Kompetensi Digital: Suatu Keniscayaan bagi Guru Zaman Now - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Selasa, 28 November 2017

Kompetensi Digital: Suatu Keniscayaan bagi Guru Zaman Now

Sepintas lalu, jika diperhatikan pada zaman postmodern yang sedang kita lalui ini, mungkin banyak di antara kita yang beranggapan bahwa tugas guru semakin enteng dan mudah, karena teknologi sudah mengambil peran terlalu jauh dalam pembelajaran. Tapi semua anggapan itu sebenarnya tidak bisa diterima sama sekali. Justru guru memasuki babak tantangan baru dalam karir mereka, dengan beban tugas yang banyak ditambah aneka tuntutan kompetensi yang harus mereka kuasai.
Guru telah mamasuki era di mana keterbukaan informasi menjadi suatu hal yang tidak bisa dielakkan.  Peserta didik bisa saja mengakses materi pelajaran dengan cara yang lebih canggih dari pada guru mereka di sekolah. Sementara dalam hal bermedia sosial, wibawa guru dipertaruhkan dengan paparan nyata figur seperti apa yang mereka tampilkan, dan boleh jadi berujung pada pengkerdilan identitas mereka sebagai insan yang selama ini diharapkan layak digugu dan ditiru, tetapi menampilkan sesuatu di luar kepantasan di dunia maya. Sehingga semua perwajahan di dunia maya tersebut berimbas ke dunia nyata.

Merujuk fenomena tersebut, maka perlulah rasanya pakar pendidikan memikirkan dan merumuskan mengenai kompetensi tambahan apa yang cocok dimiliki oleh para guru pada abad ini. Secara umum, sejauh ini kita kenal beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, seperti: kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogi, kompetensi professional, dan kompetensi sosial. Melalui tulisan singkat ini, penulis ikut mengambil bagian dalam pengusulan kompetensi lain yang patut juga rasanya dipertimbangkan untuk diusung oleh seorang guru,  yaitu kompetensi digital.
Kompetensi digital dapat dibagi dalam beberapa aspek : (1) Bagaimana seorang guru mahir menggunakan teknologi dalam mencari sumber-sumber mutakhir untuk peningkatan kualitas pembelajarannya; (2) Guru membuat suatu pendekatan pembelajaran berbasis teknologi dengan memperhatikan minat dan kemampuan serta bakat siswa; (3) Cerdas dalam bermedia sosial, dengan mengkaunter informasi hoax dan mendiskusikannya dengan siswa; dan (4) Digital performance sangat penting untuk mempertahankan wibawa dan karakter utama seorang guru.
Kemajuan teknologi telah menyibak tirai senioritas keilmuan, membuat penyetaraan secara tidak langsung, dan berorientasi pada efetivitas dan efisiensi. Oleh karena itu, agar guru tidak tertinggal jauh dari murid, mereka harus mampu menguasai teknologi. Meramu bahan pembelajaran yang diambil dari berbagai sumber untuk didiskusikan di dalam kelas. Guru harus update dengan informasi yang berkembang terutama mengenai bidang keilmuannya, sehingga ia mampu memberi contoh-contoh yang “tidak biasa “. Contoh yang “tidak biasa” maksudnya contoh yang tidak hanya tertulis di buku paket siswa atau cerita-cerita rekaan umum masyarakat selama ini, melainkan penyajian contoh dengan meng-upgrade informasi terkini yang sedang didiskusikan pula oleh ilmuan kontemporer. Jika guru mampu memberikam sesuatu yang baru dan berkualitas tentunya akan meningkatkan minat murid dalam belajar, keingintahuan mereka semakin tinggi dan motivasi belajar mereka pun meningkat.
Pendekatan berbasis teknologi bukan bermaksud mewajibkam siswa memakai handphone atau tablet canggih dalam proses pembelajaran. Tapi guru harus memahami siswa dari perspektif siswa itu sendiri, setiap mereka memiliki kecenderungan suasana pembelajaran yang menarik. Guru-guru hendaknya berupaya memanfaatkan teknologi dalam menjawab kebutuhan ini. Mereka bisa menyiapkan PowerPoint, gambar, atau pun video-video yang mampu menunjang minat siswa. Selain itu guru harus sadar bahwa setiap anak memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda, maka penggunaan teknologi bukan memaksa menyatukan mereka, tapi mengidentifikasi cara seperti apa yang cocok untuk mengajar kepada mereka para siswa tesebut. Suasana kelas harus kondusif dengan ketersediaan media pembelajaran yang berbasis teknologi.  Setiap siswa diberi kesempatan untuk mengekspresikan perasaan mereka dalam belajar, hingga pendidikan betul-betul untuk “membebaskan dan memerdekakan”.
Sementara itu, guru harus bijak dalam bermedia sosial, tidak menelan isu mentah-mentah dan ikut menyebarkan berita-berita bohong. Sosok guru sering kehilangan kendali di dunia maya, sehingga persepsi siswa ketika melihat postingan gurunya, jadi tidak baik karena kecerobohan guru tersebut. Sejatinya guru diharapkan dapat mengkaunter berita-berita hoax dan berperan aktif menyebarkan internet positif. Begitupun dalam kelas, ketika intermezzo, guru juga bisa mengemukakan isu-isu yang muncul, untuk melihat sejauh mana siswa memahami dan menangani informasi di media sosial.
Selanjutnya adalah digital performance seorang guru dewasa ini juga menjadi perhatian khusus. Apalagi guru-guru yang berada di negara dengan akar budaya dan agama yang kuat. Mereka harus menjunjung tradisi timur yang sarat dengan kesopanan dan tata krama. Riskan rasanya seorang guru yang berpenampilan “kemas” di depan kelas, namun semrawut di media sosial, tentunya ini menjadi perbincangan hangat di kalangan siswa di belakang si guru. Status atau pun postingan guru seharusnya meningkatkan kesadaran pada pendidikan, membangun semangat belajar, dan berorientasi pada pengembangan aktualisasi diri dari orang-orang yang melihatnya.


Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar