Ketika
menghadiri pembukaan gedung baru Universitas Fajar di Makassar, Sulawesi
Selatan, pada tanggal 26 Januari 2018 lalu, Jusuf Kalla menyatakan bahwa
ketergantungan sarjana untuk diterima sebagai pegawai harus dikurangi.
Bayangkan, setiap tahun lebih kurang ada satu juta sarjana yang tamat dari
berbagai perguruan tinggi di Indonesia, sementara pengangkatan pegawai untuk
tingkat sarjana tidak lebih dari 10.000 orang setiap tahunnya, dan ini bermakna
hanya 1 persen dari mereka yang terserap.
Lalu
99 persennya harus ke mana? Jika dianalisis lebih jauh lagi, maka bisa diperkirakan
dalam satu decade jutaan orang akan menjadi "intelektual
pengangguran" di negara kita, disebabkan ketimpangan yang sangat besar
antara jumlah sarjana dengan kebutuhan perekrutan dunia kerja. Fenomena ini
menjadi bayang-bayang gelap bagi generasi muda Indonesia tentang kepastian masa
depan mereka.
Merujuk pada
fenomena sensus terakhir, Indonesia mengalami suatu bonus demografi yang luar
biasa. Penduduk pada usai produktif bersemi bagai cendawan tumbuh setelah
hujan, dan diharapkan mereka untuk siap sedia menjadi agen pembangunan negara
menuju Indonesia emas 2045. Namun menurut Jati (2015), bonus demografi tidak memberikan
impak signifikan jika negara minim melakukan investasi sumber daya manusia (human capital investment). Oleh karena
itulah, bonus demografi juga bisa berubah menjadi gelombang pengangguran massal
dan semakin menambah beban anggaran negara.
Persoalan
pengangguran dan upah rendah merupakan salah satu masalah utama negeri ini.
Kita tidak bisa menutup mata, ada jutaan sarjana pendidikan yang gamang mencari
tempat bekerja bahkan untuk sekedar jadi tenaga honorer pun susahnya bukan
main. Mereka membawa ijazah kian kemari untuk dapat mengabdikan ilmu yang
diperolehnya dari perguruan tinggi, dan tentunya juga mencari gaji untuk
penyambung hidup. Lebih mirisnya di kampung, penulis mendengar dan melihat
langsung, sarjana honorer yang mengajar, diberi gaji Rp 330.000,- /bulan dan
uangnya dibagikan sekali 3 bulan. Sungguh sangat jauh dari kata cukup untuk
suatu penghidupan yang layak.
Kita
masih mengupas kulit luar dari kondisi sarjana pendidikan, belum lagi kondisi
rekan-rekan yang memperoleh gelar sarjana di bidang lainnya. Hidup mereka pun
tak kalah mirisnya, belum mendapat kejelasan pekerjaan. Sementara tuntutan
kebutuhan hidup yang begitu mendesak, harga barang yang cenderung tidak
terkendali di pasaran, dan biaya pendidikan anak-anak mereka pun juga mencekik
mahalnya.
Terkadang
jika kita menilik ke belakang, berapa uang yang dihabiskan oleh seseorang
mahasiswa sejak mulai masuk dunia kampus hingga menjadi sarjana? Hitunglah
sendiri, bahkan uang itu tidak akan kembali jika mereka honor selama 10 tahun
setelah wisuda. Miris memang, uang yang dihabiskan begitu banyak demi meraih
ijazah sarjana, tidak berarti apa-apa untuk mencoba meraih sedikit kemudahan
mencari perkerjaan.
Pengangguran
di kalangan tedidik jika dibiarkan akan menjadi bom waktu dan bisa merusak
tatanan kebangsaan kita. Jumlah mereka tidak sedikit dan terus bertambah di
masa-masa yang akan datang. Maryati
(2015) menegaskan bahwa jumlah pengangguran terbuka lulusan pergurun tinggi
selama periode tahun 2004-2010 cenderung meningkat lebih tinggi dan hal mengindikasikan
bahwa lapangan kerja untuk lulusan sarjana dan diploma masih sangat diperlukan
untuk menekan laju pertumbuhan pengangguran terdidik di Indonesia.
Banyak
pejabat, praktisi pendidikan, dan bahkan akademisi menggembor-gemborkan di
kampus bahwa sarjana jangan hanya berharap menjadi pegawai. Mereka harus punya
skill dan pengetahuan bisnis yang mumpuni untuk menunjang hidup mereka. Sarjana
harus mulai berdikari dari mulai kuliah, jualan, dan sebagainya di kampus.
Sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mandiri.
Himbauan
ini tidak asing bagi kita, bahkan sudah sangat lumrah. Tapi penulis memiliki
sisi pikir yang lain dan bertanya-tanya dalam hati. Bukankah semua himbauan itu
harusnya slogan yang disampaikan di sekolah kejuruan? SMK-SMK kita semua mengatakan
slogan seperti itu karena murid dididik di sana memang untuk memperolehi
kemahiran dan keterampilan berdikari usai mereka tamat dari SMK. Mengapa itu
menggema di lini perguruan tinggi?
Apakah
memang ini fokus dari perguruan tinggi kita? Jika memang hal ini yang menjadi
fokus perguruan tinggi maka mereka cukup mengatakan, "Ayo mendaftar ke SMK
saja, tidak usah kuliah!". Sejatinya, perguruan tinggi adalah rumah
produksi intelek, bukan buruh kasar. Mahasiswa seharusnya didorong bicara
penelitian, inovasi, dan mengasah ketajaman pikiran, agar mereka betul-betul
memiliki kemampuan untuk menjadi tenaga ahli di bidangnya usai menamatkan
pendidikan dari perguruan tinggi.
Bisa
dibayangkan, seperti apa kualitas mahasiswa kita, jika mereka sibuk berjibaku menyiapkan
bisnis ketika berada di dunia kampus. Tentunya banyak sedikit akan memecah
konsentrasi mereka dalam bidang keilmuan. Selama ini Indonesia memiliki keluhan
yang serius di bidang akademik, terkait kualitas riset yang masih rendah. Perlu
rasanya, faktor-faktor luaran seperti ini untuk dikaji oleh pembuat kebijakan,
baik di tingkat kampus maupun secara nasional.
Jika
suatu perguruan tinggi tidak mampu menciptakan atau menuju ke arah peningkatan
kualitas dan jaminan pekerjaan bagi lulusannya, silahkan kampusnya ditutup
saja, dari pada menzalimi orang lain dengan biaya pendidikan yang mencekik.
Jika pun mahasiswa di perguruan tinggi berbisnis, kemudian setelah tamat mereka
menjadi pengusaha, menurut penulis itu bonus, bukan tujuan utama perguruan tinggi.
Rujukan
Jati, W. R. (2015).
Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang Atau Jendela
Bencana Di Indonesia. Jurnal
Populas, 23(1), 1-19.
Maryati, S. (2015).
Dinamika Pengangguran Terdidik: Tantangan Menuju Bonus Demografi di Indonesia. Jurnal Economica: Research of
Economic And Economic Education, 3(2),
124-136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar