Tarung Gladiator dan Marginalisasi Rohis - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Jumat, 01 Desember 2017

Tarung Gladiator dan Marginalisasi Rohis

Dunia pendidikan tanah air kembali dikejutkan dengan terjadinya peristiwa yang sangat tragis dan berakhir dengan meninggalnya seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP). Peristiwa itu ialah taruhan antar pelajar gaya baru, yang disebut dengan “tarung gladiator”. Kabarnya, dalam tarung ini, pelajar berhadapan face to face, saling beradu ilmu kebal. Siapa yang memiliki “keilmuan” yang dalam maka ia akan bertahan dan lawannya akan tumbang, bahkan sampai menemui ajal. Selama ini kita hanya menganggap hal seperti itu hanya cerita isapan jempol belaka dan sebagai dongeng pengantar tidur, tapi ini nyata dan ada buktinya.

Kejadian ini terjadi di Bogor, Jawa Barat, pertarungan gladiator antara dua orang pelajar dari sekolah yang berbeda yaitu SMP Islam Asy Syuhada dan SMP Asolihiyah Leuwiu, pada Jumat (24/11) lalu. Hasil pertarungan tersebut siswa berinisial ARS (16 tahun) meregang nyawa. Sementara lawannya yang masih hidup, langsung di proses oleh kepolisian. Informasi terakhir menyebutkan bahwa pihak keluarga korban memaafkan si pelaku, karena merasa kasihan dengan nasib hidup yang menimpa pelaku karena ia juga berasal dari keluarga dengan ekonomi memprihatinkan. Konon kabarnya tarung seperti ini bukan yang pertama, sebab peristiwa serupa juga terjadi tahun lalu (2016) yang juga telah menelan korban nyawa.

Bagai api yang membakar daun kering, kejadian ini memantik komentar praktisi, akademisi, dan pengambil kebijakan. Perlu rasanya untuk ditinjau dengan cermat tentang apa yang berlaku di institusi pendidikan kita. Bahkan Mendikbud, Muhadjir Efendi, pun ikut bersuara, beliau mengatakan akan menjatuhkan sanksi yang tidak main-main kepada sekolah yang terlibat, namun tidak diketahui sanksi seperti apa yang dimaksud dan siapa yang akan disanksi terkait dengan kasus tersebut.

Bagi penulis, yang sangat memprihatinkan adalah, kejadian ini dilakukan oleh murid dari sekolah agama, yang dari namanya saja orang sudah tahu bahwa ini sekolah-sekolah Islam. Memang kita tidak bisa menyalahkan nama yang disandangnya, tapi kita bisa mempertanyakan mengapa ini bisa sampai terjadi? Di luar sana, sangat tinggi ekspektasi orang-orang Islam terhadap sekolah-sekolah berbasis agama. Karena memang penerapan nilai-nilai agama inilah yang menjadi daya tarik mereka.

Maka dalam hal ini, seluruh komponen sekolah harusnya melakukan evaluasi terhadap tugas dan fungsi mereka selama ini. Keterlibatan aspek eksternal seperti tokoh-tokoh masyarakat dan para wali murid sangat diutamakan dalam menangani dan mencegah kejadian ini berlanjut menjadi suatu tradisi barbar. Sementara itu aspek internal berupa organisasi ekstrakurikuler di sekolah juga tidak bisa diabaikan. Termasuk tentunya pada organisasi yang selama ini fokus membina akhlak dan motivasi belajar siswa, seperti Kerohanian Islam (selanjutnya akan ditulis: Rohis) di sekolah.

Beberapa orang yang mengaku dirinya sebagai pemerhati pendidikan, memperlihatkan ketakutan berlebihan pada Rohis, mereka memarginalkan Rohis, dan menuduh organisasi ini membidani lahirnya pemahaman  Islam radikal dan ekstrim. Tapi mereka pura-pura tidak tahu bahwa anak-anak Rohis lah sebenarnya yang menjadi tameng penangkal penyakit remaja. Pernahkah kita mendengar aktivis Rohis terlibat dengan tarung gladiator atau taruhan antar pelajar di sekolah?

Faktanya, Rohis adalah wadah pembinaan karakter yang sesungguhnya. Sistem mentoring yang didesain dan dilaksanakan oleh Rohis membentuk hubungan yang sangat kuat antara mentor dengan anggota kelompoknya, bahkan sesama anggota kelompok yang berada di dalamnya. Kekuatan ini bukan untuk show force atau pun gaya-gayaan pada orang lain, melainkan sebagai wadah bagi mereka untuk berlomba-lomba melakukan yang terbaik dalam hidup yang singkat ini. Kesemua itu akan bermuara pada terbentuknya hubungan yang harmonis antara pelajar dalam bingkai penguatan karakter berlandaskan nilai-nilai agama.

Orang-orang yang mengatakan Rohis ekslusif, bisa jadi disebabkan mereka lebih duluan menuduh, tanpa berusaha melihat langsung dari dalam.  Rohis membuka pintunya dengan sangat lebar bagi guru-guru untuk terlibat dan mengawasi langsung kegiatan mereka. Ketika mengadakan acara -acara pelatihan, mabit, atau pun outbond, mereka juga meminta kehadiran guru. Maka berita miring berupa tuduhan bahwa mereka membawa bibit radikal di sekolah, tidaklah manusiawi sama sekali.

Sebagai organisasi keislaman, Rohis berperan aktif dalam mengkaunter isu -isu moral di kalangan remaja, karena sistem mentoring bertingkat yang mereka jalankan telah membentuk suatu mekanisme pertahanan identitas. Selain itu Rohis juga berperan dalam menangkis pendangkalan akidah generasi muda dan memupuk rasa hormat pada orang tua. Adapun beberapa kecemasan praktisi pendidikan berupa temuan penelitian tentang kecenderungan radikal pada anggota Rohis adalah kasuistik belaka, dan jangan lupa itu hanya dugaan dengan memperhatikan gejala yang masih menggunakan standard debatable.

Mari sejenak kita merenung dari dua fenomena ini, yaitu antara rohis dan tarung gladiator di kalangan remaja. Aktivis rohis telah bertebaran di berbagai sekolah dan pada umumnya mereka memiliki pemahaman dan komitmen yang baik dalam menjunjung nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin, tanpa mengesampingkan sisi akademik sebagai pelajar. Sementara tarung gladiator adalah hasil dari sistem sekolah dan kegiatan ekskul yang gagal menampung kebutuhan siswa. Siswa pada usia remaja memerlukan bimbingan ekstra tetapi secara bersamaan mereka tidak mau dikekang. Mereka dipenuhi oleh rasa penasaran yang tinggi dan memerlukan alasan logis untuk menerima suatu pemahaman. Rohis telah mengembangkan instrumen untuk menjawab kebutuhan seperti ini di sekolah.


Notes: Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku, "Nyata Bekerja Cerdas Berkarya" yang diterbitkan oleh PPI Malaysia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar