Data statistik menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan minat masyarakat Indonesia untuk memasuki perguruan
tinggi pada setiap tahunnya. Ayu (2015)
melalui analisis data BPS, membuktikan bahwa jumlah lulusan jenjang pendidikan
menengah yang melanjutkan ke perguruan tinggi meningkat setiap tahunnya. Pada
tahun 2010 ke tahun 2011 terdapat kenaikan sebesar 0,49%, tahun 2011 ke tahun
2012 mengalami kenaikan sebesar 1,58%, dan dari tahun 2012 ke tahun 2013
mengalami kenaikan sebesar 4,13%. Setiap tahun angka partisipasi sekolah pada
perguruan tinggi mengalami kenaikan.
Ujian masuk perguruan
tinggi, baik negeri maupun swasta dibanjiri oleh tunas muda harapan bangsa
dengan berbagai motivasi yang melatarinya. Rasanya ijazah sekolah menengah yang
mereka terima belumlah “asli”, sebelum duduk di bangku perkuliahan. Bahkan baju
yang dicoret-coret (contoh tradisi yang tidak baik) ketika pesta kelulusan
kurang afdhal kalau tidak berganti dengan coretan skripsi di menara gading.
Sebenarnya ada banyak
faktor yang mendorong seorang anak memutuskan untuk melanjutkan studi ke
pendidikan tinggi. Faktor-faktor ini jugalah yang membentuk perwajahan seperti
apa seorang mahasiswa kelak di kampusnya. Hasil penelitian Kharisma dan Latifah (2015) menunjukkan
bahwa
terdapat pengaruh motivasi, prestasi belajar, status sosial ekonomi orang tua,
dan lingkungan teman sebaya secara simultan yang sangat dominan, terhadap minat
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Pada kesempatan ini,
penulis ingin mengungkap beberapa faktor dominan yang mendorong seorang pelajar
memilih untuk kuliah dan bagaimana fenomena yang terjadi setelah mereka berada
di kehidupan kampus. Pertama, dilihat dari faktor orang tua. Kekhawatiran yang
tinggi terhadap masa depan anak membuat orang tua berpikir keras mencarikan
alternatif yang mereka anggap sebagai “jaminan” kesuksesan si anak.
Banyak orang tua yang
beranggapan bahwa kuliah merupakan kunci utama keberhasilan anak mereka di masa
depan. Tapi sangat jarang di antara mereka yang memikirkan kemauan dan bakat
apa yang dimiliki oleh si anak. Sehingga tidak jarang kita melihat, di hari
pendaftaran mahasiswa baru, lebih banyak orang tua yang berdiri dalam antrian
panjang untuk mengambil formulir dibandingkan dengan jumlah siswa.
Faktor lain yang mendorong
seorang anak untuk kuliah adalah, teman sebaya dan lingkungan sosial. Ketika
melihat teman diterima di sebuah perguruan tinggi ternama, seseorang bisa saja
berkhayal, ingin memperoleh hal yang sama dengan apa yang diraih temannya
tersebut. Mereka menganggap itu sebuah capaian yang luar biasa dan menuai
pujian di masyarakat. Di sisi lain, ada juga seorang teman yang merayu dan
membujuk dengan janji-janji manis masa depan, dan berakhir pada pertimbangan
khusus pada diri seseorang dalam menjatuhkan pilihannya.
Selain itu, “model kampung”
juga membawa pengaruh yang sangat efektif dalam mendorong siswa untuk kuliah.
Model kampung yang dimaksud dalam tulisan ini adalah, jika ada satu atau dua
orang anak kampung yang berhasil dalam pendidikan dan memperoleh pekerjaan yang
layak menurut standar mayarakat kampung, maka dia akan menjadi buah bibir
sepanjang pemandian tepi sungai. Setiap ibu berharap anak-anaknya kelak juga
seperti itu, sehingga si anak diberi sugesti-sugesti untuk mengikuti langkah
sang model tersebut. Si bapak pun akan memberi petuah pada anaknya tentang
kehebatan si model, sembari meresapi kopi hangat di beranda rumah, sebelum
mengangkat jala ikan menuju arah pantai. Bahkan terkadang si anak diajak untuk
menemui model kampung itu, agar dapat menjalin komunikasi dan suntikan
motivasi.
Namun sebenarnya faktor
yang paling penting adalah faktor yang berasal dari dalam diri sendiri. Kedua
faktor yang telah disebutkan di atas merupakan faktor eksternal. Sejatinya memang
antara faktor dalam dengan faktor luar tidak bisa berdiri sendiri-sendiri,
melainkan saling terkait. Faktor dari dalam diri individu adalah, bagaimana ia
memutuskan bahwa melanjutkan studi ke perguruan tinggi berasal dari kesadaran,
keinginan, dan mimpi yang hendak ia wujudkan.
Ia sadar bahwa dia memiliki
potensi yang bisa berkembang lebih baik dengan memasuki perguruan tinggi. Ia
percaya bahwa kuliah bukan hanya untuk “gaya-gayaan”, agar dianggap “keren” di
mata orang banyak. Ia memahami bahwa setiap pilihan hidup penuh dengan
konsekuensi dan dia siap menghadapi kemungkinan apa yang akan terjadi pada
dirinya atas apa yang ia putuskan.
Selain kesadaran, ia harus
memiliki keinginan yang kuat. Keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik
dan lebih mengetahui hakikat hidupnya yang sebentar ini. Ia juga memiliki
kemauan untuk memberdayakan segala kemampuan terbaiknya untuk bisa
berkontribusi pada lingkungannya. Ia berkomitmen menjadi agen kehidupan
berkualitas, pencipta kedamaian, dan membantu membawa seberkas cahaya lilin di
tengah ruang tak bertepi di tengah malam yang gelap gulita.
Adapun faktor internal yang
terakhir adalah, faktor mimpi yang hendak diwujudkan ketika mengecap bangku
perkuliahan. Mimpi yang lahir dari malam-malam gelap perkampungan, desa yang
berkabut, dan generasi yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur. Secercah
cahaya harapan kesejahteraan di bawah langit kesyukuran dan menjaga segenap
insan dari keterpurukan. Mimpi kemajuan yang berdasar pada akal budi manusia,
sehingga memberangus sikap tamak dan loba, serta dendam kesumat pada kekuasaan.
Konsep seperti inilah yang
kita harapkan ada pada calon mahasiswa yang memutuskan untuk melanjutkan studi
mereka ke pergruan tinggi. Jika mereka memahami hakikat ini, maka tiada hari
yang akan mereka lewati selain membaca, menulis, diskusi ilmiah, dan parktikum
di labor. Mereka akan merasa rugi besar jika dalam satu hari kehilangan
paragrafnya. Mereka akan menangis sedih jika tidak memperoleh kawan yang
mencerahkan. Mereka akan terbaring lemah dengan mata cekung jika rumus-rumus
tidak bisa dipecahkan. Mahasiswa seharusnya menjadi cahaya di tengah kegelapan
karena mereka ilmuan muda. Mereka membawa ilmu sebagai cahaya pada orang yang
bergelimang dengan kebodohan yang menggelapkan.
Bagaimana kondisi mereka
sekarang di kampus? Jawabannya, miris. Kita tidak sedang membicarakan orang
lain, penulis pun mahasiswa, melainkan ini merupakan wujud autokritik terhadap
apa yang telah terjadi pada masing-masing individu yang mengklaim dirinya
sebagai mahasiswa. Dunia kampus suram karena diisi oleh orang-orang yang
disorientasi. Mahasiswa lebih senang mendengar bualan tengah malam ditemani mie
rebus dan secangkir kopi luwak, dibandingkan menganalisis suatu masalah keilmuan.
Jika dikalkulasikan waktu
bermain dengan waktu yang mereka gunakan untuk mengisi otak dan mengasah
keterampilan, mungkin hasilnya akan berbeda jauh. Ramai mahasiswa pergi
berombong-rombongan ke pantai, ke gunung, ke sungai, bawa kamera dan
berswafoto. Sementara mereka tidak membuat tugas kuliah yang telah ditugaskan
sebulan sebelumnya. Adapun jika mereka kerjakan, itu pun di waktu-waktu kritis
menjelang pengumpulan. Hasilnya, tugas asal buat dan jauh dari analisis
keilmuan yang diharapkan.
Kita tidak menyalahkan tipe
orang seperti ini sepenuhnya, karena niat mereka dari awal saja sudah cedera.
Ada banyak anak yang tidak siap menghadapi kompetisi perguruan tinggi, dipaksa
duduk di bangku kuliah. Inilah jika kuliah dijadikan ukuran starata sosial,
sehingga sulit untuk orang tua menerima jika anaknya tidak mau untuk kuliah.
Jika judul di atas
bertanya, kau kuliah buat apa? Seharusnya ini menjadi cambukan bagi kita untuk
mengurai kembali benang kusut dunia perkuliahan. Apa yang telah didapat dan apa
yang akan dicapai dalam waktu dekat, dan bagaimana mewujudkan visi dan
misi kehidupan pasca perkuliahan.
Bagi yang telah terlanjur
kuliah, belum terlambat untuk berbenah. Masih ada waktu untuk menjawab semua
pertanyaan itu. Mulai dengan meluruskan niat kembali dan mengumpulkan apa yang
telah ada, baik itu prestasi maupun berupa ketertinggalan lainnya. Selain itu,
perlu lah kiranya membaur dengan “model” kampus. Mereka yang memiliki prestasi
yang cemerlang di kampus. Aktiflah di organisasi karena itu merupakan
keniscayaan untuk menyeimbangi insting manusia produktif nan perlu sosialisasi
berkualitas.
Rujukan
Ayu Dwi, F. (2015). Pengaruh Persepsi
Tentang Pendidikan, Lingkungan Teman Sebaya, Jenis Sekolah, Dan Status Sekolah
Terhadap Minat Melanjutkan Ke Perguruan Tinggi Pada Siswa Jenjang Pendidikan
Menengah Yang Bertempat Tinggal Di Desa Adiwerna Kecamatan Adiwerna Kabupaten
Tegal (Doctoral
dissertation, Fakultas Ekonomi).
Kharisma, N., & Latifah, L. (2015). Pengaruh
Motivasi, Prestasi Belajar, Status Sosial Ekonomi Orang Tua dan Lingkungan
Teman Sebaya Terhadap Minat Melanjutkan Pendidikan ke Perguruan Tinggi Pada
Siswa Kelas XII Kompetensi Keahlian Akuntansi di SMK Negeri Se-Kota Semarang
Tahun Ajaran 2014. Economic Education Analysis Journal, 4(3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar