Setelah
jatuhnya kekhalifahan Islam terakhir, Turki Utsmani, pada 1 November 1922 dan
berubah menjadi negara demokrasi sekuler di bawah
kendali Mustafa Kemal Pasha (atau Mustafa
Kemal Atatürk),
negeri-negeri Islam banyak yang melepaskan diri, dan sebagian diambil alih oleh
barat. Begitu pun halnya dengan tanah Palestina, yang sejak itu berada di bawah
kendali Inggris dan sekutunya, karena Turki mengalami kerugian perang yang
tidak sedikit. Sehingga kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh sekelompok Yahudi,
yang telah didoktrin oleh fantasi bahwa kerajaan tuhan yang dijanjikan berada
di tanah Palestina.
Adalah
dia Theodor Herzl, seorang Yahudi berkebangsaan Hongaria, mendirikan Gerakan
Zionisme pada tahun 1897. Setelah kecewa karena gagal membujuk Sultan Abdul
Hamid II (Khalifah ke-34 Turki Utsmani) untuk memberikan izin pada Yahudi agar
dibolehkan masuk ke tanah Palestina, ia merancang skenario besar, yaitu dengan
cara menjadi donator perang untuk Inggris dan sekutunya. Sehingga Herzl dan
para donator Zionisme-nya terjun dalam pengundian nasib, jika Inggris menang, maka
untuk balas budi, mereka akan menutut akses ke Palestina.
Perang
Dunia I berlangsung 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918. Peserta perang terdiri dari dua blok, yang
dikenal dengan Blok Sekutu (Inggris, Perancis, Rusia, Italia, Amerika Serikat,
dan lain-lain) dan Blok Sentral (Jerman, Austria, Turki Utsmani, Bulgaria, dan
lain-lain). Di akhir perperangan, Blok Sentral mengalami kekalahan telak.
Inggris dan Blok Sekutunya menang tetapi dililit utang yang tidak sedikit.
Salah satu langkah untuk membalas jasa serta membayar utang pada Kaum Yahudi tersebut,
maka proposal Zionis untuk masuk Palestina disetujui dengan mulus (baca:
Deklarasi Balfour, 12 November 1917). Maka mulailah mereka mengumandangkan “seruan
suci” untuk kembali ke tanah yang dijanjikan, Palestina. Berbondong-bondonglah
orang-orang Yahudi dari berbagai belahan dunia datang ke Palestina dibawah
pengawasan Inggris.
Awalnya
mereka datang sebagai pendatang yang kesusahan dan dijamu layaknya pengungsi
oleh orang-orang Arab dan suku Palestina. Namun orang Arab lengah, bahwa sesungguhnya
mereka ke Palestina membawa misi Zionisme, yaitu pendirian Negara Yahudi. Tiga
puluh satu tahun sejak kedatangannya, pada 14 Mei 1948 Israel memproklamirkan
berdirinya Negara Yahudi, sebuah negara yang dipaksakan berdiri di atas tanah
orang lain. Berdirinya negara Israel tidak diakui oleh Negara-Negara Islam dan
bahkan memantik Perang Arab yang cukup lama, antara Israel dengan negara-negara
Arab di sekitarnya. Namun karena multi kompleksnya krisis dan permasalahan di Timur
Tengah, ditambah dengan perpecahan negara-negara Arab itu sendiri, akhirnya
Israel tidak bisa dilumpuhkan. Hal ini juga ditambah dengan tidak sedikit
tentara barat yang turut berjuang dan memasok senjata membantu Israel, karena membayar
balas budi kepada Yahudi.
Pada
4 Juni 1967 keluar Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perbatasan
wilayah Israel dengan Palestina, yang tidak disetujui oleh kedua belah pihak,
bahkan oleh negara-negara Arab sekalipun, karena sejatinya Israel tidak punya
hak sejengkal tanah pun di sana. Tetapi resolusi tersebut dipaksakan, dengan
alasan sebagai alternatif perdamaian dua bangsa, Yahudi dan Arab. Akhirnya
negara-negara Arab menyetujui. Dalam perjalanannya, konflik tidak pernah reda
dan bahkan semakin tegang. Hal ini disebabkan Israel senantiasa dan selalu
melanggar perbatasan. Israel terus merambah pendudukannya di wilayah-wilayah
pemukiman rakyat Palestina, sehingga ribuan rakyat Palestina terusir dari tanah
mereka sendiri karena dirampas Israel. Sampai detik ini Israel terus membangun
perumahan-perumahan di tanah rakyat Palestina, sehingga bisa kita lihat wilayah
Palestina semakin mengecil, tidak sesuai sama sekali dengan batas-batas menurut
resolusi tersebut.
Sementara
itu, Amerika Serikat bergeming atas aksi terang-terangan Israel melanggar hukum
internasional. Bahkan terkesan kuat Amerika pasang badan atas segala sesuatu
yang menyudutkan Israel di PBB dengan hak vetonya. Amerika akan mengutuk keras
jika ada negara lain mengirim senjata untuk Palestina, sementara di hari yang
sama headline koran mereka berbunyi,
“Kongres Amerika menyetujui penjualan senjata 1 milyar dolar pada Israel”. Puluhan
presiden Amerika berganti, tidak ada satu pun yang bisa memberikan rasa
keadilan pada rakyat Palestina. Sehingga sangat kuat dugaan, Negara Israel yang
merupakan dosa warisan Kerajaan Britania Raya itu, telah diterima bulat-bulat
oleh Paman Sam sebagai “negara bagian ke-51” mereka.
Tujuh
puluh dua tahun setelah Perang Dunia II, semua bangsa telah memperoleh kemerdekaannya,
ada yang memilih bergabung dengan negara lain atau memisahkan diri membentuk
negara berdaulat sendiri, namun Palestina merupakan satu-satunya wilayah di
muka bumi yang masih terjajah secara defacto
dan dejure. Rakyat Palestina masih
terombang ambing nasib mereka di bawah cengkraman Zionis Israel. Di sisi lain
pada level internasional, negara-negara Arab tidak bisa berbuat banyak,
disebabkan kemelut yang terjadi di negara mereka pun sudah seperti benang
kusut. Internal Palestina juga mengalami hubungan yang sangat buruk antara Fatah
dengan Hamas. Perpecahan ini tentunya menguntungkan Israel karena kekuatan
rakyat Palestina lemah disebabkan perpecahan faksi-faksi mereka.
Puluhan
ribu sudah menemui ajal dalam konflik berkepanjangan antara Palestina dan
Israel. Ratusan ribu lainnya mengalami cacat fisik karena tembakan dan letupan
bom. Statistik menunjukkan korban terbanyak jatuh dari rakyat Palestina,
terutama dari kalangan perempuan dan anak-anak. Israel yang dilengkapi dengan
senjata-senjata pembunuhnya, siap menyapu bersih penduduk yang tidak berdosa
sekalipun. Tidak seimbang sama sekali dengan senjata yang dimiliki oleh rakyat Palestina,
yang bahkan pemudanya hanya menggunakan lemparan batu dan ketapel ke arah
tank-tank baja pasukan Zionis tersebut. Negeri Yerusalem bersimbah darah dan
merupakan tragedi kemanusiaan yang paling mengerikan abad ini.
Usaha
Amerika untuk melindungi Israel dapat dirasakan atas upaya yang mereka lakukan
untuk membungkam media mainstream. Media massa mereka menutupi akses berita
yang melemahkan Israel dan tim independen PBB pun turut dipengaruhi. Namun bau
busuk tidak dapat disembunyikan sama sekali. Keterbukaan media tidak dapat
dibendung dalam mencari data berupa informasi yang sebenarnya terjadi di bumi Palestina.
Sontak informasi tersebut megguncang dunia. Beberapa negara mengutuk aksi keji
Israel tersebut dan menyatakan keprihatinan yang mendalam atas tragedi
kemanusiaan yang dialami rakyat Palestina. Israel bergeming dengan upaya
diplomasi, terbukti ketika resolusi yang dikeluarkan PBB tidak menguntungkan
mereka, maka akan mereka ingkari tanpa takut terhadap ancaman negara lain.
Untuk
menangkis kecaman dunia internasional dan dalam rangka memproteksi
kesewenang-wenangan Israel terhadap Palestina, para Zionis mengembangkan
doktrin `anti semitik`. Artinya, jika ada orang atau negara mengutuk keras
Israel maka dianggap sebagai anti Yahudi, mereka seolah-olah menjadi kaum
paling teraniaya, sebagaimana pengalaman pahit Bangsa Yahudi yang dibantai oleh
Nazi pada peristiwa Holocaust. Doktrin ini berhasil di barat, seolah-olah barat
menanggung “dosa” Hitler kepada Yahudi, sehingga dunia modern harus melidungi Yahudi
sebagai korban genosida. Keistimewaan ini tentunya dimanfaatkan oleh Zionisme dalam
meligitimasi dan mengakselerasi Negara Israel Raya.
Puluhan
kali Palestina dan Israel dibawa ke meja perundingan, namun hasil yang dicapai
tidak signifikan. Secara logika, bisa kita analisis bahwa tidak akan pernah
tercipat kedamaian tanpa adanya keadilan dan kebebasan. Keadilan dan kebebasan
tumbuh jika kedua belah pihak memiliki komitmen tinggi untuk mematuhi setiap
butir perjanjian. Memang isu agama adalah dasar dari segala isu dalam proses
perdamain tersebut karena tanah Palestina merupakan titik kunci dari eksistensi
tiga agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam.
Sikap
Indonesia dalam konteks ini sangat jelas, yaitu mendukung penuh segala upaya
untuk kemerdekaan Palestina. Pembelaan terhadap Palestina adalah amanah
konstitusi dan merupakan salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia, ikut menjaga
ketertiban dunia. Politik luar negeri Indonesia bebas aktif, artinya masyarakat
dan pemerintah Indonesia memiliki wibawa, elegan, dan berkarakter, untuk bebas
memutuskan arah diplomasi negaranya dengan melihat permasalahan secara jernih,
tanpa intervensi negara mana pun. Aktif dalam hal ini berarti Indonesia
berkontribusi menggalang kekuatan dan sumber daya untuk membantu negara yang
masih tertindas dengan kesewenang-wenangan penjajahan.
Adapun
upaya proaktif Indonesia dalam mendukung Palestina dapat dirinci sebagai
berikut: Pertama, Optimalisasi
bantuan kemanusiaan. Mengingat kegentingan yang terjadi di Palestina dan
susahnya akses memperoleh kebutuhan pokok oleh penduduk lokal, pemerintah
diharapkan mengambil perhatian penuh dalam usaha penggalangan dana kemanusiaan
di dalam negeri. Selama ini sudah banyak lembaga-lembaga NGO Indonesia yang
melakukan kerja-kerja tersebut, tapi alangkah lebih baiknya untuk ditingkatkan
lagi dengan koordinasi dan akses yang mudah dari pemerintah. Pemerintah bisa
saja menginstruksikan pada setiap departemen menyisihkan belanja/anggaran
mereka untuk bantuan kemanusiaan Palestina ini, sehingga betul-betul tampak
keseriusan kita terhadap permasalahan yang menimpa mereka.
Kedua, Menggalang diplomasi untuk
pengakuan Palestina. Indonesia memiliki modal besar sebagai agen diplomasi
untuk kemerdekaan penuh Palestina karena Indonesia merupakan negara muslim
terbesar di dunia dan terbukti mampu mengayomi minoritas yang ada di dalam negaranya.
Kementerian luar negeri mesti gencar melakukan lobi-lobi diplomatik di dunia
internasional, sehingga masyarakat internasional lebih peka terhadap situasi
yang terjadi di bumi Al Quds tersebut.
Ketiga, Mendorong PBB untuk lebih tegas
terhadap Israel dalam mematuhi resolusi. Duta besar Indonesia untuk PBB dan Kemenlu
harus bersuara tegas terhadap pembangkangan Israel pada resolusi yang
dikeluarkan badan dunia tersebut. Pembicaraan dengan utusan-utusan negara lain
di badan dunia mesti digencarkan. Kita tidak mungkin meninggalkan Palestina sendirian
dengan keterbatasan mereka terus menerus menghadapi rongrongan Israel. Lobi
Indonesia perlu untuk meminta PBB mengizinkan pasukan perdamaian dari Indonesia
sendiri (TNI) ke Palestina disertai media independen, sehingga Israel tidak
bisa memonopoli wilayah yang bukan haknya. Kesadaran komunal yang dibangun atas
data dan fakta di lapangan mengenai apa yang terjadi di Palestina, tentunya akan
menjadi suatu modal besar bagi Indonesia dalam membantu mendorong kemerdekaan
penuh Palestina.
Keempat, Penguatan Organisasi Kerjasama
Islam (OKI) dan Konferensi Asia Afrika (KAA). Tujuan utama berdirinya OKI
adalah untuk melindungi masjid Al Aqsa dan mengantarkan Palestina menjadi
negara yang berdaulat. Tapi tujuan tersebut tidak menyentuh sasaran dan bahkan
terkesan hanya diplomasi hambar sejak organsisasi itu didirikan. Begitu pun
halnya dengan KAA, meninggalkan Palestina tanpa kepastian. Bagaimna kerasnya
para founding fathers KAA, seperti Soekarno
dan Jawaharlal Nehru (India) terhadap Israel hanya tinggal kenangan di buku
sejarah. Bahkan baru-baru ini Narendra Modi berbimbing tangan dengan Netanyahu
di Telaviv. Indonesia perlu membangkitkan semangat tersebut dan membuat
terobosan penting, agar puluhan negara OKI dan KAA itu menghimpun kembali
kekuatan untuk menekan Israel dan menjadikan setiap hembusan nafas anak Palestina
sebagai utang sejarah bagi mereka.
Kelima, Menutup pintu kerjas sama ASEAN
dengan Israel. Sebagai anggota inti di ASEAN, Indonesia perlu menekankan pada
kawasan bahwa penjajahan dan penindasan Israel di Palestina harus dihentikan
dengan tidak membuka kran kerjasama apa pun dengan Israel, sehingga Israel
tidak punya akses ke ASEAN. Namun hal yang mengecewakan terjadi ketika Singapura
membuka tangan pada Israel dengan beraninya Perdana Menteri Israel ke negeri
kecil di Asia Tenggara tersebut pada 20 Februari 2017. Hal ini sepi dari
pemberitaan karena kekhawatiran Singapura terjadinya gejolak penolakan di
Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia. Meski mencoba untuk ditutupi,
harusnya pemimpin-pemimpin ASEAN memberikan teguran keras pada Singapura atas
peristiwa tersebut. Memang Indonesia atau pemimpin negara mana pun tidak
berhak mendikte hubungan diplomatik Singapura
dengan negara tertentu, tetapi dengan membuka pintu pada Israel artinya Singapura
melegitimasi prilaku Israel melindas hukum-hukum internasional dan mengebiri Hak
Asasi Manusia (HAM) di tanah Palestina.
Keenam, Memboikot produk apa pun yang
memiliki jaringan ke Israel. Produk-produk Israel atau pun yang memiliki
afiliasi ke negara Zionis tersebut harus diboikot oleh Indonesia. Melumpuhkan
Israel sangat efektif dengan tidak membiarkan donator-donator mereka mengaruk
ekonomi dari negara-negara mayoritas muslim. Masyarakat Indonesia dan
pemerintah sudah saatnya bergandeng tangan untuk mengusir perusahaan-perusahaan
bayangan Israel tersebut dan membuang barang-barang dagangan mereka. Kalau pun
pemerintah tidak punya pengetahuan untuk itu, MUI perlu rasanya berinisiatif
untuk membuat list produk-produk yang berkaitan dengan Israel, sehingga ketika
umat Islam kompak meninggalkan produk mereka, perusahaan-perusahaan mereka akan
hengkang dengan sendirinya dari bumi pertiwi ini.
Beberapa
hari lagi Indonesia akan merayakan hari kemerdekaannya yang ke-72. Setiap sudut
kota dan desa akan bersolek menyambut nikmat kemerdekaan yang tak terhingga
dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun nun jauh di sana, ada satu bangsa yang masih
terjajah, tiada hari tanpa kematian saudara mereka. Bau mesiu masih tercium di
sudut-sudut gang Yerusalem, dan berubah menjadi aroma kematian ketika hari
beranjak menuju pukul sepuluh malam. Rumah-rumah mereka dibuldozer setiap hari
untuk mendirikan rumah baru bagi keluarga Yahudi, masjid-masjid tempat mereka
beribadah pun tidak lepas dari pengawasan ketat, dan ada luka primordial
psikologis yang tidak kunjung sembuh dalam hitungan puluhan tahun. Semua itu
menyisakan satu pertanyaan pada kita di negara ini, haruskah kita meniggalkan Palestina
sendirian berjuang untuk mencapai kemerdekaannya?
Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar