Ajaran Islam telah tegas melarang umatnya untuk memakan daging babi. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 173, "Sesungguhnya tidak ada yang diharamkan atas kamu, selain bangkai, darah, daging babi, dan apa-apa yang disembelih untuk yang selain Allah". Daging babi yang dimaksud dalam ayat ini telah disepakati oleh para ahli tafsir, yaitu seluruh yang dapat dimakan dari tubuh babi, baik dagingnya atau pun lemaknya, atau pun tulangnya yang dicencang bersama dagingya. Baik babi liar (celeng) maupun daging babi yang jinak dipelihara. Ulama sepakat itu semua haram, kecuali bulunya, karena bulu babi tidaklah dimakan orang.
Ramai orang di luar sana bahkan yang mengaku Islam sendiri, mengatakan bahwa aturan berupa larangan makan babi itu adalah bukti bahwa Islam terlalu kolot dalam menetapkan suatu hukum. Orang-orang ini juga mengklaim bahwa babi itu juga bisa digunakan dalam dunia perobatan dan lain sebagainya. Padahal jika babi itu dilarang karena makan makanan kotor, ayam pun juga makan makanan kotor. Jika cacing pada babi bermasalah, dimasak dengan air mendidih pun maka cacing pita babi pun juga akan mati.
Sekilas alasan-alasan di atas cukup logis, tetapi dalam beragama logis saja tidak cukup. Karena jika kita mengaku beriman, apa saja larangan yang dikatakan Allah akan kita taati semampu tenaga kita dengan ikhlas, dan tidak lagi mencari sebab-sebab mengapa itu dilarang, dan lain sebagainya. Jika pun mencari sebab diharamkan, semestinya tidak merubah hukum yang telah nyata, melainkan memperkuat hukum yang diturunkan tadi.
Menarik jika kita baca uraian Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar Juz 1,2, dan 3 (halaman 63-65), tentang hukum larangan makan babi. Bagi penulis ini merupakan pengetahuan baru dalam beragama, karena beliau mengambil dalil komparatif dari tiga kitab suci agama samawi terkait masalah ini. Berikut kutipannya:
"Padahal kalau kita hendak bersikap jujur, orang harus mengakui bahwa kotor dan kejinya daging babi itu telah dijelaskan sejak Nabi Musa a.s. Sebab itu maka orang Yahudi pun mengharamkan daging babi.
Di dalam Perjanjian Lama "Kitab Imamat Orang Levi", pasal 11, ayat 7-8 ada ditulis, "Dan lagi babi, karena sesungguhnya kukunya terbelah dua, yaitu bersiratan kukunya, tetapi tidak memamah biak, maka haramlah ia kepadamu" (ayat 7). "Janganlah kamu makan daripada dagingnya dan jangan pula kamu menjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu" (ayat 8).
Maka orang Kristen sekte Adventist yang ingin kembali kepada hukum Taurat yang asli tentang peraturan makanan, memegang teguhlah akan peraturan ini. Nabi Isa Almasih pun selama hidupnya menekankan bahwa ia tidak akan merobah meskipun satu noktah dari hukum Taurat (Matius pasal 5 ayat 18).
Tentang kekejian babi, berkali-kali Nabi Isa Almasih mengambilnya jadi perumpamaan, malahan dua orang yang dirasuki setan di Gadara, setan-setan yang merasukinya itu telah diusir oleh Nabi Isa dari tubuh orang itu dan disuruh masuk ke dalam tubuh babi. Setelah setan-setan itu masuk ke dalam tubuh babi, maka berlompatanlah babi itu dari tempat yang curam masuk ke dalam danau dan habis mati semua mereka di sana (Baca: Matius pasal 8 ayat 30 sampai 32, Lukas pasal 8 ayat 32 sampai 33, dan Markus pasal 5 ayat 11 sampai 15).
Dengan demikian payahlah untuk mencari tafsir yang lain, bahwa Nabi Isa atau ajaran agamanya yang asli membolehkan makan babi yang keji itu. Yaitu babi tempat menghalau setan itu. Dengan ini pula, teranglah tidak jujurnya mereka yang mengatakan bahwa hanya Islam saja yang mengharamkan daging babi. Cuma babi masih dimakan oleh orang Kristen setelah agama mereka dipeluk oleh orang-orang Romawi, karena banyak hukum Taurat yang "didinginkan" saja oleh pembawanya ke Romawi, sebab orang Romawi tidak suka menjalankannya, di antaranya larangan makan daging babi dan perintah bersunat".
Berdasarkan uraian panjang lebar dan mendalam oleh Buya Hamka tersebut, pahamlah kita bahwa memakan babi sejatinya juga dilarang oleh agama Yahudi dan Kristen. Sikap kita menyikapi larangan ini adalah sebagai ujian keimanan, dan wajib kita menerima dengan sepenuh hati. Jika ada yang bertanya mengapa Allah mengharamkan babi padahal babi juga diciptakan Allah. Cukup kita menjawab, setiap yang diciptakan Allah memiliki rahasia masing-masing. Allah menciptakan babi untuk mengetahui siapa di antara hambaNya yang lulus ujian dan patuh terhadap hukum yang ditetapkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar