Masjid-masjid besar jika kita perhatikan saldo
infak yang mereka simpan di bank, sungguh menakjubkan. Bahkan ada yang mencapai
angka ratusan juta rupiah, dan itu terus ditimbun dengan sedekah jemaah yang
terus mengalir. Sehingga secara sekilas hal itu sudah berubah seperti sebuah ajang
kompetisi antara masjid yang satu dengan yang lainnya, ingin menunjukkan bahwa
masjid merekalah yang paling banyak meraup rupiah. Ini terjadi biasanya pada
masjid-masjid mewah di tengah kota, dikelilingi oleh dermawan dan tempat
strategis ketika orang singgah dalam suatu perjalanan. Namun apakah “timbunan”
uang infak tersebut adalah pilihan yang bijak?
Tentu saja ini menjadi suatu hal yang janggal
bagi orang Islam yang menyerapi fenomena sosial. Masih sangat banyak
masjid-masjid dan surau di daerah sana yang masih terbengkalai dalam pembangunan.
Masih ramai kita temukan anak-anak berdiri dengan bakul yang terbuat dari
anyaman rotan di tepi jalan, meminta sumbangan untuk pembangunan rumah ibadah.
Terkadang jangankan memberi, malah pengendara merasa terganggu, dan tidak
jarang mereka menghardik dengan muka masam. Sementara itu musafir, kaum dhuafa,
dan orang-orang yang kurang beruntung lainnya masih banyak yang menjerit di
setiap bengkolan keramaian kota, sampai ke sudut-sudut perkampungan, kegerahan
menanggung beban hidup yang semakin hari tidak menentu. Mereka semua adalah
orang Islam, bersyahadat, dan menyembah Tuhan yang sama dengan si pengurus
masjid-masjid megah.
Jika ada yang mengatakan bahwa uang zakat
sudah ada untuk menanggulangi mereka, pertanyaannya, apakah sudah cukup? Sudah
jadi rahasia umum berapa jumlah uang zakat di Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah
Daerah (BAZISDA) dan bagaimana ribet proses pencairannya. Selain itu cakupan BAZISDA
sangat luas, sehingga kecil kemungkinan penerima zakat akan merasa terpenuhi
kebutuhan mereka dengan bantuan yang diterima dari lembaga zakat tersebut. Sementara
kebutuhan kaum muslimin sangat banyak dan bahkan mendesak, sehingga diperlukan
penanganan yang kreatif dan solutif terhadap dana-dana lembaga umat Islam,
termasuk dalam hal ini keuangan masjid.
Kita tentunya tidak ingin niat baik jemaah
yang menyumbangkan hartanya untuk masjid ternodai dengan kebijakan pengurus
masjid dengan cara mengendapkan duit di bank. Pada kesempatan ini saya ingin
menawarkan ide tentang manajemen penggunaan dana umat yang bisa dikatakan
melimpah di masjid-masjid besar. Caranya adalah, masjid bisa mengkalkulasikan
anggaran kebutuhan mereka selama 6 bulan (semester) ke depan. Anggaran tersebut
mesti habis untuk jangka waktu tersebut. Mulai dari biaya listrik per bulan,
air, honor imam, muazin, dan marbot, gaji guru MDA, honor khatib jumat, dan bahkan siapa-siapa
saja yang akan memberikan tausiah selama 6 bulan yang akan datang sudah
dikalkulasikan semua. Sehingga, jika telah dihitung budget seperti itu, dana yang tersisa ini layaklah disumbangkan
kepada masjid-masjid lain yang sedang mengadakan proses pembangunan. Untuk cara
penganggaran berikutnya, setelah program 6 bulan diawal itu terlaksana, pendapatan
masjid pada bulan ini misalnya, bisa dikalkulasikan berapa dana yang dibutuhkan
untuk satu bulan berikutnya (di belakang semester), itu disimpan, dan dana yang
berlebih didistribusikan.
Dana itu tidak hanya bisa digunakan untuk
pembangunan masjid lain secara fisik, ia bisa juga digunakan untuk membantu
operasional, sehingga niat baik umat dalam memberikan infak mereka ke masjid
tersalurkan secara paripurna. Selain menyebarkan dana masjid besar ke masjid
lain, dana tersebut juga bisa disalurkan terhadap hal-hal yang sifatnya
menyangkut kebutuhan mendesak umat Islam. Pengurus masjid tidak mesti ketat
mengatakan bahwa uang masjid untuk masjid, tetapi juga bisa digunakan untuk
pemberdaayaan umat dan memberatas ketimpangan sosial. Betapa banyak umat Islam yang
masih hidup di bawah standar kesejahteraan, pendidikan mereka kesulitan, dan
ekonomi umat yang terseok. Masjid bisa mengambil peran aktif dalam hal ini,
seperti bantuan langsung atau bantuan pinjaman modal dengan angsuran ringan per
bulannya.
Tulisan ini muncul karena kegelisahan penulis
dari hasil pengamatan pada beberapa masjid kita yang tidak efektif sama sekali dalam
mengurus keuangan mereka. Penulis melihat sisa kas masjid yang menggunung,
sementara masjid yang bersangkutan tidak ada lagi aspek fisik yang perlu
dibangun. Jangan paksakan pembangunan fisik pada aspek yang tidak perlu,
sementara mental umat sedang sakit. Untuk apa berdiri masjid-masjid megah jika
jamaah yang menghidupkannya hanya dalam hitungan jari. Bahkan dengan uang yang
banyak tersebut, program kajian kepemudaan sering terabaikan, sehingga banyak
pemuda-pemuda yang tidak memiliki rasa cinta pada masjid dan pada agamanya. Kembalikan
uang umat kepada umat, karena banyak sedikitnya kas masjid bukan untuk
menentukan jelek atau bagusnya prestasi pengurus, melainkan sejauh mana upaya
pengurus mengelola dana masjid secara efektif, efisien, dan berorientasi pada
pembangunan umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar