Konsep Trias Politica sebagai suatu
ciri penting bagi negara yang menganut sistem demokrasi sangat menarik untuk
dicermati, terutama dalam konteks keindonesiaan. Konsep ini menempatkan tiga
lembaga yang terpisah dalam melaksanakan tugasnya, namun saling ketergantungan
antara satu dengan lainnya dalam mengambil suatu kebijakan atau menetapkan
aturan. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif terus mengalami
transformasi dan terkadang bermanuver untuk saling mendominasi sejak negara
kita merdeka hingga hari ini.
Kekuasaan eksekutif yang
digawangi oleh presiden dan menteri-menterinya (pejabat negara) mendapat posisi
strategis pasca reformasi. Hal ini seiring dengan dibukanya kran pemilihan
kepala negara secara langsung, sehingga wewenang dan otoritas pemerintah pun
lebih kuat dari pada sebelumnya.
MPR (DPR dan DPD) sebagai lembaga
legislatif, dulu memiliki kedudukan di atas presiden. Ia sebelumnya disebut
sebagai lembaga tertinggi negara, namun sekarang disebut sebagai lembaga tinggi
negara saja, yang sejajar dengan presiden.
Sementara itu pada domain yudikatif, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peranan yang sangat menentukan, karena lembaga inilah yang akan memutus perseteruan yang terjadi antara lembaga tinggi negara dari perspektif hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi MK menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Jika undang-undang bertentangan dengan atruran yang berada di atasnya, maka MK berhak untuk membatalkan undang-undang tersebut. Meski memiliki peranan strategis, institusi MK pun sebenarnya tidak bisa dikatakan darah murni profesional, karena pola rekrutmen anggotanya tetap diusulkan oleh presiden dan diuji oleh DPR. Tentunya masih ada faktor kepentingan dalam hal ini.
Sementara itu pada domain yudikatif, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peranan yang sangat menentukan, karena lembaga inilah yang akan memutus perseteruan yang terjadi antara lembaga tinggi negara dari perspektif hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi MK menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Jika undang-undang bertentangan dengan atruran yang berada di atasnya, maka MK berhak untuk membatalkan undang-undang tersebut. Meski memiliki peranan strategis, institusi MK pun sebenarnya tidak bisa dikatakan darah murni profesional, karena pola rekrutmen anggotanya tetap diusulkan oleh presiden dan diuji oleh DPR. Tentunya masih ada faktor kepentingan dalam hal ini.
Sebagai lembaga legislatif,
sejatinya tugas DPR membuat undang-undang yang akan menjadi hukum positif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dewasa ini, rancangan undang-undang
yang dibuat oleh DPR belum bisa diundangkan tanpa adanya persetujuan presiden. Inilah
salah satu keistimewaan presiden pasca reformasi. Selama ini presiden hanya bisa
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP), sekarang terlibat dalam pengesahan perundang-undangan.
Maka sebagai contoh bisa kita lihat sampai detik ini, undang-undang pemilu
masih menjadi hal yang saling tarik ulur antara DPR dan pemerintah, belum ada
kesudahan.
Beberapa hari ini sedang
hangat-hangatnya pembahasan tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu), terkait dengan pembubaran ormas yang dianggap merongrong Pancasila. Sebenarnya
apa beda Undang-Undang dengan Perppu? Secara prinsip keduanya memiliki
kedudukan yang sama, tapi terlahir dari rahim dan kondisi yang berbeda. Perppu murni
muncul dari tangan pemerintah tanpa campur tangan DPR dalam perumusan/persetujuannya
dengan kondisi yang dianggap genting dan mendesak menurut perspektif pemerintah.
Sejatinya Perppu bukan menjadi
alat untuk kepentingan penguasa tetapi harus mengacu pada hakikat dari mengapa Perppu
itu dikeluarkan. Dari segi akronim kita sudah bisa memahami bahwa Perppu adalah
suatu peraturan perundangan yang lahir dalam kondisi genting dikarenakan negara
perlu penyelesaian suatu masalah yang sangat urgen. Selain itu Perppu lahir
dengan catatan: belum ada undang-undang yang berkaitan untuk menjawab
permasalahan tersebut.
Jika kita cermati Perppu nomor 2
tahun 2017, itu salah satu kebijakan yang kontroversial dan memancing banyak
tanda tanya dari para pakar sampai masyarakat awam sekalipun. Terlepas dari
genting atau tidak gentingnya negara, yang jelas Perppu itu belum wajar lahir,
mengapa? Karena undang-undang tentang Ormas sudah ada. Mekanisme penanganan Ormas
yang bermasalah pun sudah ada. Mengapa pemerintah tidak ikut jalur
perundang-undangan yang telah ada tersebut? Salah satu langkah dalam
undang-undang tersebut, untuk pembubaran Ormas pemerintah harus melalui jalur
pengadilan.
Seharusnya di sini DPR merasa
tersinggung, karena dengan keluarnya Perppu tentang pembubaran Ormas ini, legitimasi
DPR sebagai lembaga legislatif yang membuat undang-undang dicederai oleh
pemerintah. Persoalannya akan menjadi lain jika aturannya memang benar-benar
belum ada, maka pemerintah berhak menerbitkan aturan untuk menjaga keamanan dan
ketenteraman negara.
Setelah pemerintah mengeluarkan Perppu,
yang lebih aneh lagi, keluar pernyataan, “Bagi yang tidak setuju silahkan
menempuh jalur hukum”. Ini sudah sangat nyata sekali bahwa pemerintah menantang
rakyatnya untuk berperkara di pengadilan. Seolah-olah penerbitan Perppu itu
menjadi sarana untuk kompetisi antara pemerintah dengan rakyat. Sebenarnya pernyataan
ini tidak perlu dilontarkan, toh
rakyat pun akan bergegas ke MK untuk uji materil jika ini mereka anggap
melanggar UUD 1945 dan HAM. Seolah-olah pemerintah sengaja menciptakan gap dengan rakyat melalui kalimat tantangan
seperti itu. Sehingga sebagian orang berpikir pemerintah sengaja untuk
mempermalukan rakyatnya.
Jika diketahui bahwa hal ini bisa
memancing reaksi publik dan pemerintah sadar akan digugat, elok lah rasanya
pemerintah menerapkan asas musyawarah, melakukan pendekatan persuasif dan
dialog, terutama dengan Ormas yang dianggap tidak `pancasilais` tersebut. Faktanya
selama ini mereka tidak membahayakan, bahkan mereka punya izin organisasi dari Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia.
Memang di alam demokrasi seperti
ini setiap orang bebas saja untuk melapor dan menggugat. Bahkan ada orang yang
melapor, malah dia menjadi tersangka dan ditangkapi, sementara yang dilaporkan
tidak dipanggil. Tapi apakah dengan jalan seperti ini yang akan memperkuat tali
kebangsaan?
Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia.
Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar