TENTANG PERPPU - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Selasa, 18 Juli 2017

TENTANG PERPPU

Konsep Trias Politica  sebagai suatu ciri penting bagi negara yang menganut sistem demokrasi sangat menarik untuk dicermati, terutama dalam konteks keindonesiaan. Konsep ini menempatkan tiga lembaga yang terpisah dalam melaksanakan tugasnya, namun saling ketergantungan antara satu dengan lainnya dalam mengambil suatu kebijakan atau menetapkan aturan. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif terus mengalami transformasi dan terkadang bermanuver untuk saling mendominasi sejak negara kita merdeka hingga hari ini.

Kekuasaan eksekutif yang digawangi oleh presiden dan menteri-menterinya (pejabat negara) mendapat posisi strategis pasca reformasi. Hal ini seiring dengan dibukanya kran pemilihan kepala negara secara langsung, sehingga wewenang dan otoritas pemerintah pun lebih kuat dari pada sebelumnya.

MPR (DPR dan DPD) sebagai lembaga legislatif, dulu memiliki kedudukan di atas presiden. Ia sebelumnya disebut sebagai lembaga tertinggi negara, namun sekarang disebut sebagai lembaga tinggi negara saja, yang sejajar dengan presiden.

Sementara itu pada domain yudikatif, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peranan yang sangat menentukan, karena lembaga inilah yang akan memutus perseteruan yang terjadi antara lembaga tinggi negara dari perspektif hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi MK menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Jika undang-undang bertentangan dengan atruran yang berada di atasnya, maka MK berhak untuk membatalkan undang-undang tersebut.  Meski memiliki peranan strategis, institusi MK pun sebenarnya tidak bisa dikatakan darah murni profesional, karena pola rekrutmen anggotanya tetap diusulkan oleh presiden dan diuji oleh DPR. Tentunya masih ada faktor kepentingan dalam hal ini.

Sebagai lembaga legislatif, sejatinya tugas DPR membuat undang-undang yang akan menjadi hukum positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dewasa ini, rancangan undang-undang yang dibuat oleh DPR belum bisa diundangkan tanpa adanya persetujuan presiden. Inilah salah satu keistimewaan presiden pasca reformasi. Selama ini presiden hanya bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP), sekarang terlibat dalam pengesahan perundang-undangan. Maka sebagai contoh bisa kita lihat sampai detik ini, undang-undang pemilu masih menjadi hal yang saling tarik ulur antara DPR dan pemerintah, belum ada kesudahan.

Beberapa hari ini sedang hangat-hangatnya pembahasan tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), terkait dengan pembubaran ormas yang dianggap merongrong Pancasila. Sebenarnya apa beda Undang-Undang dengan Perppu? Secara prinsip keduanya memiliki kedudukan yang sama, tapi terlahir dari rahim dan kondisi yang berbeda. Perppu murni muncul dari tangan pemerintah tanpa campur tangan DPR dalam perumusan/persetujuannya dengan kondisi yang dianggap genting dan mendesak menurut perspektif pemerintah.

Sejatinya Perppu bukan menjadi alat untuk kepentingan penguasa tetapi harus mengacu pada hakikat dari mengapa Perppu itu dikeluarkan. Dari segi akronim kita sudah bisa memahami bahwa Perppu adalah suatu peraturan perundangan yang lahir dalam kondisi genting dikarenakan negara perlu penyelesaian suatu masalah yang sangat urgen. Selain itu Perppu lahir dengan catatan: belum ada undang-undang yang berkaitan untuk menjawab permasalahan tersebut.

Jika kita cermati Perppu nomor 2 tahun 2017, itu salah satu kebijakan yang kontroversial dan memancing banyak tanda tanya dari para pakar sampai masyarakat awam sekalipun. Terlepas dari genting atau tidak gentingnya negara, yang jelas Perppu itu belum wajar lahir, mengapa? Karena undang-undang tentang Ormas sudah ada. Mekanisme penanganan Ormas yang bermasalah pun sudah ada. Mengapa pemerintah tidak ikut jalur perundang-undangan yang telah ada tersebut? Salah satu langkah dalam undang-undang tersebut, untuk pembubaran Ormas pemerintah harus melalui jalur pengadilan.

Seharusnya di sini DPR merasa tersinggung, karena dengan keluarnya Perppu tentang pembubaran Ormas ini, legitimasi DPR sebagai lembaga legislatif yang membuat undang-undang dicederai oleh pemerintah. Persoalannya akan menjadi lain jika aturannya memang benar-benar belum ada, maka pemerintah berhak menerbitkan aturan untuk menjaga keamanan dan ketenteraman negara.

Setelah pemerintah mengeluarkan Perppu, yang lebih aneh lagi, keluar pernyataan, “Bagi yang tidak setuju silahkan menempuh jalur hukum”. Ini sudah sangat nyata sekali bahwa pemerintah menantang rakyatnya untuk berperkara di pengadilan. Seolah-olah penerbitan Perppu itu menjadi sarana untuk kompetisi antara pemerintah dengan rakyat. Sebenarnya pernyataan ini tidak perlu dilontarkan, toh rakyat pun akan bergegas ke MK untuk uji materil jika ini mereka anggap melanggar UUD 1945 dan HAM. Seolah-olah pemerintah sengaja menciptakan gap dengan rakyat melalui kalimat tantangan seperti itu. Sehingga sebagian orang berpikir pemerintah sengaja untuk mempermalukan rakyatnya.

Jika diketahui bahwa hal ini bisa memancing reaksi publik dan pemerintah sadar akan digugat, elok lah rasanya pemerintah menerapkan asas musyawarah, melakukan pendekatan persuasif dan dialog, terutama dengan Ormas yang dianggap tidak `pancasilais` tersebut. Faktanya selama ini mereka tidak membahayakan, bahkan mereka punya izin organisasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia.


Memang di alam demokrasi seperti ini setiap orang bebas saja untuk melapor dan menggugat. Bahkan ada orang yang melapor, malah dia menjadi tersangka dan ditangkapi, sementara yang dilaporkan tidak dipanggil. Tapi apakah dengan jalan seperti ini yang akan memperkuat tali kebangsaan?

 Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar