah,
ia bernama Ahmad bin Abi Daud. Ia menyebarkan kembali pendapat yang menyatakan
bahwa Al-Qur`an itu adalah makhluk. Pendapat ini muncul pertama kali pada masa
kekhalifahan Harun ar-Rasyid yang dikemukakan oleh Basyar al Marisi, namun oleh
khalifah pada saat itu pendapat ini tidak dibenarkan karena menyimpang dan
menindak tegas ajaran tersebut agar tidak berkembang. Ahmad bin Abi Daud memiliki
kedekatan dengan penguasa (al-Ma`mun) dan memaksa semua umat Islam untuk
mempercayainya dengan dukungan rezim saat itu. Imam Ahmad membantah klaim tersebut
dengan tetap memegang prinsip bahwa alquran merupakan kalam Allah, bukan
makhluk sebagaimana yang digemborkan oleh kalangan sesat tersebut.
Persoalan itu berbuntut panjang, Imam Ahmad yang
bersikeras memegang prinsip bahwa Al-Quran bukan makhluk mendapat reaksi keras
dari penguasa. Penguasa yang disusupi oleh ulama su`u dan penjilat mengajukan
pilihan kepada Imam Ahmad, yaitu merubah prinsipnya atau dipenjara. Namun Imam
Ahmad bukan sembarang ulama, beliau memilih lebih baik dipenjara dari pada
mengakui sesuatu yang bertentangan dengan akidah beliau terhadap Al-Qur`an. Imam
Ahmad pun dimasukkan dalam penjara. Di sana beliau memperoleh siksaan yang
tidak terperi, cambukan, dan hantaman fisik terhadap beliau terus berlanjut. Kurungan
terhadap beliau terbilang sangat lama, bahkan telah berganti beberapa khalifah,
dari al-Ma`mun, al-Mu`tashim, hingga khalifah al-Watsiq berkuasa.
Sepeninggal al-Watsiq, tampuk kekuasaan
dipegang oleh khalifah al-Mutawakkil, yang dikenal sebagai seorang yang sangat senang
menghidupkan sunnah. Imam Ahmad dibebaskan dari segala tuduhan, dan negara mengakui
prinsip bahwa Al-Qur`an bukan makhluk melainkan kalam Allah. Beliau dikeluarkan
dari penjara. Orang-orang yang selama ini memfitnah beliau dan melakukakan
penyesatan akidah di masarakata, terutama Ahmad bin Abi Daud, dihukum berat
oleh khalifah. Imam Ahmad bebas dengan kondisi fisik yang sangat
memprihatinkan. Usia beliau sudah tidak muda lagi. Khalifah al-Mutawakkil sangat
tertarik terhadap beliau dan menawarkan jabatan sebagai mufti negara, namun
beliau menolak. Berbagai macam hadiah dikirimkan ke rumah beliau oleh penguasa,
berkali-kali beliau menyuruh anaknya untuk memulangkan hadiah tersebut. Jika pemerintah
terlalu memaksa agar beliau menerima hadiah tersebut, maka beliau terima dengan
membagi-bagikan hadiah tersebut kepada tetangga-tetangga beliau yang fakir.
Kisah hidup Imam Ahmad bin Hambal hendaknya
menjadi pelajaran bagi generasi Islam abad ini. Perjuangan beliau dengan
kegigihan dan keteguhan hati menegakkan akidah Qur`an bahkan sampai dibui dalam
waktu yang lama, bukan perkara yang ringan. Dalam penjara, beliau tidak
mendapat fasilitas seperti sebagian tokoh terkenal atau koruptor di negeri kita,
yang masih bisa menikmati kesenangan. Beliau sehari-hari disiksa, dicambuk, dan
didera, hingga selepas dari penjara pun bekas kekerasan tersebut tidak hilang
bahkan sampai meninggal dunia.
Terkait prinsip hidup sebagai ulama, ada banyak
keanehan yang terjadi akhir-akhir ini terkait dengan orang yang mengaku ulama
tapi menunjukkan kebenciannya terhadap hukum Islam. Dia memilih dalil akal
ketika sudah jelas ada dalil lain yang terdapat secara jelas dalam Qur`an dan
hadits.
Pengingkaran nyata terhadap Al-Qur`an saat
ini marak dikemukakan oleh orang yang mengaku kiai atau ulama. Dalam memberikan
pengajian, mereka mengusung isu-isu HAM dan toleransi yang tidak ditinjau dari
prinsip Islam. Sejatinya Islam merupakan agama yang komprehensif, mengajarkan
tentang hak asasi manusia, toleransi, kerukunan umat beragama, tenggang rasa,
menolong sesama, dan juga menekankan bab akidah sebagai pondasi dasar. Minimnya
penggunaan dalil naqli ketika menjelaskan hukum adalah fenomena lumrah yang kita
temukan. Bahkan baru-baru ini ada kiai yang mengatakan bahwa apa pun agamanya
jika berbuat baik, akan mendapat tempat terbaik di sisi Allah. Benarkah demikian?
Orang seperti ini jika bertemu dengan Imam Ahmad mungkin sudah diludahi. Karena
dengan gelar kiainya, dia tidak hanya berbicara atas nama pribadi, tapi dia
berbicara sebagai tokoh Islam, sehingga bisa berbahaya terhadap maraknya kesesatan
pada umat.
Kemewahan dunia telah menggiurkan mata dan
membuat sebagian orang lupa bahwa ada kehidupan yang jauh lebih abadi di
banding dunia, yaitu akhirat. Ada orang yang mengaku ulama tapi ketika
disodorkan dunia, dia teguk sejadi-jadinya. Sorban dan gamis mereka tanggalkan
dan membuat diri mereka bertelanjang di tengah-tengah komplotan pembenci hukum
tuhan. Kecintaan pada dunia melumpuhkan iman, sehingga dalam hal ini Imam Ahmad
sangat berhati-hati. Beliau tidak memberi celah sedikit pun pada harta dan
kekuasaan mengendalikan hidup beliau. Malah beliau sangat membenci pada orang
yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Lebih tragisnya lagi, ulama sekarang ada
yang bersedia memutarbalikkan fakta dan makna Qur`an demi memenuhui kebutuhan
nafsu dunianya.
Banyak pernyataan-pernyataan ulama su`u yang mengguncang internal Islam. Sebagaimana
ada yang mengatakan bahwa memelihara jenggot itu adalah orang goblok, semakin
panjang jenggotnya makin goblok orangnya. Padahal jenggot adalah sunnah nabi Muhammad
SAW, tapi dijadikan bahan candaan dan hinaan. Api kebencian tetap dinyalakan
terhadap orang-orang yang berusaha mengikuti kemurnian sunnah dengan tuduhan
baru, bahwa mereka bukan Islam nusantara. Ulama golongan ini membagi Islam sebagai
Islam nusantara dan Islam arab. Seolah-olah Islam lah yang harus menyesuaikan
diri dengan geografis, sehingga mereka sangat rancu dalam membedakan antara
budaya arab dan akidah islamiah.
Umumnya secara akdemik formal mereka
berkualifikasi cukup tinggi, dan bahkan ada beberapa di antaranya lulusan
perguruan tinggi Islam di negara-negara Timur Tengah. Namun pandangan yang
disampaikannya sudah jauh melenceng dari yang digariskan Qur`an dan hadits. Intelektual
yang menjadi kebanggaan, mereka selewengkan untuk mencari pembenaran atas ego
pribadi dan golongan mereka. Dalil-dalil pembelaan terhadap kemungkaran mereka
temukan dengan memutarbalikkan fakta. Sementara yang berbeda pendapat dengan
mereka, mereka klaim sebagai golongan dengan tata pemikiran rendahan,
tradisional, kolot, konservatif, taklid buta, dan sebagainya. Cap seperti ini
tidak jarang kita dengar dari kalangan mereka. Selain itu, yang lebih parah
lagi, ada pengajian di suatu tempat yang ditujukan untuk meluruskan akidah
remaja, mereka serang dengan anggapan itu sebagai sarana pembawa bibit radikal
dan pemikiran ekstrimis.
Mengeksplorasi kisah ulama empat madzhab,
terutama kisah Imam ahmad dalam tulisan ini, berarti membuka tabir cara ahlussunnah wal jama`ah menegakkan
akidahnya. Imam Ahmad tidak takut dengan penjara demi membela kesucian
agamanya. Beliau menolak aneka kemewahan yang ditawarkan penguasa, dan
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Sementara itu dalam memberikan argumentasi
atas persoalan keumatan, beliau menghindari mempertuhankan akal semata dengan
meninggalkan dalil Qur`an hadits yang telah jelas.
Adapun yang dapat kita petik dari kisah ini,
sebagai generasi muslim Indonesia kita harus melakukan: (1) Penguatan akidah
sejak usia belia; (2) Menuntut ilmu adalah kunci utama menjadi pribadi muslim kaaffah; (3) Berpantang menggadaikan
prinsip iman demi harta dan kekuasaan; (4) Melandaskan setiap prilaku dan
ucapan kepada Al-Qur`an dan sunnah serta menghindari ahli ra`yu; dan (5) Mengenal ulama yang sungguh-sungguh menegakkan
prinsip Al-Qur`an dan menghormati mereka karena kecintaan kepada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar