Utang Sejarah dan Refleksi 17 Agustus 2017: Usaha Proaktif Indonesia untuk Palestina - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Sabtu, 12 Agustus 2017

Utang Sejarah dan Refleksi 17 Agustus 2017: Usaha Proaktif Indonesia untuk Palestina

Setelah jatuhnya kekhalifahan Islam terakhir, Turki Utsmani, pada 1 November 1922 dan berubah menjadi negara demokrasi sekuler di bawah  kendali Mustafa Kemal Pasha (atau Mustafa Kemal Atatürk), negeri-negeri Islam banyak yang melepaskan diri, dan sebagian diambil alih oleh barat. Begitu pun halnya dengan tanah Palestina, yang sejak itu berada di bawah kendali Inggris dan sekutunya, karena Turki mengalami kerugian perang yang tidak sedikit. Sehingga kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh sekelompok Yahudi, yang telah didoktrin oleh fantasi bahwa kerajaan tuhan yang dijanjikan berada di tanah Palestina.

Adalah dia Theodor Herzl, seorang Yahudi berkebangsaan Hongaria, mendirikan Gerakan Zionisme pada tahun 1897. Setelah kecewa karena gagal membujuk Sultan Abdul Hamid II (Khalifah ke-34 Turki Utsmani) untuk memberikan izin pada Yahudi agar dibolehkan masuk ke tanah Palestina, ia merancang skenario besar, yaitu dengan cara menjadi donator perang untuk Inggris dan sekutunya. Sehingga Herzl dan para donator Zionisme-nya terjun dalam pengundian nasib, jika Inggris menang, maka untuk balas budi, mereka akan menutut akses ke Palestina.

Perang Dunia I berlangsung 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918. Peserta perang terdiri dari dua blok, yang dikenal dengan Blok Sekutu (Inggris, Perancis, Rusia, Italia, Amerika Serikat, dan lain-lain) dan Blok Sentral (Jerman, Austria, Turki Utsmani, Bulgaria, dan lain-lain). Di akhir perperangan, Blok Sentral mengalami kekalahan telak. Inggris dan Blok Sekutunya menang tetapi dililit utang yang tidak sedikit. Salah satu langkah untuk membalas jasa serta membayar utang pada Kaum Yahudi tersebut, maka proposal Zionis untuk masuk Palestina disetujui dengan mulus (baca: Deklarasi Balfour, 12 November 1917). Maka mulailah mereka mengumandangkan “seruan suci” untuk kembali ke tanah yang dijanjikan, Palestina. Berbondong-bondonglah orang-orang Yahudi dari berbagai belahan dunia datang ke Palestina dibawah pengawasan Inggris.

Awalnya mereka datang sebagai pendatang yang kesusahan dan dijamu layaknya pengungsi oleh orang-orang Arab dan suku Palestina. Namun orang Arab lengah, bahwa sesungguhnya mereka ke Palestina membawa misi Zionisme, yaitu pendirian Negara Yahudi. Tiga puluh satu tahun sejak kedatangannya, pada 14 Mei 1948 Israel memproklamirkan berdirinya Negara Yahudi, sebuah negara yang dipaksakan berdiri di atas tanah orang lain. Berdirinya negara Israel tidak diakui oleh Negara-Negara Islam dan bahkan memantik Perang Arab yang cukup lama, antara Israel dengan negara-negara Arab di sekitarnya. Namun karena multi kompleksnya krisis dan permasalahan di Timur Tengah, ditambah dengan perpecahan negara-negara Arab itu sendiri, akhirnya Israel tidak bisa dilumpuhkan. Hal ini juga ditambah dengan tidak sedikit tentara barat yang turut berjuang dan memasok senjata membantu Israel, karena membayar balas budi kepada Yahudi.

Pada 4 Juni 1967 keluar Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perbatasan wilayah Israel dengan Palestina, yang tidak disetujui oleh kedua belah pihak, bahkan oleh negara-negara Arab sekalipun, karena sejatinya Israel tidak punya hak sejengkal tanah pun di sana. Tetapi resolusi tersebut dipaksakan, dengan alasan sebagai alternatif perdamaian dua bangsa, Yahudi dan Arab. Akhirnya negara-negara Arab menyetujui. Dalam perjalanannya, konflik tidak pernah reda dan bahkan semakin tegang. Hal ini disebabkan Israel senantiasa dan selalu melanggar perbatasan. Israel terus merambah pendudukannya di wilayah-wilayah pemukiman rakyat Palestina, sehingga ribuan rakyat Palestina terusir dari tanah mereka sendiri karena dirampas Israel. Sampai detik ini Israel terus membangun perumahan-perumahan di tanah rakyat Palestina, sehingga bisa kita lihat wilayah Palestina semakin mengecil, tidak sesuai sama sekali dengan batas-batas menurut resolusi tersebut.

Sementara itu, Amerika Serikat bergeming atas aksi terang-terangan Israel melanggar hukum internasional. Bahkan terkesan kuat Amerika pasang badan atas segala sesuatu yang menyudutkan Israel di PBB dengan hak vetonya. Amerika akan mengutuk keras jika ada negara lain mengirim senjata untuk Palestina, sementara di hari yang sama headline koran mereka berbunyi, “Kongres Amerika menyetujui penjualan senjata 1 milyar dolar pada Israel”. Puluhan presiden Amerika berganti, tidak ada satu pun yang bisa memberikan rasa keadilan pada rakyat Palestina. Sehingga sangat kuat dugaan, Negara Israel yang merupakan dosa warisan Kerajaan Britania Raya itu, telah diterima bulat-bulat oleh Paman Sam sebagai “negara bagian ke-51” mereka.

Tujuh puluh dua tahun setelah Perang Dunia II, semua bangsa telah memperoleh kemerdekaannya, ada yang memilih bergabung dengan negara lain atau memisahkan diri membentuk negara berdaulat sendiri, namun Palestina merupakan satu-satunya wilayah di muka bumi yang masih terjajah secara defacto dan dejure. Rakyat Palestina masih terombang ambing nasib mereka di bawah cengkraman Zionis Israel. Di sisi lain pada level internasional, negara-negara Arab tidak bisa berbuat banyak, disebabkan kemelut yang terjadi di negara mereka pun sudah seperti benang kusut. Internal Palestina juga mengalami hubungan yang sangat buruk antara Fatah dengan Hamas. Perpecahan ini tentunya menguntungkan Israel karena kekuatan rakyat Palestina lemah disebabkan perpecahan faksi-faksi mereka.

Puluhan ribu sudah menemui ajal dalam konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel. Ratusan ribu lainnya mengalami cacat fisik karena tembakan dan letupan bom. Statistik menunjukkan korban terbanyak jatuh dari rakyat Palestina, terutama dari kalangan perempuan dan anak-anak. Israel yang dilengkapi dengan senjata-senjata pembunuhnya, siap menyapu bersih penduduk yang tidak berdosa sekalipun. Tidak seimbang sama sekali dengan senjata yang dimiliki oleh rakyat Palestina, yang bahkan pemudanya hanya menggunakan lemparan batu dan ketapel ke arah tank-tank baja pasukan Zionis tersebut. Negeri Yerusalem bersimbah darah dan merupakan tragedi kemanusiaan yang paling mengerikan abad ini.

Usaha Amerika untuk melindungi Israel dapat dirasakan atas upaya yang mereka lakukan untuk membungkam media mainstream. Media massa mereka menutupi akses berita yang melemahkan Israel dan tim independen PBB pun turut dipengaruhi. Namun bau busuk tidak dapat disembunyikan sama sekali. Keterbukaan media tidak dapat dibendung dalam mencari data berupa informasi yang sebenarnya terjadi di bumi Palestina. Sontak informasi tersebut megguncang dunia. Beberapa negara mengutuk aksi keji Israel tersebut dan menyatakan keprihatinan yang mendalam atas tragedi kemanusiaan yang dialami rakyat Palestina. Israel bergeming dengan upaya diplomasi, terbukti ketika resolusi yang dikeluarkan PBB tidak menguntungkan mereka, maka akan mereka ingkari tanpa takut terhadap ancaman negara lain.

Untuk menangkis kecaman dunia internasional dan dalam rangka memproteksi kesewenang-wenangan Israel terhadap Palestina, para Zionis mengembangkan doktrin `anti semitik`. Artinya, jika ada orang atau negara mengutuk keras Israel maka dianggap sebagai anti Yahudi, mereka seolah-olah menjadi kaum paling teraniaya, sebagaimana pengalaman pahit Bangsa Yahudi yang dibantai oleh Nazi pada peristiwa Holocaust. Doktrin ini berhasil di barat, seolah-olah barat menanggung “dosa” Hitler kepada Yahudi, sehingga dunia modern harus melidungi Yahudi sebagai korban genosida. Keistimewaan ini tentunya dimanfaatkan oleh Zionisme dalam meligitimasi dan mengakselerasi Negara Israel Raya.

Puluhan kali Palestina dan Israel dibawa ke meja perundingan, namun hasil yang dicapai tidak signifikan. Secara logika, bisa kita analisis bahwa tidak akan pernah tercipat kedamaian tanpa adanya keadilan dan kebebasan. Keadilan dan kebebasan tumbuh jika kedua belah pihak memiliki komitmen tinggi untuk mematuhi setiap butir perjanjian. Memang isu agama adalah dasar dari segala isu dalam proses perdamain tersebut karena tanah Palestina merupakan titik kunci dari eksistensi tiga agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam.

Sikap Indonesia dalam konteks ini sangat jelas, yaitu mendukung penuh segala upaya untuk kemerdekaan Palestina. Pembelaan terhadap Palestina adalah amanah konstitusi dan merupakan salah satu tujuan kemerdekaan Indonesia, ikut menjaga ketertiban dunia. Politik luar negeri Indonesia bebas aktif, artinya masyarakat dan pemerintah Indonesia memiliki wibawa, elegan, dan berkarakter, untuk bebas memutuskan arah diplomasi negaranya dengan melihat permasalahan secara jernih, tanpa intervensi negara mana pun. Aktif dalam hal ini berarti Indonesia berkontribusi menggalang kekuatan dan sumber daya untuk membantu negara yang masih tertindas dengan kesewenang-wenangan penjajahan.

Adapun upaya proaktif Indonesia dalam mendukung Palestina dapat dirinci sebagai berikut: Pertama, Optimalisasi bantuan kemanusiaan. Mengingat kegentingan yang terjadi di Palestina dan susahnya akses memperoleh kebutuhan pokok oleh penduduk lokal, pemerintah diharapkan mengambil perhatian penuh dalam usaha penggalangan dana kemanusiaan di dalam negeri. Selama ini sudah banyak lembaga-lembaga NGO Indonesia yang melakukan kerja-kerja tersebut, tapi alangkah lebih baiknya untuk ditingkatkan lagi dengan koordinasi dan akses yang mudah dari pemerintah. Pemerintah bisa saja menginstruksikan pada setiap departemen menyisihkan belanja/anggaran mereka untuk bantuan kemanusiaan Palestina ini, sehingga betul-betul tampak keseriusan kita terhadap permasalahan yang menimpa mereka.

Kedua, Menggalang diplomasi untuk pengakuan Palestina. Indonesia memiliki modal besar sebagai agen diplomasi untuk kemerdekaan penuh Palestina karena Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia dan terbukti mampu mengayomi minoritas yang ada di dalam negaranya. Kementerian luar negeri mesti gencar melakukan lobi-lobi diplomatik di dunia internasional, sehingga masyarakat internasional lebih peka terhadap situasi yang terjadi di bumi Al Quds tersebut.

Ketiga, Mendorong PBB untuk lebih tegas terhadap Israel dalam mematuhi resolusi. Duta besar Indonesia untuk PBB dan Kemenlu harus bersuara tegas terhadap pembangkangan Israel pada resolusi yang dikeluarkan badan dunia tersebut. Pembicaraan dengan utusan-utusan negara lain di badan dunia mesti digencarkan. Kita tidak mungkin meninggalkan Palestina sendirian dengan keterbatasan mereka terus menerus menghadapi rongrongan Israel. Lobi Indonesia perlu untuk meminta PBB mengizinkan pasukan perdamaian dari Indonesia sendiri (TNI) ke Palestina disertai media independen, sehingga Israel tidak bisa memonopoli wilayah yang bukan haknya. Kesadaran komunal yang dibangun atas data dan fakta di lapangan mengenai apa yang terjadi di Palestina, tentunya akan menjadi suatu modal besar bagi Indonesia dalam membantu mendorong kemerdekaan penuh Palestina.

Keempat, Penguatan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Konferensi Asia Afrika (KAA). Tujuan utama berdirinya OKI adalah untuk melindungi masjid Al Aqsa dan mengantarkan Palestina menjadi negara yang berdaulat. Tapi tujuan tersebut tidak menyentuh sasaran dan bahkan terkesan hanya diplomasi hambar sejak organsisasi itu didirikan. Begitu pun halnya dengan KAA, meninggalkan Palestina tanpa kepastian. Bagaimna kerasnya para founding fathers KAA, seperti Soekarno dan Jawaharlal Nehru (India) terhadap Israel hanya tinggal kenangan di buku sejarah. Bahkan baru-baru ini Narendra Modi berbimbing tangan dengan Netanyahu di Telaviv. Indonesia perlu membangkitkan semangat tersebut dan membuat terobosan penting, agar puluhan negara OKI dan KAA itu menghimpun kembali kekuatan untuk menekan Israel dan menjadikan setiap hembusan nafas anak Palestina sebagai utang sejarah bagi mereka.

Kelima, Menutup pintu kerjas sama ASEAN dengan Israel. Sebagai anggota inti di ASEAN, Indonesia perlu menekankan pada kawasan bahwa penjajahan dan penindasan Israel di Palestina harus dihentikan dengan tidak membuka kran kerjasama apa pun dengan Israel, sehingga Israel tidak punya akses ke ASEAN. Namun hal yang mengecewakan terjadi ketika Singapura membuka tangan pada Israel dengan beraninya Perdana Menteri Israel ke negeri kecil di Asia Tenggara tersebut pada 20 Februari 2017. Hal ini sepi dari pemberitaan karena kekhawatiran Singapura terjadinya gejolak penolakan di Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia. Meski mencoba untuk ditutupi, harusnya pemimpin-pemimpin ASEAN memberikan teguran keras pada Singapura atas peristiwa tersebut. Memang Indonesia atau pemimpin negara mana pun tidak berhak  mendikte hubungan diplomatik Singapura dengan negara tertentu, tetapi dengan membuka pintu pada Israel artinya Singapura melegitimasi prilaku Israel melindas hukum-hukum internasional dan mengebiri Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Palestina.

Keenam, Memboikot produk apa pun yang memiliki jaringan ke Israel. Produk-produk Israel atau pun yang memiliki afiliasi ke negara Zionis tersebut harus diboikot oleh Indonesia. Melumpuhkan Israel sangat efektif dengan tidak membiarkan donator-donator mereka mengaruk ekonomi dari negara-negara mayoritas muslim. Masyarakat Indonesia dan pemerintah sudah saatnya bergandeng tangan untuk mengusir perusahaan-perusahaan bayangan Israel tersebut dan membuang barang-barang dagangan mereka. Kalau pun pemerintah tidak punya pengetahuan untuk itu, MUI perlu rasanya berinisiatif untuk membuat list produk-produk yang berkaitan dengan Israel, sehingga ketika umat Islam kompak meninggalkan produk mereka, perusahaan-perusahaan mereka akan hengkang dengan sendirinya dari bumi pertiwi ini.

Beberapa hari lagi Indonesia akan merayakan hari kemerdekaannya yang ke-72. Setiap sudut kota dan desa akan bersolek menyambut nikmat kemerdekaan yang tak terhingga dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun nun jauh di sana, ada satu bangsa yang masih terjajah, tiada hari tanpa kematian saudara mereka. Bau mesiu masih tercium di sudut-sudut gang Yerusalem, dan berubah menjadi aroma kematian ketika hari beranjak menuju pukul sepuluh malam. Rumah-rumah mereka dibuldozer setiap hari untuk mendirikan rumah baru bagi keluarga Yahudi, masjid-masjid tempat mereka beribadah pun tidak lepas dari pengawasan ketat, dan ada luka primordial psikologis yang tidak kunjung sembuh dalam hitungan puluhan tahun. Semua itu menyisakan satu pertanyaan pada kita di negara ini, haruskah kita meniggalkan Palestina sendirian berjuang untuk mencapai kemerdekaannya?

Tanjong Malim, 12 Agustus 2017


Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar