Sarjana: Antara Harapan dan Realita - Cerita si Buyung

Latest

Menghimpun Serpihan Perjalanan Seorang Pemuda Minangkabau

Sabtu, 27 Januari 2018

Sarjana: Antara Harapan dan Realita

Ketika menghadiri pembukaan gedung baru Universitas Fajar di Makassar, Sulawesi Selatan, pada tanggal 26 Januari 2018 lalu, Jusuf Kalla menyatakan bahwa ketergantungan sarjana untuk diterima sebagai pegawai harus dikurangi. Bayangkan, setiap tahun lebih kurang ada satu juta sarjana yang tamat dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, sementara pengangkatan pegawai untuk tingkat sarjana tidak lebih dari 10.000 orang setiap tahunnya, dan ini bermakna hanya 1 persen dari mereka yang terserap.
Lalu 99 persennya harus ke mana? Jika dianalisis lebih jauh lagi, maka bisa diperkirakan dalam satu decade jutaan orang akan menjadi "intelektual pengangguran" di negara kita, disebabkan ketimpangan yang sangat besar antara jumlah sarjana dengan kebutuhan perekrutan dunia kerja. Fenomena ini menjadi bayang-bayang gelap bagi generasi muda Indonesia tentang kepastian masa depan mereka.
Merujuk pada fenomena sensus terakhir, Indonesia mengalami suatu bonus demografi yang luar biasa. Penduduk pada usai produktif bersemi bagai cendawan tumbuh setelah hujan, dan diharapkan mereka untuk siap sedia menjadi agen pembangunan negara menuju Indonesia emas 2045. Namun menurut Jati (2015), bonus demografi tidak memberikan impak signifikan jika negara minim melakukan investasi sumber daya manusia (human capital investment). Oleh karena itulah, bonus demografi juga bisa berubah menjadi gelombang pengangguran massal dan semakin menambah beban anggaran negara.
Persoalan pengangguran dan upah rendah merupakan salah satu masalah utama negeri ini. Kita tidak bisa menutup mata, ada jutaan sarjana pendidikan yang gamang mencari tempat bekerja bahkan untuk sekedar jadi tenaga honorer pun susahnya bukan main. Mereka membawa ijazah kian kemari untuk dapat mengabdikan ilmu yang diperolehnya dari perguruan tinggi, dan tentunya juga mencari gaji untuk penyambung hidup. Lebih mirisnya di kampung, penulis mendengar dan melihat langsung, sarjana honorer yang mengajar, diberi gaji Rp 330.000,- /bulan dan uangnya dibagikan sekali 3 bulan. Sungguh sangat jauh dari kata cukup untuk suatu penghidupan yang layak.
Kita masih mengupas kulit luar dari kondisi sarjana pendidikan, belum lagi kondisi rekan-rekan yang memperoleh gelar sarjana di bidang lainnya. Hidup mereka pun tak kalah mirisnya, belum mendapat kejelasan pekerjaan. Sementara tuntutan kebutuhan hidup yang begitu mendesak, harga barang yang cenderung tidak terkendali di pasaran, dan biaya pendidikan anak-anak mereka pun juga mencekik mahalnya.
Terkadang jika kita menilik ke belakang, berapa uang yang dihabiskan oleh seseorang mahasiswa sejak mulai masuk dunia kampus hingga menjadi sarjana? Hitunglah sendiri, bahkan uang itu tidak akan kembali jika mereka honor selama 10 tahun setelah wisuda. Miris memang, uang yang dihabiskan begitu banyak demi meraih ijazah sarjana, tidak berarti apa-apa untuk mencoba meraih sedikit kemudahan mencari perkerjaan.
Pengangguran di kalangan tedidik jika dibiarkan akan menjadi bom waktu dan bisa merusak tatanan kebangsaan kita. Jumlah mereka tidak sedikit dan terus bertambah di masa-masa yang akan datang. Maryati (2015) menegaskan bahwa jumlah pengangguran terbuka lulusan pergurun tinggi selama periode tahun 2004-2010 cenderung meningkat lebih tinggi dan hal mengindikasikan bahwa lapangan kerja untuk lulusan sarjana dan diploma masih sangat diperlukan untuk menekan laju pertumbuhan pengangguran terdidik di Indonesia.
Banyak pejabat, praktisi pendidikan, dan bahkan akademisi menggembor-gemborkan di kampus bahwa sarjana jangan hanya berharap menjadi pegawai. Mereka harus punya skill dan pengetahuan bisnis yang mumpuni untuk menunjang hidup mereka. Sarjana harus mulai berdikari dari mulai kuliah, jualan, dan sebagainya di kampus. Sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mandiri.
Himbauan ini tidak asing bagi kita, bahkan sudah sangat lumrah. Tapi penulis memiliki sisi pikir yang lain dan bertanya-tanya dalam hati. Bukankah semua himbauan itu harusnya slogan yang disampaikan di sekolah kejuruan? SMK-SMK kita semua mengatakan slogan seperti itu karena murid dididik di sana memang untuk memperolehi kemahiran dan keterampilan berdikari usai mereka tamat dari SMK. Mengapa itu menggema di lini perguruan tinggi?
Apakah memang ini fokus dari perguruan tinggi kita? Jika memang hal ini yang menjadi fokus perguruan tinggi maka mereka cukup mengatakan, "Ayo mendaftar ke SMK saja, tidak usah kuliah!". Sejatinya, perguruan tinggi adalah rumah produksi intelek, bukan buruh kasar. Mahasiswa seharusnya didorong bicara penelitian, inovasi, dan mengasah ketajaman pikiran, agar mereka betul-betul memiliki kemampuan untuk menjadi tenaga ahli di bidangnya usai menamatkan pendidikan dari perguruan tinggi.
Bisa dibayangkan, seperti apa kualitas mahasiswa kita, jika mereka sibuk berjibaku menyiapkan bisnis ketika berada di dunia kampus. Tentunya banyak sedikit akan memecah konsentrasi mereka dalam bidang keilmuan. Selama ini Indonesia memiliki keluhan yang serius di bidang akademik, terkait kualitas riset yang masih rendah. Perlu rasanya, faktor-faktor luaran seperti ini untuk dikaji oleh pembuat kebijakan, baik di tingkat kampus maupun secara nasional.
Jika suatu perguruan tinggi tidak mampu menciptakan atau menuju ke arah peningkatan kualitas dan jaminan pekerjaan bagi lulusannya, silahkan kampusnya ditutup saja, dari pada menzalimi orang lain dengan biaya pendidikan yang mencekik. Jika pun mahasiswa di perguruan tinggi berbisnis, kemudian setelah tamat mereka menjadi pengusaha, menurut penulis itu bonus, bukan tujuan utama perguruan tinggi.

Rujukan

Jati, W. R. (2015). Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang Atau Jendela Bencana Di Indonesia. Jurnal Populas, 23(1), 1-19.

Maryati, S. (2015). Dinamika Pengangguran Terdidik: Tantangan Menuju Bonus Demografi di Indonesia. Jurnal Economica: Research of Economic And Economic Education, 3(2), 124-136.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar