Sisi Lain "Merayakan" Tahun Baru - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Minggu, 31 Desember 2017

Sisi Lain "Merayakan" Tahun Baru

Pagi tadi saya buka YouTube seperti biasanya ketika ada waktu senggang dan menjelang sarapan, tiba-tiba tampak di wall saya, video tentang tahun baru, dengan latar gambar Ustadz Khalid Basalamah. Saya penasaran untuk mengetahui pendapat beliau tentang tahun baru masehi dan biasanya ada dalil-dalil yang beliau sampaikan dalam ulasannya. Sebagai informasi, saya sering mendengar ceramah beliau, meski tidak serutin mendengar kajian Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Tengku Zulkarnain. Sebagai jemaah youtubiah, tentu nama-nama di atas tidaklah asing di telinga kita.

Saya klik video tersebut, tampaklah Ustadz Khalid menekankan bahwa ikut merayakan pesta tahun baru masehi adalah haram dalam Islam. Lebih jauh beliau menyorot tentang bagaimana secara tidak langsung bahwa dengan mengadakan pengajian atau zikir di malam tahun baru, berarti umat Islam juga ikut meramaikan/merayakan tahun baru masehi tersebut. Malah beliau melihatnya itu perayaan dalam bentuk ritual ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat. Beliau menguraikan lebih lanjut tentang maksud dari ritual itu, seolah-olah kegiatan zikir di malam tahun baru, sudah menjadi bagian dari rutinitas yang dilaksanakan pada momen yang ditentukan. Beliau menyarankan, kalau seandainya kita umat Islam mau menolak acara tahun baru, mengapa tidak di rumah saja, buat seperti malam-malam biasanya, dan tidak membuat acara apa pun. Menurut beliau itu lebih baik dan beliau menyayangkan sikap beberapa ulama kita yang ikut-ikut pada acara zikir dan doa di tahun baru tersebut.

Sekilas apa yang beliau sampaikan itu sangat masuk di akal dan mendekati kebenaran, tapi ada satu sisi yang tidak beliau singgung, yaitu sisi pendidikan. Saya tidak sedang berusaha mematahkan hujjah beliau, apalagi menentang, karena saya tidak ada apa-apanya dari segi pemahaman ilmu agama dari pada  beliau, dan lagi pula beliau adalah salah satu ustadz favorit saya. Di sini saya akan melihat dari sudut pendidikan dan pengalaman saya tentang "merayakan" tahun baru dan hal lain yang sejenisnya.

Sekitar  tahun 2008 dan 2009 ketika saya di bangku SMA, saya dan kawan-kawan telah ikut "merayakan" Valentine Day dan tahun baru. Tapi definisi merayakan di sini tentunya berbeda dengan framing yang digaungkan anak-anak muda alay masa itu, yang sibuk bonceng cewek kian kemari. Kami, remaja yang tergabung dalam organisasi Rohis dan Osis di sekolah, mengadakan mabit (bermalam)  di masjid-masjid. Mabit ini tentunya di bawah bimbingan guru-guru dan kakak-kakak mahasiswa dari beberapa kampus di Kota Padang. Saat mabit inilah kami dijelaskan dan diberi pemahaman bahwa ikut-ikutan acara Valentine dan tahun baru itu merupakan perbuatan mubazir dan cenderung mengarah pada kemaksiatan, dan Rasulullah pun melarang kita mengikuti perayaan suatu kaum, tapi sikap kita tetap menghormati golongan non-Muslim menjalankan ritual agama mereka. Malam itu proses pendidikan hampir sempurna, materi diberikan, diskusi dihidupkan, membahas persoalan remaja dan penguatan akidah, dan ibadah dijaga, sungguh itu nikmat.

Terkadang untuk menangkal pengaruh buruk Valentine, agar generasi muda Islam tidak ikut merayakannya, kami diberikan seminar, "Ada apa dengan Valentine?" yang diadakan persis di hari-hari menjelang Valentine. Alhasil, sebagian besar kawan-kawan kami di SMA, jangankan ikut merayakannya, mendengar kata itu saja mereka alergi. Tidak ada lagi tukaran coklat ala remaja alay di sekolah kami, karena remajanya sudah paham. Mereka diberi pendidikan dan isu hari itu diarahkan pada hal-hal yang positif. Sehingga efeknya tidak hanya pada saat itu, tapi di waktu yang sangat panjang. Para junior di sekolah akan tahu bagaimana pandangan Islam tentang ikut-ikutan acara hura-hura tersebut dari senior mereka.

Efek inilah sebenarnya yang ditanamkan kepada masyarakat dengan acara zikir bersama, do'a, yasinan, mabit, atau pun training di malam tahun baru. Agar generasi muda Islam tidak ikut-ikutan acara tahun baru yang tidak jelas, ngebut-ngebutan di jalanan, bakar-bakar lilin, bernyanyi dan bergoyang antara lelaki dan perempuan dengan saling membaur. Karena magnet untuk ke sana sangat kuat dan terbuka lebar. Maka umat Islam juga harus pikirkan kekuatan medan magnet yang lebih besar, paling tidak setara dengan itu.

Jika seandainya kita buat malam tahun baru senyap, tidak perlu keluar rumah, orang tua menjaga dengan ketat, tanpa pendidikan atau pemahaman, menurut saya kurang efektif. Bisa saja mereka, generasi muda kita memang di rumah, tapi hanya karena keterpaksaan dari orang tua. Mereka akan berusaha mengelabui semua aturan yang ada agar mereka terbebas dan terjun ke acara tahun baru. Apalagi sarana teknologi sangat mendukung untuk hal yang demikian.

Memasuki fase dakwah abad ini, dimana adanya kekuatan yang saling tarik menarik, antara baik dengan buruk. Bahkan ada pihak yang berusaha bagaimana membuat yang baik itu dianggap buruk, sehingga orang menjadi ragu untuk menjalankannya. Sementara itu yang buruk dikesankan menjadi sesuatu yang baik, sehingga perlahan-lahan kejahatan mudah ditolerir.

Inilah fenomena umat sekarang. Tokoh agama harus sadar dengan ini, jika tidak mau pemikiran generasi kita teracuni. Pendakwah harus memikirkan peremajaan metode dan strategi dakwah. Ikuti trend anak muda, tapi selipkan nilai dakwah di sana. Masukkan konten-konten dakwah ke Facebook, YouTube, Instagram, dan media sosial lainnya, sehingga lebih akrab dengan generasi milenia. Nah dalam hal ini juga, jika memang merayakan tahun baru masehi dan Valentine merupakan sesuatu yang dilarang dari sisi agama, makanya ciptakan kerangka tandingan untuk menangkal pemuda Islam ikut-ikutan merayakannya. Artinya mengalihkan aktivitas mereka kepada yang lebih positif pada momen yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar