Sepintas lalu, jika
diperhatikan pada zaman postmodern yang sedang kita lalui ini, mungkin banyak
di antara kita yang beranggapan bahwa tugas guru semakin enteng dan mudah,
karena teknologi sudah mengambil peran terlalu jauh dalam pembelajaran. Tapi
semua anggapan itu sebenarnya tidak bisa diterima sama sekali. Justru guru
memasuki babak tantangan baru dalam karir mereka, dengan beban tugas yang
banyak ditambah aneka tuntutan kompetensi yang harus mereka kuasai.
Guru telah mamasuki
era di mana keterbukaan informasi menjadi suatu hal yang tidak bisa
dielakkan. Peserta didik bisa saja mengakses materi pelajaran dengan cara
yang lebih canggih dari pada guru mereka di sekolah. Sementara dalam hal
bermedia sosial, wibawa guru dipertaruhkan dengan paparan nyata figur seperti
apa yang mereka tampilkan, dan boleh jadi berujung pada pengkerdilan identitas
mereka sebagai insan yang selama ini diharapkan layak digugu dan ditiru, tetapi
menampilkan sesuatu di luar kepantasan di dunia maya. Sehingga semua perwajahan
di dunia maya tersebut berimbas ke dunia nyata.
Merujuk fenomena
tersebut, maka perlulah rasanya pakar pendidikan memikirkan dan merumuskan
mengenai kompetensi tambahan apa yang cocok dimiliki oleh para guru pada abad
ini. Secara umum, sejauh ini kita kenal beberapa kompetensi yang harus dimiliki
oleh seorang guru, seperti: kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogi,
kompetensi professional, dan kompetensi sosial. Melalui tulisan singkat ini,
penulis ikut mengambil bagian dalam pengusulan kompetensi lain yang patut juga
rasanya dipertimbangkan untuk diusung oleh seorang guru, yaitu
kompetensi digital.
Kompetensi digital
dapat dibagi dalam beberapa aspek : (1) Bagaimana seorang guru mahir
menggunakan teknologi dalam mencari sumber-sumber mutakhir untuk peningkatan kualitas
pembelajarannya; (2) Guru membuat suatu pendekatan pembelajaran berbasis
teknologi dengan memperhatikan minat dan kemampuan serta bakat siswa; (3)
Cerdas dalam bermedia sosial, dengan mengkaunter informasi hoax dan mendiskusikannya dengan siswa; dan (4) Digital performance sangat penting untuk mempertahankan wibawa dan karakter
utama seorang guru.
Kemajuan teknologi
telah menyibak tirai senioritas keilmuan, membuat penyetaraan secara tidak
langsung, dan berorientasi pada efetivitas dan efisiensi. Oleh karena itu, agar
guru tidak tertinggal jauh dari murid, mereka harus mampu menguasai teknologi.
Meramu bahan pembelajaran yang diambil dari berbagai sumber untuk didiskusikan
di dalam kelas. Guru harus update
dengan informasi yang berkembang terutama mengenai bidang keilmuannya, sehingga
ia mampu memberi contoh-contoh yang “tidak biasa “. Contoh yang “tidak biasa”
maksudnya contoh yang tidak hanya tertulis di buku paket siswa atau
cerita-cerita rekaan umum masyarakat selama ini, melainkan penyajian contoh
dengan meng-upgrade informasi terkini
yang sedang didiskusikan pula oleh ilmuan kontemporer. Jika guru mampu
memberikam sesuatu yang baru dan berkualitas tentunya akan meningkatkan minat
murid dalam belajar, keingintahuan mereka semakin tinggi dan motivasi belajar
mereka pun meningkat.
Pendekatan berbasis
teknologi bukan bermaksud mewajibkam siswa memakai handphone atau tablet canggih dalam proses pembelajaran. Tapi guru
harus memahami siswa dari perspektif siswa itu sendiri, setiap mereka memiliki
kecenderungan suasana pembelajaran yang menarik. Guru-guru hendaknya berupaya
memanfaatkan teknologi dalam menjawab kebutuhan ini. Mereka bisa menyiapkan PowerPoint, gambar, atau pun video-video
yang mampu menunjang minat siswa. Selain itu guru harus sadar bahwa setiap anak
memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda, maka penggunaan teknologi bukan memaksa
menyatukan mereka, tapi mengidentifikasi cara seperti apa yang cocok untuk
mengajar kepada mereka para siswa tesebut. Suasana kelas harus kondusif dengan
ketersediaan media pembelajaran yang berbasis teknologi. Setiap siswa
diberi kesempatan untuk mengekspresikan perasaan mereka dalam belajar, hingga
pendidikan betul-betul untuk “membebaskan dan memerdekakan”.
Sementara itu, guru
harus bijak dalam bermedia sosial, tidak menelan isu mentah-mentah dan ikut
menyebarkan berita-berita bohong. Sosok guru sering kehilangan kendali di dunia
maya, sehingga persepsi siswa ketika melihat postingan gurunya, jadi tidak baik
karena kecerobohan guru tersebut. Sejatinya guru diharapkan dapat mengkaunter
berita-berita hoax dan berperan aktif
menyebarkan internet positif. Begitupun dalam kelas, ketika intermezzo, guru juga bisa mengemukakan
isu-isu yang muncul, untuk melihat sejauh mana siswa memahami dan menangani
informasi di media sosial.
Selanjutnya adalah digital
performance seorang guru dewasa ini juga menjadi perhatian khusus. Apalagi
guru-guru yang berada di negara dengan akar budaya dan agama yang kuat. Mereka
harus menjunjung tradisi timur yang sarat dengan kesopanan dan tata krama.
Riskan rasanya seorang guru yang berpenampilan “kemas” di depan kelas, namun
semrawut di media sosial, tentunya ini menjadi perbincangan hangat di kalangan
siswa di belakang si guru. Status atau pun postingan guru seharusnya
meningkatkan kesadaran pada pendidikan, membangun semangat belajar, dan
berorientasi pada pengembangan aktualisasi diri dari orang-orang yang
melihatnya.
Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia.
Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar