Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 telah dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2018 yang lalu, dan hasilnya sampai sekarang belum diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) secara resmi, karena masih berlangsung proses penghitungan suara di tingkat kelurahan dan kecamatan. Meskipun demikian, beberapa lembaga survey, dari sejak hari pertama pencoblosan telah berani dengan gamblang mengumumkan hasil Quick Count (QC) mereka. Para calon yang menang versi hitung cepat tampak sumringah dan ada yang sujud syukur, sementara yang kalah menunduk menyurukkan muka. Seolah-olah itu sudah merupakan kiamat bagi mereka, padahal bisa saja terjadi perubahan hasil di real count.
Tentunya yang akan mungkin berubah di akhir adalah pasangan-pasangan dengan selisih suara QC yang tidak terlalu jauh jaraknya. Sementara yang berbeda signifikan, sudah bisa dikatakan kalah dalam Pilkada ini. Namun tentu kita semua akan terus menunggu hasil akhir yang dirilis oleh KPUD 9 Juli mendatang.
Tulisan ini menguak sisi lain dari hasil QC, yang mana bisa menunjukkan kualitas demokrasi Indonesia. Kualitas yang dimaksudkan adalah sejauh mana kecerdasan penduduk dalam berdemokrasi dengan memilih calon yang sesuai dan bersih dari hukum.
Alhasil, ditemukan bahwa ada beberapa calon kepala daerah yang tersangkut kasus hukum, seperti korupsi dan penghinaan agama, tapi tetap bisa mendulang suara mayoritas. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sebut saja namanya Syahrul Mulyo, seorang calon bupati di Tulungagung, saat ini statusnya sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi yang menjeratnya. Berdasarkan hasil QC dia memperoleh kemenangan dengan menyisihkan lawan politiknya. Apakah masyarakat sepemaaf itu? Atau, masyarakat tidak tahu bahwa dia dia sudah berstatus tersangka korupsi? Atau, politik uang sangat kuat? Masih banyak atau-atau yang lain, menggelitik relung nurani kita.
Seorang calon gubernur non muslim di NTT, memantik kemarahan umat Islam baru-baru ini, dengan pernyataannya tentang penegakan syariat Islam bisa membunuh orang tak bersalah, juga mendapat kemenangan versi QC. Atas pernyataan Viktor Laiskodat dalam sebuah pidatonya, ribuan umat Islam menggelar aksi unjuk rasa dan meminta kepolisian bertindak cepat, memproses hukum atas penodaan agama Islam.
Kasus yang satu ini bukanlah fenomena pertama. Jangan katakan orang NTT bodoh dan tidak mengerti hukum dengan memilih penista agama. Bahkan sebelumnya lebih tragis. Ahok masih menang pada gelombang pertama pemilihan gubernur DKI Jakarta, setelah kasus penodaan agamanya didemo jutaan umat Islam secara berjilid. Ibukota Indonesia pun ternyata kualitas demokrasinya masih dipertanyakan. Mereka lebih cenderung memilih pemimpin, meski sudah tersangkut kasus hukum.
Sebagian besar pendukung mereka mengatakan, ternyata isu SARA tidak mempan dalam Pilkada. Mereka mengatakan bahwa Viktor dan Ahok adalah korban SARA. Sebenarnya tanpa mereka sadari ada kegentingan dalam proses hukum dan demokrasi kita. Seolah-olah hukum tumpul pada pihak-pihak yang dekat dengan rezim berkuasa dan sangat tajam pada oposisi.
Memang tidak bisa dipungkiri, ada pihak yang mengeruk keuntungan dari kasus hukum yang dialami oleh politisi, setidaknya lawan politik mereka. Tapi bukan dalam artian, kita bisa mengklaim bahwa mereka yang bersalah dengan melecehkan agama orang lain, merupakan korban, yang harus dilindungi.
Pilkada menguak tabir kondisi masyarakat kita dalam berdemokrasi. Dalam sistem demokrasi suara rakyat adalah suara tuhan, yang menentukan siapa dan pemerintahan seperti apa yang akan mereka terapkan dalam 1 periode. Tidak usah berharap banyak dalam suatu proses demokrasi jika masyarakat masih ambigu membedakan mana pelaku dan mana korban. Jika ingin menikmati indahnya alam demokrasi, masyarakat harus cerdas dan kuat ekonomi mereka. Hukum tidak tebang pilih dan keadilan dirasakan oleh segenap warga negara.
Sementara saat ini, koruptor bersiul melenggang dan membusungkan dada, karena meski mereka tersangka, toh rakyat masih tetap memilih mereka. Begitupun para penista agama, semakin menjadi-jadi mengumbar kebencian di bawah payung Pancasila, yang mereka tafsir sesuai dengan ambisi pribadi dan kepentingan kelompoknya. Karena sebagian besar mereka tidak tersentuh hukum, bahkan ada yang di SP3 kan secara diam-diam setelah menista agama, tanpa pernah dipanggil untuk memberikan keterangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar