KAU KULIAH BUAT APA? - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Sabtu, 30 Desember 2017

KAU KULIAH BUAT APA?

Data statistik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan minat masyarakat Indonesia untuk memasuki perguruan tinggi pada setiap tahunnya. Ayu (2015) melalui analisis data BPS, membuktikan bahwa jumlah lulusan jenjang pendidikan menengah yang melanjutkan ke perguruan tinggi meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010 ke tahun 2011 terdapat kenaikan sebesar 0,49%, tahun 2011 ke tahun 2012 mengalami kenaikan sebesar 1,58%, dan dari tahun 2012 ke tahun 2013 mengalami kenaikan sebesar 4,13%. Setiap tahun angka partisipasi sekolah pada perguruan tinggi mengalami kenaikan.
Ujian masuk perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta dibanjiri oleh tunas muda harapan bangsa dengan berbagai motivasi yang melatarinya. Rasanya ijazah sekolah menengah yang mereka terima belumlah “asli”, sebelum duduk di bangku perkuliahan. Bahkan baju yang dicoret-coret (contoh tradisi yang tidak baik) ketika pesta kelulusan kurang afdhal kalau tidak berganti dengan coretan skripsi di menara gading.
Sebenarnya ada banyak faktor yang mendorong seorang anak memutuskan untuk melanjutkan studi ke pendidikan tinggi. Faktor-faktor ini jugalah yang membentuk perwajahan seperti apa seorang mahasiswa kelak di kampusnya. Hasil penelitian Kharisma dan Latifah (2015) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh motivasi, prestasi belajar, status sosial ekonomi orang tua, dan lingkungan teman sebaya secara simultan yang sangat dominan, terhadap minat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengungkap beberapa faktor dominan yang mendorong seorang pelajar memilih untuk kuliah dan bagaimana fenomena yang terjadi setelah mereka berada di kehidupan kampus. Pertama, dilihat dari faktor orang tua. Kekhawatiran yang tinggi terhadap masa depan anak membuat orang tua berpikir keras mencarikan alternatif yang mereka anggap sebagai “jaminan” kesuksesan si anak.
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa kuliah merupakan kunci utama keberhasilan anak mereka di masa depan. Tapi sangat jarang di antara mereka yang memikirkan kemauan dan bakat apa yang dimiliki oleh si anak. Sehingga tidak jarang kita melihat, di hari pendaftaran mahasiswa baru, lebih banyak orang tua yang berdiri dalam antrian panjang untuk mengambil formulir dibandingkan dengan jumlah siswa.
Faktor lain yang mendorong seorang anak untuk kuliah adalah, teman sebaya dan lingkungan sosial. Ketika melihat teman diterima di sebuah perguruan tinggi ternama, seseorang bisa saja berkhayal, ingin memperoleh hal yang sama dengan apa yang diraih temannya tersebut. Mereka menganggap itu sebuah capaian yang luar biasa dan menuai pujian di masyarakat. Di sisi lain, ada juga seorang teman yang merayu dan membujuk dengan janji-janji manis masa depan, dan berakhir pada pertimbangan khusus pada diri seseorang dalam menjatuhkan pilihannya.
Selain itu, “model kampung” juga membawa pengaruh yang sangat efektif dalam mendorong siswa untuk kuliah. Model kampung yang dimaksud dalam tulisan ini adalah, jika ada satu atau dua orang anak kampung yang berhasil dalam pendidikan dan memperoleh pekerjaan yang layak menurut standar mayarakat kampung, maka dia akan menjadi buah bibir sepanjang pemandian tepi sungai. Setiap ibu berharap anak-anaknya kelak juga seperti itu, sehingga si anak diberi sugesti-sugesti untuk mengikuti langkah sang model tersebut. Si bapak pun akan memberi petuah pada anaknya tentang kehebatan si model, sembari meresapi kopi hangat di beranda rumah, sebelum mengangkat jala ikan menuju arah pantai. Bahkan terkadang si anak diajak untuk menemui model kampung itu, agar dapat menjalin komunikasi dan suntikan motivasi.
Namun sebenarnya faktor yang paling penting adalah faktor yang berasal dari dalam diri sendiri. Kedua faktor yang telah disebutkan di atas merupakan faktor eksternal. Sejatinya memang antara faktor dalam dengan faktor luar tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terkait. Faktor dari dalam diri individu adalah, bagaimana ia memutuskan bahwa melanjutkan studi ke perguruan tinggi berasal dari kesadaran, keinginan, dan mimpi yang hendak ia wujudkan.
Ia sadar bahwa dia memiliki potensi yang bisa berkembang lebih baik dengan memasuki perguruan tinggi. Ia percaya bahwa kuliah bukan hanya untuk “gaya-gayaan”, agar dianggap “keren” di mata orang banyak. Ia memahami bahwa setiap pilihan hidup penuh dengan konsekuensi dan dia siap menghadapi kemungkinan apa yang akan terjadi pada dirinya atas apa yang ia putuskan.
Selain kesadaran, ia harus memiliki keinginan yang kuat. Keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih mengetahui hakikat hidupnya yang sebentar ini. Ia juga memiliki kemauan untuk memberdayakan segala kemampuan terbaiknya untuk bisa berkontribusi pada lingkungannya. Ia berkomitmen menjadi agen kehidupan berkualitas, pencipta kedamaian, dan membantu membawa seberkas cahaya lilin di tengah ruang tak bertepi di tengah malam yang gelap gulita.
Adapun faktor internal yang terakhir adalah, faktor mimpi yang hendak diwujudkan ketika mengecap bangku perkuliahan. Mimpi yang lahir dari malam-malam gelap perkampungan, desa yang berkabut, dan generasi yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur. Secercah cahaya harapan kesejahteraan di bawah langit kesyukuran dan menjaga segenap insan dari keterpurukan. Mimpi kemajuan yang berdasar pada akal budi manusia, sehingga memberangus sikap tamak dan loba, serta dendam kesumat pada kekuasaan.
Konsep seperti inilah yang kita harapkan ada pada calon mahasiswa yang memutuskan untuk melanjutkan studi mereka ke pergruan tinggi. Jika mereka memahami hakikat ini, maka tiada hari yang akan mereka lewati selain membaca, menulis, diskusi ilmiah, dan parktikum di labor. Mereka akan merasa rugi besar jika dalam satu hari kehilangan paragrafnya. Mereka akan menangis sedih jika tidak memperoleh kawan yang mencerahkan. Mereka akan terbaring lemah dengan mata cekung jika rumus-rumus tidak bisa dipecahkan. Mahasiswa seharusnya menjadi cahaya di tengah kegelapan karena mereka ilmuan muda. Mereka membawa ilmu sebagai cahaya pada orang yang bergelimang dengan kebodohan yang menggelapkan.
Bagaimana kondisi mereka sekarang di kampus? Jawabannya, miris. Kita tidak sedang membicarakan orang lain, penulis pun mahasiswa, melainkan ini merupakan wujud autokritik terhadap apa yang telah terjadi pada masing-masing individu yang mengklaim dirinya sebagai mahasiswa. Dunia kampus suram karena diisi oleh orang-orang yang disorientasi. Mahasiswa lebih senang mendengar bualan tengah malam ditemani mie rebus dan secangkir kopi luwak, dibandingkan menganalisis suatu masalah keilmuan.
Jika dikalkulasikan waktu bermain dengan waktu yang mereka gunakan untuk mengisi otak dan mengasah keterampilan, mungkin hasilnya akan berbeda jauh. Ramai mahasiswa pergi berombong-rombongan ke pantai, ke gunung, ke sungai, bawa kamera dan berswafoto. Sementara mereka tidak membuat tugas kuliah yang telah ditugaskan sebulan sebelumnya. Adapun jika mereka kerjakan, itu pun di waktu-waktu kritis menjelang pengumpulan. Hasilnya, tugas asal buat dan jauh dari analisis keilmuan yang diharapkan.
Kita tidak menyalahkan tipe orang seperti ini sepenuhnya, karena niat mereka dari awal saja sudah cedera. Ada banyak anak yang tidak siap menghadapi kompetisi perguruan tinggi, dipaksa duduk di bangku kuliah. Inilah jika kuliah dijadikan ukuran starata sosial, sehingga sulit untuk orang tua menerima jika anaknya tidak mau untuk kuliah.
Jika judul di atas bertanya, kau kuliah buat apa? Seharusnya ini menjadi cambukan bagi kita untuk mengurai kembali benang kusut dunia perkuliahan. Apa yang telah didapat dan apa yang akan dicapai dalam waktu dekat, dan bagaimana mewujudkan visi  dan misi kehidupan pasca perkuliahan.
Bagi yang telah terlanjur kuliah, belum terlambat untuk berbenah. Masih ada waktu untuk menjawab semua pertanyaan itu. Mulai dengan meluruskan niat kembali dan mengumpulkan apa yang telah ada, baik itu prestasi maupun berupa ketertinggalan lainnya. Selain itu, perlu lah kiranya membaur dengan “model” kampus. Mereka yang memiliki prestasi yang cemerlang di kampus. Aktiflah di organisasi karena itu merupakan keniscayaan untuk menyeimbangi insting manusia produktif nan perlu sosialisasi berkualitas.

Rujukan

Ayu Dwi, F. (2015). Pengaruh Persepsi Tentang Pendidikan, Lingkungan Teman Sebaya, Jenis Sekolah, Dan Status Sekolah Terhadap Minat Melanjutkan Ke Perguruan Tinggi Pada Siswa Jenjang Pendidikan Menengah Yang Bertempat Tinggal Di Desa Adiwerna Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal (Doctoral dissertation, Fakultas Ekonomi).
Kharisma, N., & Latifah, L. (2015). Pengaruh Motivasi, Prestasi Belajar, Status Sosial Ekonomi Orang Tua dan Lingkungan Teman Sebaya Terhadap Minat Melanjutkan Pendidikan ke Perguruan Tinggi Pada Siswa Kelas XII Kompetensi Keahlian Akuntansi di SMK Negeri Se-Kota Semarang Tahun Ajaran 2014. Economic Education Analysis Journal, 4(3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar