Tiket kereta api bawah tanah (metro) dari stasiun Paveletskaya ke penginapan di tanggung oleh masing-masing peserta. Kebetulan saya belum menukar uang sama sekali, di tangan saya adanya cuma dolar US yang saya tukar di Tanjong Malim 2 hari yang lalu. Mulya, delegasi dari China, bermurah hati mengizinkan kami meminjam uangnya. Tiket kami beli seharga 55 rubel untuk 1 orang. Setelah dapat tiket, kami dan 1 orang panitia siap untuk menuju Hostel Makarov.
Stasiun bawah tanah Moscow ini sangat unik karena bergaya gothik ala abad pertengahan bercampur dengan zaman kekuasaan Stalin. Bangunannya kelihatan tua namun kokoh dan antik. Di dinding-dindingnya masih terlukis palu arit, yang kita di Indonesia menyebutnya lambang PKI. Terdapat eskalator yang kemiringannya hampir mendekati lurus, yang menghujam ke dasar tanah. Sehingga sangat mengerikan jika terjadi gempa bumi, semoga tidak. Sementara manusia berhidung mancung dan berkulit putih tidak pernah sepi dan berdesakan di sini. Bahkan ketika saya tanya ke panitia yang menjemput, kereta api (metro) beroperasi sampai pukul 1 tengah malam.
Gesekan relnya menurut saya cukup berisik, berbeda jauh jika dibandingkan dengan kereta api Malaysia yang hampir tidak terdengar sama sekali. Teman saya mengatakan bahwa ini masih buatan masa lampau, makanya bunyinya keras. Sementara Rusia sudah membangun jalan kereta api terbaru kabarnya, disebut sebagai Trans Siberia. Ia merupakan railways terpanjang di dunia yang menghubungkan Moscow ke Vladivostok (Kota cantik di utara Rusia), hingga ke Beijing (RRC).
Kami masuk ke dalam metro, tidak bisa duduk, karena begitu banyak orang berdesakan. Saya lihat tidak ada AC, tapi mereka membuat tingkap yang bisa terbuka, sehingga angin dari luar masuk secara alami.
Tidak banyak stasiun yang dilewati, akhirnya kami sampai di tujuan. Beriring kami ke luar dari metro tersebut, menuju eskalator untuk membawa kami ke luar stasiun. Di sini saya juga dibuat shock, melihat pemandangan di sepanjang eskalator, ada sekitar 3 pasangan muda mudi yang santai berciuman di tangga. Seolah mereka tidak peduli dengan orang di sekitarnya, dan orang lain pun terkesan cuek, mungkin ini dianggap lumrah oleh mereka. Di benak saya bergumam, beginilah makna kebebasan bagi mereka yang di barat, "semua terserah saya, yang penting tidak merugikan anda".
Saya tidak terlalu berpanjang memikirkan hal itu, karena fokus saya adalah bagaimana agar eskalator ini sampai di atas. Kami melintasi pintu yang terbuka secara otomatis saja. Berbeda dengan Malaysia, kartu kita beli untuk masuk dan keluar stasiun, sedangkan di sini hanya untuk masuk saja, keluarnya tidak perlu pakai kartu.
Panitia mengiringi kami berjalan kaki menuju Hostel Makarov. Ada sekitar 10 menit kami berjalan kaki dari stasiun menuju hostel. Membawa barang bawaan di tambah jalanan Moscow yang terkadang berlubang, menjadi ujian perjuangan tersendiri bagi saya. Kami melintasi jembatan juga, dan anehnya tampak dari sini puncak Saint Basilica yang menjadi icon bangunan Rusia. Kami saling tersenyum di tengah jalan, dalam hati masing-masing mungkin berbisik, "bisa jalan-jalan", karena jaraknya yang dekat dengan tempat hostel menginap malam ini.
Sekitar jam 7 pm kami sampai di Hostel Makarov. Panitia membantu kami untuk check in dan lagi-lagi kami pinjam uang Mulyadi untuk membayar penginapan malam ini. Karena Mulyadi telah memboking hostel ini sebelumnya, maka tinggal kami bertiga yang harus membayar. Kami dikenakan 1.600 rubel 1 malam untuk bertiga. Tanpa pikir panjang kami setujui dan kami diberi kunci kamar.
Sesampai di kamar, saya bersih-bersih untuk shalat ashar dilanjutkan dengan jamak takhir zuhur, karena waktu maghrib di Moscow adalah jam 9 pm. Usai shalat saya istirahat sejenak di atas pembaringan. Kebetulan jendela saya menghadap ke sungai yang mengalir di depan hotel. Jendela saya buka, semilir angin pun bertiup mengantarkan ingatan saya pada kampung halaman.
Saya merogoh HP, ternyata mengalami gangguan signal, yang bisa hanya pesan instagram. Saya mengirim pesan IG ke adik saya Iqbal, yang di Batam, untuk mengabarkan pada amak dan abak bahwa saya sudah tiba di Moscow dengan selamat. Karena abak adalah orang yang paling khawatir terhadap kedatangan saya ke Rusia. Selama ini citra Rusia sangat buruk dalam hal keamanan, bisa jadi itu merupakan propaganda barat saja. Toh, piala dunia beberapa hari yang lalu baru saja selesai dilaksanakan, berjalan dengan lancar di negeri beruang merah ini, dan perjalanan saya pun bisa dikatakan tidak ada gangguan sama sekali.
Tidak lama kemudian, hari menunjukkan pukul 9 pm. Di luar tampak sudah mulai gelap, karena baru masuk waktu maghrib. Saya turun dari ranjang, menuju kamar mandi di bawah hotel, di sana saya mengambil wudhu. Kamar mandi hotel ini terletak di bawah tanah, di sebelahnya juga ada dapur, disediakan bagi penghuni yang mau memasak makanan mereka sendiri. Setelah berwudhu saya naik ke atas, dan mulai melaksanakan shalat maghrib sekaligus shalat jamak takdim isya.
Malam pertama di Moscow, usai shalat Maghrib dan jamak Isya, perut saya sudah mulai keroncongan. Kebetulan saya ada bawa "sambal lado tanak", yang dibuatkan oleh Ni Wis dari Tanjong Malim. Tinggal beli beras di kedai hotel, dan memasaknya di dapur. Setelah nasi matang, kami makan dengan lahap ditambah indomie rebus sebagai kuah. Hafiz absen makan malam, kelihatan dia terlalu mengantuk. Adapun yang ikut makan malam adalah Asta dengan teman ceweknya, Mulya, dan saya. Kami bercerita tentang banyak hal, antara lain: studi masing-masing, kehidupan kampus, cerita kampung, dan kondisi PPI di negara kami.
Saya naik ke kamar setelah kami mencuci bersih piring kotor. Saya keluar hostel, ingin merasakan udara malam di jembatan penghubung sungai kecil. Saya menikmati pemandangan malam di sini, lampu-lampu gemerlap, orang-orang Rusia dengan ciri khas cepat jalannya, sungai mengalir dengan tenang dan cukup jernih airnya. Tapi itu hanya sebentar karena udara dingin tiba-tiba menghampiri, rasa menyusup ke tulang.
Saya bergegas menuju hostel karena tidak tahan dengan kondisi itu. Memang malam di Moscow sangat singkat. Matahari terbenam pada pukul 9 pm dan kembali terbit pukul 2 am. Saya pun memilih untuk beristirahat demi memulihkan tenaga dan pikiran, agar tidak terlambat juga shalat subuh esok hari. Saya masuk kamar, tampak semua orang-orang yang sekamar dengan saya telah tidur lelap. Saya menempati tempat tidur bagian atas dan di tempat tidur bawah saya seorang pria Uzbekistan telah mendengkur entah sejak kapan. Tadi sore kami bertemu dia sangat kesulitan berbahasa Inggris. Akhirnya tidak bisa banyak mengobrol melainkan komunikasi hal-hal yang penting saja dengan bahasa isyarat.
Memang di Rusia terkenal dengan kebanggaan terhadap identitas mereka sangat tinggi. Sama halnya dengan Korea, ketika saya berkunjung ke sana dalam program pertukaran pemuda antarnegara 2013 lalu, mereka juga bangga dengan bahasa dan budaya mereka. Bahasa Inggris seolah tidak wajib atau tidak penting di negara mereka. Mereka lebih cenderung mengirim pemuda-pemudanya untuk belajar bahasa negara lain yang nantinya akan menjadi partner mereka. Makanya kita susah berbahasa Inggris di negara-negara ini. Penduduknya sangat sedikit yang mampu berbicara bahasa Inggris, mungkin hanya segelintir, itu pun dari kalangan akademisi dan pelayan KFC, Burger King, dan makanan barat lainnya.
Akhirnya saya tidur dengan menyimpan cerita hari ini. Perjalanan panjang seharian ditutup di pembaringan Kota Moscow. Semoga program yang saya ikuti lancar dan kedatangan saya tidak sia-sia sama sekali.
Ahad, 22 Juli 2018, saya bangun dengan segarnya udara pagi Kota Moscow. Hari menunjukkan pukul 2.30 am dan saya memutuskan segera berwudhu untuk menunaikan kewajiban sebagai muslim, shalat subuh. Usai shalat, hari sudah terang seperti layaknya pagi hari, tapi di jalanan hampir dipastikan tidak ada orang berlalu lalang. Saya kembali membaringkan badan, sembari menunggu kawan-kawan yang lain bangun.
Mas Hafiz membangunkan saya mengajak untuk sarapan sekitar pukul 8 am. Kami berempat, Hafiz, Mulya, Asta, dan saya mengelilingi meja dapur untuk mulai mengisi perut kosong. Masih menu yang sama, nasi putih, samba lado tanak dan indomie rebus.
Usai sarapan kami sepakat untuk jalan-jalan pagi. Mumpung hostel kami dekat dengan Red Square, kami manfaatkan waktu untuk ke sana sebelum check out tengah hari. Sembari jalan kami sibuk masing-masing berfoto dan membuka media sosial. Uniknya di Moscow, di sepanjang jalan ada free wify. Tinggal memasukkan nomor telepon Rusia kita, otomatis bisa mengakses internet gratis di sepanjang kota.
Udara pagi cukup segar, pejalan kaki dan pengendara berlalu lalang. Di sini kendaraan melaju di sebelah kanan, berbeda dengan kita di Indonesia, di sebelah kiri. Kami menyusuri jalanan di tepian sungai menuju Red Square.
Sekitar 10 menit berjalan kaki, kami berempat tiba di Red Square. Red Square ini merupakan suatu kawasan yang menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan Rusia. Ia terletak di jantung kota Moscow. Di sini terdapat greja ortodoks, yang disebut sebagai Saint Basilica dengan bentuk bangunanannya cukup fenomenal. Gedung-gedung Pemerintahan Kremlin, seperti kantor kepresidenan dan bangunan parlemen berjejer dengan rapi. Taman bunga yang menyejukkan mata dan pusat perbelanjaan juga ada. Turis-turis pun ramai berdatangan dan menikmati pemandangan di sekitar. Sebagian besar tentunya bergambar dengan kamera mereka.
Saya lihat juga ada kesibukan di tengah lapangan luas ini. Ternyata pemasangan tenda untuk pertandingan tinju nanti malam. Tapi saya tidak pasti, itu masih menurut informasi yang beredar. Mungkin saja ada acara lainnya yang akan digelar mengingat suasana malam hari di sini, kata teman saya lebih fantastis.
Kami berjumpa juga dengan seorang panitia yang sedang membawa pemateri jalan-jalan di sini, Bapak Sudung dan istri. Kami mengambil gambar untuk kenang-kenangan, karena ketika bertemu di pesawat kemaren tidak sempat berfoto.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar